Sejak terlahir, Iris hanya mengenal Ayah sesekali. Pekerjaan Ayah yang sering kali keluar kota dan berlayar menjaga perairan Nusantara hingga berbulan bulan, membuat Iris kecil terkadang lupa wajah Ayah. Tapi ia selalu ingat bau khas Ayah. Ia ingat suasana hati nya yang mendadak riang saat Ayah pulang dan membawa oleh oleh untuknya. Menciumnya sekali lalu tertidur kelelahan. Saat bangun, Ayah kembali disibukkan oleh urusan lain.
Saat Iris remaja. Wajah Ayah makin melekat erat tak hanya di ingatannya, tapi juga di segala bentuk rupanya terutama bentuk hidungnya. Ayah masih sering pergi dan pulang setelah berbulan bulan. Tak banyak kenangan tentang Ayah, tapi bau khasnya dan suasana hati Iris yang tak pernah berubah saat Ayah pulang dengan oleh oleh dan kelelahan yang luar biasa. Ayah mulai menua. Saat terbangun, Ayah lebih banyak merenung. Tak banyak cerita terluncur dari bibir Ayah. Tapi Ayah banyak tersenyum, kehangatan senyum Ayah itu seolah mencairkan segala kekakuannya sebagai orang tua.
Kini Iris tumbuh menjadi gadis belia. Banyak pria yang coba mendapatkan hatinya. Tapi Iris lebih memilih Fahreza karena memiliki senyum sehangat Ayah. Sosok Ayah yang bagi Iris seperti potongan puzzle yang hilang. Semua dapat dilengkapi sempurna oleh Fahreza. Tapi tetap tak ada yang bisa menggantikan suasana hati Iris, saat Ayah datang dan memeluknya.
Kini Ayah memeluknya erat, sambil membisikkan kalimat kebahagiaan dan kata maaf karena tak bisa menyempurnakan puzzle kehidupannya sebagai Ayah. Tapi Ayah punya doa, harapan dan cinta sejauh apapun jarak memisahkan mereka. Ayah selalu menempatkan anak-anaknya dalam bingkai hati terindah yang dimilikinya. Iris memeluk Ayah erat, di hari pernikahannya Ayah hadir bersama Bunda. Memberi oleh oleh berupa restu yang membuat hatinya tak hanya girang tapi juga nelangsa. Puzzle itu memang telah terangkai indah. Tapi Iris merasa ada yang tertinggal di senyum dan lambaian tangan renta Ayah. Tiba tiba, Iris rindu kembali ke masa kecil di mana Ayah memeluknya sesekali.
Ayah, dulu, kini, nanti dan selamanya akan tetap melekat erat di jiwa, hati dan sanubari Iris. Tak banyak kenangan tentang Ayah. Tapi senyum, pelukan, dan tatapan cinta Ayah telah menyulam indah rajutan rajutan kasih yang pernah terurai oleh waktu, yang kala itu tak berpihak pada Iris dan Ayah untuk saling menautkan keduanya untuk berbagi kisah dan kasih. Kini wajah Ayah hanya bisa dinikmati lewat foto besarnya yang terpampang di dinding. Dan Iris akan tetap menyimpan kehangatan senyum Ayah, menjaga hatinya untuk selalu riang gembira saat mengenang Ayah. Dan Iris yakin, doa-doa yang terpanjat untuk Ayah akan menembus lapisan langit ketujuh untuk membuat Ayah merasakan keriangan yang sama, sebagai balasan oleh oleh dari Iris saat dulu Ayah pulang dan memeluknya sesekali....
***
”Salah satu kenikmatan Allah atas seorang ialah dijadikan anaknya mirip dengan ayahnya (dalam kebaikan). (HR. Ath-Thahawi)
- Ria Jumriati - Bogor, 24.37 Wib -