Friday, November 18, 2016

Cinta & Logika #Cerpen




CINTA & LOGIKA
Ria Jumriati

7  Tahun pernikahan, menurut banyak orang mestinya sudah melewati masa krisis. Tapi bagi rumah tangga Arlene, justru krisis dan berbagai cobaan tengah mengalami titik kulminasinya. Ia pernah hampir menyerah karena tak sanggup lagi pada perlakuan Kevin yang semakin membabi buta menyakiti Arlene. Tapi selalu urung karena alasan cinta. Meski tak ada kekerasan fisik, tapi akibat yang di alami Arlene melebihi siksaan tubuh.
Sudah hampir setahun ini, Kevin ketahuan selingkuh dengan salah satu perempuan di panti pijat langganannya. Mereka bahkan telah mengontrak rumah dan hidup bersama. Belum lagi, nafkah bulanan yang perlahan tak lagi di setor Kevin untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Tapi Arlene mencoba bertahan. Ia tetap membawa deritanya dalam doa. Keyakinannya sangat tinggi, pada janji pernikahannya. Bahwa mereka yang telah di satuan Tuhan, hanya bisa di pisahkan oleh maut. Arlene penganut Katolik yang taat. Dulu hingga kini, cintanya pada Kevin tak pernah berubah. Tapi Arlene, manusia biasa dengan keterbatasannya dalam menahan rasa sakit, yang terus di uji suaminya hingga melewati atas manusia pada umumnya. Arlene terlihat kuat, tapi kadang hampir menyerah, linglung dan pasrah.
          “Pikirkanlah yang terbaik, kau tidak bisa hidup terus menerus seperti ini. Kasihan anakmu” Ujarku sambil menyeka airmata sahabatku lembut. Spontan ia meraih jemariku, meremasnya dengan tangisan seseguk. Seolah meminta kekuatan yang kian tererosi emosi dan dukanya. Aku terlarut iba. Beberapa menit kemudian, Arlene mulai tenang.
          “Apa salahku, Niken ?”
          “Tidak ada, kau perempuan sempurna”
          “Lalu mengapa Kevin begitu tega memperlakukan aku seperti ini ?”
          “Pernahkah kau tahu, seberapa dalam Kevin mencintaimu ?” Mata sendu itu menatapku bimbang. Lalu menggeleng sedih.
          “Arlene....maaf, bolehkah aku tanya sesuatu yang lebih pribadi ?” Ia kembali menatapku, airmatanya  masih berlinang. Mendesah lalu mengangguk pelan.
          “Kau pasti setuju, bahwa mencintai adalah persetujuan dua pihak. Jika hanya sendiri itu berarti mimpi. Tetap mencintai sementara Ia bersama yang lain, itu...itu adalah kebodohan. Dan aku tahu, kau bukan jenis perempuan seperti itu”
          “Tapi aku mencintainya ! Tetap setia dan mau berkorban apapun untuk kebahagiaannya. Apakah itu tidak cukup ?? !” Timpalnya terisak.
          “Pernikahan adalah keseimbangan Arlene, kesetaraan dan pengertian. Tidak berat sebelah dan kosong di satu sisi”
          “Tapi aku yakin, semua cinta dan pengorbananku untuk Kevin. Pasti akan membuatnya mencintaiku. Meski awalnya, Ia memang tak pernah mencintaiku. Semua bermula dari keinginanku. Kevin menikahiku karena.......karena saat itu aku lebih memilih mati saat Ia memutuskan untuk meninggalkanku”.
          “Arlene, fondasi pernikahan tak cukup di bangun oleh cinta dan pengorbanan yang datang darimu. Harus di topang oleh dua sisi. Tak ada pernikahan yang bisa tegak sempurna jika hanya satu orang yang mengusahakannya. Jika Kevin tetap tak bisa mencintaimu, Apakah kau masih menganggap pernikahanmu memiliki fondasi yang kuat ?”.
          “Aku menikah Katolik, Niken. Kevin tak bisa menceraikanku !”
          “Tapi ia berselingkuh, membuatmu menderita dan tak pernah menjadi milikmu seutuhnya. Buka mata hatimu Arlene!”
          “Tapi...Aku...aku...”
          “Arlene, jujur lah ! Selama 7 tahun pernikahanmu, sudah berapa kali Kevin bertingkah dan memancing perceraian? 3..4..5 ? Bahkan ketika kau tengah mengandung Shanne, ia tega meninggalkanmu lalu melahirkan tanpa suamimu yang seharusnya ada disisi istrinya yang tengah meregang nyawa !”
          ”Tapi Kevin Ayah yang baik. Ia sangat menyayangi Shanne” Timpalnya masih membela. Aku menarik nafas dalam.
          ”Jika Kevin tak menyayangi anaknya sendiri. Aku tak tahu lagi, species jenis apa yang pantas di kategorikan untuknya. Sadarlah Arlene..”
          “Maksudmu ??? Aku harus menceraikannya ? Dan merelakan suamiku hidup bersama pelacur itu ?!”
          “Arlene, kau perempuan yang sempurna. Hidup dan cintamu terlalu berharga dan mulia untuk kau berikan pada lelaki seperti Kevin”.
          “Tapi bagaimana dengan pernikahanku, aku pasti berdosa”
          “Saat dulu kau memilih bunuh diri, ketika Kevin menolak menikahimu. Saat itu kau tengah menentang takdir Tuhan. Ini adalah akibat dari keseimbangan takdir yang sudah IA gariskan. Percayalah Arlene, kau pasti akan bisa melewati semua ini dan mendapatkan yang terbaik”
          “Aku...aku tidak bisa hidup tanpa Kevin....aku sangat mencintainya, Niken”
          “Tapi ia tak mencintaimu. Ia lebih nyaman hidup dengan perempuan panti pijat, di banding dengan seorang Arlene – Perempuan cantik, cerdas, karir cemerlang dan patuh pada Tuhannya. Cintamu terlalu murni Arlene, hanya pria sejati berhati putih yang bisa mengenalinya...dan sayangnya, itu bukan Kevin”.
          Arlene terdiam lama. Hanya desahan nafasnya yang makin tak teratur. Aku membiarkannya untuk mencerna semua perkataanku.
          “Haruskah aku menyesal, Niken ? Ujarnya kemudian.  “Ibuku pun dulu pernah menasehatiku seperti itu. Tapi aku peduli. Bagiku Kevin adalah segalanya” Ujarnya dengan mata menerawang. Aku menimpali dengan senyum sambil mengusap punggungnya lembut.
          Nafas Arlene perlahan mulai tenang. Airmatanya pun mengering. Ia kembali meraih jemariku. Tak lagi diremasnya. Ia mempermainkan cincin kawin di jari manisku. Perlahan ada senyum kecil di sudut bibirnya. Meski airmatanya kembali menetes. Aku bisa merasa lega, telah memberi sedikit pencerahan di hatinya.
          “Niken, mau kah kau membantuku melewati semua ini ?”
          “Tentu...kau sahabatku. Aku ingin yang terbaik buat hidupmu”
          “Bisakah aku hidup tanpa Kevin ?”
          “Kau perempuan yang kuat Arlene. Tuhan pasti tak pernah berencana menyatukan mu dengan pria yang hanya menjadi algojo bagi batinmu. Tuhan pasti sangat menyayangimu, dan ingin membuatmu melihat, bahwa kemurnianmu tak sepadan dengan kebejatan Kevin selama ini. Kau perempuan berhati permata, Arlene. Percayalah itu....”
          Perlahan, aku melihat kekuatan berbeda di mata sahabatku. Desahan nafasnya tak lagi beraroma derita. Tapi keyakinan yang membawa pikirannya untuk mengenal cinta berlogika. Sesungging senyum kembali terhias di bibir mungilnya. Meski tak mudah melepas cintanya pada Kevin. Arlene pada akhirnya semakin memahami......Bahwa....

Mencintai adalah persetujuan dua pihak, jika hanya sendiri itu berarti mimpi
Mencintai bukanlah tetap menunggu saat dia meninggalkan, itu adalah pengkhianatan.

Mencintai bukanlah derasnya airmata derita karenanya, itu adalah pelecehan jiwa
Mencintai bukanlah tetap setia sementara dia bersama yang lain, itu adalah kebodohan...

Aku yakin, Arlene akan semakin menyadari dan belajar untuk mendapatkan dan mempertahan cinta sejatinya. Dan kali ini, ia akan selalu menyertakan logika dalam prosesnya.
TAMAT



dimuat di salah satu tabloid wanita