Tuesday, March 21, 2017

LION - #MovieReview



Movie Review 

Title                         : Lion
Release date       : 25 Nov 2016 (USA)
Reviewed by       : Ria Jumriati

“Saroo” adalah nama seorang bocah berumur 5 tahun yang dalam bahasa inggris berarti “LION” (singa). Saroo hidup diperkampungan kecil dan sangat miskin ‘Ganesh Talai” yang bahkan di peta konvensional tidak tertera nama itu. Setiap hari Saroo dan Guddu – Kakak sulungnya, berpacu di atas kereta batu bara, untuk  mengambil serpihannya dan menukarnya dengan susu dan makanan. Kadang diberikan kepada Ibunya yang sangat menyayangi Saroo dan kedua anaknya.

Suatu hari, karena kantuk dan kelelahan. Saroo tidak bisa mengikuti jejak Guddu untuk mencari batu bara seperti biasa, ia pun di tinggal di bangku tunggu sebuah stasiun kereta. Ketika tersadar, Saroo mendapati dirinya seorang diri, kebingungan dan terus berlari mencari kakaknya. Saroo yang aktif, terus mencari hingga akhirnya ia menaiki kereta menuju kota Calcutta – Kereta yang pada akhirnya membawa kehidupan seorang Saroo berlabuh terlalu jauh. Selama dua bulan, hidup Saroo berada dalam berbagai macam intaian bahaya. Penculikan anak, phedophilia dan mengemis apa saja demi mengisi perut kecilnya yang selalu kelaparan. Hingga suatu hari, seorang laki laki menemukan Saroo dan membawanya ke sebuah penampungan anak di kota India.

Selama di penampungan, Saroo dan beberapa anak terlantar di ajarkan tata krama dan bahasa Inggris. Hingga akhirnya nasib mempertemukan Saroo dengan pasangan kaya dari Australia, yang begitu jatuh hati dengan penampilan dan sikap Saroo – Sue dan John Brierley, yang di perankan sangat apik oleh Nicole Kidman dan David Wenman. Sementara Saroo dewasa di mainkan dengan ekspresi agak datar oleh Dev Patel. Film yang di adaptasi dari kisah nyata ini, kurang mampu memainkan emosi penonton. Pun di ending cerita ketika akhirnya Saroo berhasil menemukan desa tempat tinggalnya, tepatnya Februari 2012 dengan bantuan google earth. Sisi emosi Saroo yang sudah berpisah selama 25 tahun dengan keluarga terutama Ibu kandungnya, terasa kurang menyengat.

Priyanka Bose – yang berperan sebagai Ibu biologis Saroo, juga turut memberi kontribusi ‘datar’ nya emosi seorang Ibu yang baru saja kedatangan anak kesayangannya yang telah hilang selama puluhan tahun.


Namun film ini tetap menarik untuk di tonton. Tetap memilliki nilai – nilai kehidupan yang tinggi. Terutama keputusan sepasang suami istri kaya raya (Sue dan John Brierley) yang meski keduanya tak memiliki masalah vertilitas dan bisa melahirkan anak kandung, namun memutuskan untuk mengadopsi anak dari kalangan tak mampu dengan alasan indah dan tulus bahwa di dunia terlalu banyak anak – anak yang menderita dan membutuhkan kasih sayang. Bahkan setahun setelah mengadopsi Saroo, keduanya juga mengadopsi Mantosh, anak lelaki yang juga berasal dari India namun dengan kelaianan mental temprament.

Kekuatan hati seorang Ibu, yang meyakini bahwa anaknya yang di amini hampir seluruh dunia telah meninggal, namun akhirnya kembali ke pangkuannya selama 25 tahun penantian. Juga menjadi pernik indah, tentang terawang dan naluri seorang Ibu yang hampir selalu benar.


- Ria Jumriati -



Monday, March 20, 2017

KARMA GETIH - Bab Lima "Poros Waktu" #Cerbung


BAB V
MISTERI POROS WAKTU
(Ria Jumriati)
Image : From Google
                        Suara jeritan kencang dan memilukan terdengar dari lantai atas rumah mewah itu. Tepatnya adalah kerajaan kecil, karena penghuninya adalah salah satu penguasa di sebagian kecil wilayah Malaysia. Seorang pembantu menemui tubuh lelaki itu terkapar parah, dengan beberapa luka tusukan didada dan perutnya. Tak pernah ada bisa mengungkap misteri kematiannya. Namun terdengar selentingan kabar. Seminggu belakangan ini salah satu anak keturunan raja itu mengalami stress berat yang entah apa penyebabnya. Ia mengaku sering didatangi mimpi buruk seseorang dari masa lalunya dan hendak membunuhnya, dan konon selalu terselamatkan karena ia terjaga. Akhirnya Yang Dipertoan Agung Nizham Abdullah, yang memang terkenal gemar mengkoleksi perempuan dari kalangan manapun, untuk kepentingan sex sesatnya, tak pernah berani lagi terpejam. Ia pun semakin tersiksa, setiap kali ia memejamkan matanya, sosok itu datang dengan sebilah keris dan siap menusuk perutnya. Para dokter dan tabib kenamaan negeri Jiran itu telah didatangi untuk menyembuhkan, tapi tak ada yang berhasil. Hingga suatu malam, ia terserang kantuk dan lelah yang luar biasa dan ditemui keesokan paginya dalam keadaan tak bernyawa dengan beberapa bekas luka tusukan dari senjata sejenis keris yang memiliki racun  mematikan. Beberapa media cetak pun ramai memberitakannya. Hingga sampai pula ke telinga Dahayu yang baru saja mengalami siuman setelah beberapa jam pingsan tanpa sebab. Dahayu dan beberapa temannya masih tinggal di pemondokan para tenaga kerja wanita yang siap di kirim ke beberapa majikan yang telah memesan. Dahayu tertegun melihat seraut wajah di koran yang tengah dibacanya ”Misteri Kematian Yang Dipertoan Agung Nizham Abdullah”. Tangannya bergetar, ia masih merasakan pegal dan ngilu diseluruh tubuh dan persendian tangannya. Ada percikan darah yang mengering di telapaknya. Dahayu semakin ketakutan. Ia berlari ke kamar kecil dan membasuh luka itu. Dicermin terpantul wajah Nuri dengan seringai puas. Dahayu kembali berlari keluar, ia pun menjerit kencang.
            ”Tolooooooooong, aku mau pulang !!!!”
Semua yang ada di penginapan itu pun ketakutan. Karena Dahayu tak sekedar berteriak, tapi berlari kesana kemari seperti orang kesurupan. Matanya mendelik keatas. Kadang menjerit kadang tertawa dan terus berlari tak tentu arah. Dari mulutnya terus keluar ocehan tak jelas, bahkan dengan bahasa yang sulit dimengerti. Hal itu terus berlanjut selama 3 hari berturut turut, Dahayu bahkan tak merasakan lapar dan haus sedikitpun. Kepala rombongan TKW pun menjadi bingung dan mau tak mau segera mengurus kepulangan Dahayu ke Indonesia secepatnya.
@@@
                        Dahayu terbaring lemah di pembaringannya. Ia baru saja terbangun dari tidur terpanjang seumur hidupnya. Tubuhnya terasa ringan, ada beban berat yang seolah baru saja terlepas. Disisi pembaringan Mbah Kijah tersenyum senang. Sementara Eyang Karso duduk bersemedi di temani asap dupa yang melengkapi kekhusyukannya dalam berdoa. Ia baru saja melakukan ruwatan pada Dahayu dengan serangkaian ritual ’pembersihan diri’ dari gangguan roh halus. Dan bisa dipastikan, Nuri tak akan datang lagi.
            ”Bagaimana Eyang ? Apa Dahayu sudah terbebas dari semua hal yang mengganggunya ?” Tanya Mbah Kijah penuh harap. Eyang Karso membuka matanya pelan, ada desahnya yang masih terdengar resah.
            ”Mata rantai karma masih belum bisa terputus seluruhnya dari kehidupan Dahayu” Tuturnya pelan.
            ”Maksudmu, cucuku masih akan didatangi roh Ibunya ?”
            ”Nuri tak akan datang lagi, dendamnya telah terlampiaskan. Lelaki itu telah mati dengan cara yang memang di inginkannya”
            ”Lalu ?”
            ”Dahayu telah menyelesaikan ”Karma Getih”nya sebagai anak Nuri. Namun ia tetap memiliki satu mata rantai ”Karma Putih” yang akan di jalaninya. Masih ada seseorang yang menunggunya pada kemisteriusan  poros waktu. Tapi..........”
            ”Tapi apa Eyang ?! Tanya Mbah Kijah ketakutan
            ”Ini bukanlah hal yang menakutkan, bahkan bisa jadi permulaan yang memberi kebahagiaan hakiki pada cucumu”
Mbah Kijah tak mau lagi bertanya lebih jauh. Ia sudah cukup tenang mendengar kalimat membahagiakan itu. Karena memang itulah harapan terdalamnya untuk Dahayu. Meski rangkaian masa depan  Dahayu masih begitu abstrak dan misterius, terbalut banyak karma. Namun nalurinya terus berkata. Suatu saat nanti, entah kapan, Dahayu akan bersanding dengan seseorang yang memiliki derajat dan hati yang sama mulianya. Entah dimana, di sinikah ? atau kembali pada kemisteriusan poros waktu yang memang masih terantai kuat di jalinan karmanya.



TAMAT
            Daftar pustaka :
  1. Mistik Kejawen karangan Suwardi Endraswara
  2. www.kasundaan.org
  3. ”Menyelami Anak Anak Punya Indra Keenam” FEMINA edisi Juli No. 26 XXXVIII – Thn 2010



Wednesday, March 15, 2017

KARMA GETIH - Bab Empat "Roh Wasilah" #Cerbung

BAB IV
ROH WASILAH
(Ria Jumriati)

Image : ekspresionlinedotcom

            Diiringi dengan lambaian tangan dan derasnya airmata Mbah Kijah. Dahayupun memulai babak baru perjalanan nasibnya. Tak ada gambaran pasti mengenai seperti apa Malaysia, kuala lumpur, serawak dan kota kota besar lainnya di negeri Jiran. Tapi Dahayu merasakan gelora semangat yang menggunduk semakin tinggi di seluruh relung jiwa, batin bahkan alam bawah sadarnya. Timbunan semangat itu pun mulai mengeluarkan buncahnya, bak gunung api yang suatu saat siap menumpahkan lava yang maha panas.  Terlebih ketika, sepasang kaki Dahayu menapak pertama kali di bumi Malaysia. Diantara kebingungan sebagai Dahayu dan Deja Vu yang terus menguasai batinnya. Gadis bermata lentik itu hanya mengikuti apa yang diperintahkan kepala rombongan para TKI asal Indonesia. Puluhan remaja putri dan belasan wanita dewasa dengan wajah lugu dan pengharapan yang sama pada sebuah cita cita untuk meraih penghidupan yang lebih baik dan layak, berbondong bondong menuju satu gerbang yang akan merubah nasib mereka yang masih samar adanya. Mengapa harus kesana ? Karena tak pernah bisa diberikan oleh pengelola bangsa ini, hingga mereka harus mengadu dan mempertaruhkan segenap jiwa raga ke negeri tetangga. Meninggalkan segenap orang yang dicintai demi sebongkah harapan yang sangat mendasar sebagai manusia. Dapat hidup layak dan terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Dan sekali lagi, semua itu terlalu mahal di negeri mereka sendiri. Semahal bahkan semustahil kata ’amanah’ yang bisa diharapkan pada penguasa negeri ini.

            Dahayu menyapu pandangannya ke sekeliling. Ia dan rombongan TKW kini telah berada di tempat penampungan sementara. Suara bising orang yang lalu lalang. Diantara hiruk pikuk, beberapa transaksi  busuk pun terjadi. Perlakuan tak sopan terhadap para TKW hingga pelecehan seksual dari beberapa oknum, terpampang jelas dimatanya. Lalu lalang setiap orang yang masing masing dibuntuti beberapa mahluk. Ada seorang Bapak yang sedari tadi di ikuti mahluk serba hitam, ketika ia akan menyebrang sebuah truk langsung menghantam tubuhnya. Mahluk serba hitam itu pun tertawa dan segera melahap rohnya. Lalu seorang bayi yang terus di dampingi perempuan cantik penuh cahaya. Bidadarikah ? Semua mahluk dari berbagai dimensi dan waktu, kini terlihat kasat di mata Dahayu. Hingga tiba tiba ia merasakan tubuhnya seringan kapas, lalu angin kencang menderu hingga mendatangkan badai. Semua orang masih sibuk berkutat dengan kegiatannya. Tapi mengapa hanya ia yang merasakan besarnya hempasan badai ? Tubuh ringannya pun semakin terbawa pusaran angin. Gelap......sunyi....Dahayu terbawa poros waktu yang menyeret jiwanya pada satu bentang kehidupan ratusan tahun lalu. Ia pun terjerembab jatuh di sebuah peraduan dengan ornamen dan nuansa keraton keningratan Kerajaan Jawa kelas tinggi. Dahayu tak lagi melihat dirinya yang dulu, pakaian kemben dan rambut tertata rapi bak putri keraton, serta lingkungan  istana yang di jaga prajurit dan para dayang dayang.

”Kanjeng Putri Dahayu Janitra!” Seru seorang dayang saat melihatnya jalan menelusuri lorong lorong keraton. Dahayu menoleh bingung. Sementara beberapa dayang lainnya pun berseru  gembira melihatnya.
            ”Putri Dahayu sudah bangun, cepat panggil Raden Mas Ganendra!” Seru seorang dayang dan tergopoh berlari menuju pendopo Istana. Tak lama beberapa orang prajurit dan seorang pria tampan dan gagah datang dengan langkah cepat.
            ”Dahayu ? Kau sudah bangun ? Syukurlah! Ujarnya sambil memeluk tubuhnya. Dahayu langsung terkoneksi dengan energi di tubuh lelaki itu. Batinnya segera saja terisi banyak potongan kisah yang akhirnya memberi pandangan jelas tentang jati dirinya kini.
            ”Raden Mas Ganendra ? Apa yang telah terjadi ?” Tanyanya bingung.
            ”Ceritanya panjang, istirahatlah dulu. Kita masih banyak waktu untuk itu” Ujarnya dengan senyum yang sangat di kenal Dahayu. Dia lah laki laki yang selama ini selalu datang di setiap mimpinya. Sosok yang selalu di rindukannya. Tapi siapa dia ? Dua jiwa di raga Dahayu masih membutuhkan waktu untuk saling menyatu. Deja Vu terus berlanjut di benaknya. Taman di pendopo, pahatan di dinding keraton, gelas antik berornamen gajah. Hampir semua yang tertangkap di matanya, serasa tak asing lagi. Ia pernah menjadi bagian dari semua ini. Bahkan Mbok Tumijah yang sedari tadi terus memandangnya dengan senyum. Ia kenal betul senyum itu, dia adalah salah satu dayang yang sering menata rambut panjangnya, memakaikan kemben dan memberi air mandinya dengan serangkaian bunga bunga segar.
            ”Hari ini,  Kerajaan akan kedatangan tamu dari negeri Pasundan. Istirahat lalu bersiaplah untuk menyambutnya. Aku ingin, kamu menjadi bagian dari perayaan besar nanti.
            ”Perayaan besar apa, Kang Mas ?
            ”Maharaja Hayam Wuruk, akan meminang Putri Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pasundan, semua telah dipersiapkan. Aku ingin kau tampil cantik nanti” Tuturnya lembut. Perlahan jiwa Dahayu menangkap satu pesan di relung rohnya. Ia memejamkan matanya sekejap. Ada beberapa kelebat bayang yang tergambar di benaknya. Seorang s pria, wajah Nuri dan.....tiba tiba dadanya sesak, saat menyeruak bayang laki laki yang menjadi target dendam Ibunya.
            ”Kenapa Dahayu ? Istirahatlah, kamu baru saja mengalami tidur panjang yang membuat khawatir banyak orang termasuk Sang Raja” Ujarnya Raden Mas Ganendra seraya memapah tubuh Dahayu menuju peraduannya.
            ”Banyak sekali sosok yang berseliweran di benakku, dan tak semuanya aku kenal. Aku seperti orang asing”
            ”Tenanglah Dahayu. Saat jiwamu tertidur, tabib yang merawatmu mengatakan, jiwamu memang tengah di pinjam ’seseorang’ untuk mengembara ke tempat lain”
            ”Tempat lain apa maksudnya, Kang Mas ?”
            ”Aku juga tidak tahu, tapi ia meyakinkan, seseorang yang datang menjemput rohmu itu, bukanlah orang lain. Ia masih memiliki pertalian batin yang kuat dengan dirimu. Dan ia yakin, kau pasti kembali dengan selamat. Karena seseorang itu pasti akan menjagamu dengan baik” Ujarnya dengan senyum.
            ”Lalu....hmmm, Kang Mas sendiri siapanya aku ?” Tanyanya ragu. Raden Mas Ganendra tersenyum dan membelai rambut Dahayu,
            ”Aku calon suamimu, kita akan segera menikah setelah Raja Hayam Wuruk dan Putri Dyah Pitaloka meresmikan ikatan pernikahan mereka. Besok adalah waktunya, dan setelahnya adalah milik kita. Maha Patih Gajah Mada tak mengizinkan aku sebagai perwira perangnya mendahului Sang Maha Raja” Tuturnya tegas.
Dahayu hanya terdiam, ia teringat mimpinya yang sering terjebak dalam perang dahsyat bersama Sang Patih Gajah Mada . Sekonyong gejolak dibatinnya pun berbuncah hebat. Beberapa bayang itu semakin memperebutkan energinya. Dahayu pun tertidur. Namun rohnya tetap terperangkap diantara dua dimensi ruang dan waktu. Malam semakin pekat. Beberapa roh, tengah bernegoisasi untuk satu tujuan tertentu yang terbalut erat ’Karma Getih” – ”Karma berdarah” yang pengaruhnya tengah merasuki segenap relung Dahayu.

@@@

            Sejak subuh seluruh penghuni Istana telah disibukan oleh persiapan untuk menyambut rombongan keluarga besar kerajaan Pasundan dan Putri Dyah Pitaloka. Menurut desas desus yang sempat di tangkap Dahayu, kedatangan Putri Dyah Pitaloka adalah untuk menyerahkan diri sebagai mempelai putri yang akan dinikahi oleh Sang Maha Raja Hayam Wuruk. Dahayu sendiri, tengah menjalani ritual ’ratus’ dengan bermandikan bunga dan rempah rempah yang konon harumnya tak akan hilang hingga hari ke-7.
            ”Raden Mas Ganendra, sangat beruntung mendapatkan Kanjeng Putri” Ujar Mbah Tumijah sambil mengguyur pelan rambutnya dengan air rempah yang menyengat wangi.
            ”Apakah wajah tampannya juga sebaik hatinya, Mbah ?” Dahayu bertanya ragu.
            ”Tentu saja, Bukankah Kanjeng Putri rela melepaskan pertunangan dengan Raden Mas Raditya Javas Nararya yang telah di jodohkan orang tua Kanjeng Putri”
            ”Apa, Raden Mas Raditya Javas Nararya ? Aku belum pernah melihatnya, Mbah. Seperti apa rupanya ?” Dahayu semakin penasaran. Sambil meneruskan pekerjaannya, Mbah Tumijah memaklumi kebingungan Dahayu. Sebagai dayang sepuh, ia mengerti betul, bagaimana reaksi seseorang yang jiwanya pernah di bawa pergi oleh ’seseorang’ dari dimensi ruang dan waktu yang berbeda.
            ”Raden Mas Ganendra memang bukan anak raja, atau memiliki keluarga yang dekat dengan lingkungan kerajaan manapun. Ia hanya anak seorang abdi dalem, tapi Raden Mas Ganendra adalah perwira perang Sang Maha Patih Gajah Mada yang sangat tangkas, jujur dan rendah hati. Kharismanya mirip Sang Maha Patih, tapi ia tak serakah dan selalu berlaku adil. Kerendahan hati itu lah yang tak di miliki Raden Mas Raditya Javas Nararya. Ia telah dibutakan oleh keangkuhan karena merasa menjadi kerabat dekat kerajaan Pasundan. Bahkan konon, kematian Ayah Ibu mu adalah karena dibunuh oleh orang suruhan Raden Mas Raditya”
            ”Ayah Ibuku, telah meninggal ? Dahayu semakin bingung ”Aku sama sekali tak bisa mengingatnya Mbah”
            ”Sudahlah, sebaiknya tak usah di ungkit lagi masalah ini. Karena bisa berbahaya terutama buat dirimu sendiri” Tukas Mbah Tumijah seraya menyelesaikan pekerjaannya.
            ”Mbah, Sebentar lagi rombongan Putri Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pasundan akan datang. Apakah dia juga ada dalam rombongan itu ??”
            Mbah Tumijah menggeleng lemah. Di benaknya ada sedikit sesal telah membocorkan rahasia itu kepada Dahayu.
            ”Berdoa saja Kanjeng Putri, Mbah sendiri tidak tahu” Ujarnya seraya berlalu.


            Iring iringan rombongan Kerajaan Pasundan telah sampai di gerbang Istana. Sementara persiapan di dalamnya pun tak kalah megah. Sang Prabu Hayam Wuruk terlihat sumigrah dengan pakaian kebesarannya. Beberapa petinggi istana telah siap dengan tugasnya masing masing untuk memberi sambutan pada kedatangan Maharaja Linggabuana dan Kanjeng Gusti Putri Dyah Pitaloka yang akan dipersunting Sang Raja. Dahayu memperhatikan sekelilingnya. Tapi ia tak menemui sosok calon suaminya. Ia pun berjalan pelan, keluar menyusuri pendopo istana hingga akhirnya menemui Raden Ganendra dan beberapa prajurit perang Maha Patih Gajah mada di Pesanggrahan Bubat, lengkap dengan senjata dan pakaian perang masing masing. Sama sekali tak terlihat senyum dan keramahan diwajah mereka, hampir semua menampakan wajah keras dan energi siap tempur. Raden Mas Garendra berdiri tepat beberapa langkah dari Sang Maha Patih Gajah Mada yang tengah berbicara serius dengan utusan Maharaja Linggabuana. Mata Dahayu terus menelusuri beberapa orang yang terlihat di hadapannya, hingga singgah pada wajah seorang laki laki yang membuat dadanya terasa terbakar tiba tiba. Ada gemuruh hebat yang serta merta menyulut keseluruhan dendam di hatinya demi melihat gambaran wajah seseorang yang menjadi target dendam Nuri selama ini. Bayang wajah Nuri dan kelebat amarahnya pun semakin menguasainya.
            ”Bunuh dia, Dahayu...Bunuh Dia !” Suara Nuri semakin jelas terdengar di benaknya. Dahayu berusaha menepi, sementara perselisihan mulai terjadi antara Maha Patih Gajah Mada dan utusan Maharaja Linggabuana. Beberapa prajurit perang Sang Patih mendadak bermunculan dari berbagai arah. Terjadilah pertempuran hebat yang tak berimbang antara pasukan dari Kerajaan Pasundan dan bala tentara Maha Patih Gajah Mada yang berjumlah ribuan. Dahayu pun menyeruak diantara perang yang tengah terjadi. Serta merta ia menghampiri Raden Mas Ganendra yang tengah berperang sengit dengan salah satu prajurit kerajaan Pasundan, yang ternyata adalah target dendam Nuri. Saat kegentingan tengah berlangsung, Dahayu pun langsung menusukkan keris tajam yang ke perut dan dada lelaki itu. Darah bercucuran, wajah laki laki itu memucat. Ia memandang Dahayu sejenak dan mendesiskan namanya. Seolah digerakkan oleh kekuatan lain, Dahayu kembali menusukkannya ke arah dadanya, hingga berakhir tragis.
            ”Dahayu, cukup Dahayu ! Dia sudah mati !” Seru Raden Mas Ganendra berusaha menenangkannya.
            ”Dia memang pantas mati ditanganmu, karena dia lah yang telah mengutus orang untuk membunuh Ayah – Ibumu” Ujar Raden Mas Ganendra seraya memapah tubuhnya.
            ”Apa ?! Jadi lelaki ini adalah Raden Mas Raditya Javas Nararya ? Bekas tunanganku ? Tapi...tapi mengapa wajahnya sama dengan....Akhhhhh!”
            ”Sama dengan siapa ?” Tanya Raden Mas Ganendra tak mengerti.
            ”Tidak, Dia pasti orang yang telah......dan aku telah membunuhnya.....Akhhhhhhhhhh, kepalaku !”
  Tiba tiba Dahayu merasakan pening yang luar biasa di kepalanya. Raden Mas Ganendra membawanya menepi. Perang masih berlangsung. Bahkan Kanjeng Gusti Putri Dyah Pitaloka ikut dalam pertempuran itu. Ia terlihat begitu agresif menyerang Patih Gajah Mada, terlebih ketika melihat Ayahnya tewas dalam pertempuaran itu. Sampai akhirnya, ia sendiri pun gugur setelah berhasil memberi luka yang sangat parah di tubuh sang Maha Patih. Perang masih berlangsung, namun pening di kepala Dahayu membuatnya semakin melayang jauh. Terdengar tawa puas berkepanjangan milik Nuri, lalu darah yang berceceran di tubuh lelaki yang telah menodainya. Suara bising, orang lalu lalang begitu cepat lalu angin kencang dan pusaran angin yang memburu tubuh Dahayu. Wajah Mbah Kijah, Eyang Karso.......Dahayu merasakan tubuhnya seringan kapas. Terlepas, terbang dan terbawa hempasan poros waktu yang begitu cepat.

(Bersambung Bab V)


Monday, March 13, 2017

KARMA GETIH - Bab Tiga "Sedulur Papat Kelima Pancer" #Cerbung

BAB III
SEDULUR PAPAT KELIMA PANCER
(Ria Jumriati)

Image from Google

Pak Abdil tersenyum girang mendengar penuturan Mbah Kijah yang telah menyetujui keberangkatan cucunya untuk di bawa ke Malaysia. Berkali kali ia meyakinkan Mbah Kijah, bahwa Dahayu akan ditempatkan pada majikan yang baik dan dijamin tidak akan bernasib sama seperti Lastri dan Hanum. Meski janji itu sama juga diucapakan pada orang orang yang pulang dengan petaka luar biasa yang kurang lebih sama.
            “Ndak usah khawatir Mbah, Dahayu pasti akan selamat. Doa kan saja”
            “Dia milikku satu satunya Pak, jadi tolong jangan berikan pada orang yang salah. Kamu toh pasti sudah tahu apa yang menimpa almarhum Ibu
nya. Aku tidak mau kehilangan cucuku tersayangku dengan cara itu lagi”
            “Tuhan itu adil Mbah, mosok sih Gusti Allah sampe tega sama nasib sampean”
Mbah Kijah hanya mengangguk kecil. Sementara Dahayu masih berada di ambang kebimbangan sebagai sosok Dahayu yang sesungguhnya dan dibawah pengaruh arwah Ibunya yang kini berpindah lekatnya dari Mbah Kijah menuju dirinya. Bedanya,Mbah Kijah kerap menolak ruh Nuri yang jika ia mau jujur, sudah tak terhitung cara ia mengatasinya, sayangnya ia tak bisa menghalangi keinginan kuat Nuri untuk menyambangi anaknya. Hingga kian hari banyak hal aneh yang dirasakan Dahayu kini. Saat ia berbicara, berjalan, bahkan berkaca. Dahayu seolah selalu melihat sosok lain yang membayangi. Namun ia tak bisa mengungkapkannya secara lisan. Entahlah, hanya terkadang ia merasa kepalanya mendadak berat dan pusing. Ketika jatuh tertidur, ia seakan dibawa kesuatu jalan, tempat dan sebuah rumah megah yang seperti pernah ditinggali sebelumnya. Lalu senyum seringai seorang lelaki yang wajahnya tak asing lagi. Lalu ada kemarahan yang tak bisa dibendungnya, hingga Dahayu selalu terbangun dalam mimpi buruk dengan nafas terengah ketakutan. Sebenarnya mimpi didatangi almarhum Nuri, bukan hal yang baru di hidup Dahayu. Tapi Mimpi yang melewati ambang batas sadarnya dan bukan lagi sekedar bunga tidur, makin sering dialaminya kini. Makin dekat hari keberangkatannya ke negeri Jiran, makin kuat pula tekad pada suatu niatan yang tak bisa di artikan Dahayu secara gamblang. Bahkan ia seolah terlupa bahwa tujuan utamanya ke Malaysia adalah menjadi TKW.
            ”Dua hari lagi kamu sudah harus berangkat Nduk ” Bisik Mbah Kijah di sisi  Dahayu sambil mengelus rambut sebahu cucu kesayangannya.
            ”Aku tidak akan lama Mbah dan uang hasil dari kalung Ibuku pasti cukup untuk Mbah makan sehari hari sampai aku mengirimi dari gajiku bekerja disana nanti. Lagi pula Mbah juga tak perlu jualan sayur keliling lagi kan, wong jualan dirumah juga sudah laku kok” Sahut Dahayu meyakinkan dan memeluk tubuh tua neneknya. Satu satunya tubuh yang ia kenal sejak lahir dan memberinya kehangatan dan ketenangan yang tak tergantikan.
            ”Bukan itu yang Mbah khawatirkan” Mata Mbah Kijah kembali berkaca dengan tatapan sedih menerawang.
            ”Percayalah Mbah, nasibku tidak akan seburuk Hanum dan Lasmi...apalagi Ibuku”
            ”Bukan Nduk.....Bukan itu !” Tiba tiba Mbah Kijah menangis sesegukan. Dahayu segera merangkul tubuh Mbah Kijah yang terguncang tangis.
            ”Aku akan selamat Mbah...percayalah!
            ”Ibumu....arwah Ibumu, Nduk! Itu yang Mbah takutkan”
Mendengar itu, Dahayu hanya menghela nafas panjang. Bongkahan berat itu semakin terasa menindih batinnya.
            ”Tiga hari yang lalu bertepatan 35 hari setelah weton hari kelahiranmu, Mbah mendatangi Eyang Karso”
            ”Eyang Karso ? Yang tinggal di atas gunung itu ? Mbah bisa sampai ke sana  sendirian ? Untuk apa sih Mbah ?”
            ”Mbah memintanya untuk melakukan ruwat atas dirimu agar terbebas dari ruh almarhum Ibumu, dan yang lainnya tapi........”
            ”Tapi apa Mbah ? Aku tidak takut dengan ruh Ibuku...malah aku ingin sekali ia datang dalam wujud apapun, aku tidak takut...aku bahkan sangat merindukannya”
            ”Nduk, Ibu ternyata masih terombang ambing antara alam nyata dan ghaib. Ia akan terus ada di setiap langkahmu sampai niatan dendamnya tercapai. Padahal sudah banyak doa yang Mbah kirimkan agar Ibumu tenang di alam sana, tapi  ia selalu saja hadir dan meminta Mbah untuk mewujudkan dendamnya. Tapi Mbah selalu menolak, dan kini ia telah ada di dirimu Nduk. Hal  itu tak mungkin bisa kau tolak karena sebelum ia meninggal, ternyata sebagian ari ari mu yang terpotong telah di makannya. Alasan itu lah yang membuat Eyang Karso kesulitan melepaskan ruh Nuri dari dirimu. Dan.....Mbah sangat takut...takut sekali terjadi hal buruk pada dirimu Nduk” Tutur Mbah Kijah semakin sesegukan.
            ”Aku tidak akan mengorbankan Dahayu !” Tiba tiba sosok Dahayu berdiri tegap dengan kilatan amarah di matanya. Mbah Kijah tersentak kaget, tapi hanya sebentar. Ia tak takut, ini bukan pertama kalinya roh Nuri merasuki seseorang bahkan benda benda di dalam rumah. Dulu ketika Dahayu bayi, arwah Nuri bahkan pernah berwujud bakul sayurannya, bantal guling  bahkan daun jendela yang terhempas keras berkali kali.
            ”Kembalilah kepada Gusti Allah Nduk....biarkan anakmu tenang . Jangan bebani ia dengan dendammu yang terlalu berat untuk di pikulnya ” Pinta Mbah Kijah seraya tertunduk. Ia tak berani menatap langsung mata itu karena setiap kali ia menatapnya, maka keesokan harinya ia akan jatuh sakit hingga tiga hari lamanya, dan tak akan sembuh sebelum memasuki hari ketiga. Meski Nuri darah dagingnya sendiri, namun  perbedaan alam tetap saja membuatnya gemetar.
            ”Dahayu akan kuat dan menang.....Ia akan pergi mewujudkan dendamku!”
Setelah itu Dahayu pun roboh dengan tubuh lunglai. Matanya menerawang kosong. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
            ”Ibu datang lagi Mbah ?” Tanyanya lemah. Mbah Kijah tak sanggup menjawab. Perasaannya semakin teriris pedih melihat penderitaan cucunya. Segera di ambilnya daun sirih yang  di rendam dalam air dingin, lalu di semburkan ke wajah cucunya bersamaan serangkaian doa dalam bahasa kejawen. Hingga Dahayupun tertidur nyenyak.
            Pagi sekali Mbah Kijah sudah terjaga, karena sejak malam memang matanya tidak bisa terpejam sama sekali. Ia sengaja meninggalkan Dahayu yang masih tertidur. Setelah berkemas ia pun berjalan melewati jalan setapak desa, titian sawah hingga akhirnya bertemu dengan Pak Turno – Supir delman di desa tetangga.
            ”Mau kemana Mbah, masih pagi kok sudah jalan jalan ?”
            ”Anter aku ke desa Welas di atas gunung sana ya ?”
            ”Oalaaaa Mbah...ada keperluan opo toh di atas gunung sana?” 
            ”Akh sudah lah, jangan banyak tanya” Timpal Mbah Kijah mengalihkan keingin tahuan Pak Turno. Semalamam ia memang sudah merencanakan untuk menemui Eyang Karso kembali – Guru spiritual peganut paham Kejawen yang tahu betul permasalahan hidupnya. Tak banyak memang orang desa yang masih memegang kepercayaan yang terbalut kental kebudayaan, tradisi sekaligus mistis itu. Namun ia terlanjur mengimaninya dan mempercayai banyak simbol sebagai perantara bagi keyakinan yang dianutnya. Di pagi buta ini pun Ia telah mempersiapkan beberapa sesajen untuk tujuan tertentu yang akan di bicarakannya pada Eyang Karso.

            ”Tadi malam, Nuri datang lagi ?”Tanya Eyang Karso seolah memiliki indra keenam atas kejadian yang menimpa Mbah Kijah dan Dahayu. Mbah Kijah hanya terduduk sedih di hadapan. Suasana di atas gunung yang dingin serta suara angin yang mendesahkan kemistisan tersendiri semakin membuat bulu kuduk berdiri, apalagi dilengkapi dengan wangi wangian bunga sesajen yang di bawa oleh Mbah Kijah yang merupakan  penganut paham kejawen yang sangat taat. Ia patuh pada keseimbangan, pada simbol simbol kehidupan yang telah ditentukan oleh Gusti Ingkang  Maha Kuaso. Mbah Kijah tak pernah meninggalkan ritual ritual suci yang telah ajarkan pendahulunya. Peristiwa pedih yang terjadi pada diri anaknya, telah lama di pahaminya sebagai karma atas ketidak seimbangan yang mungkin dulu pernah dilakukan dirinya atau suaminya bahkan leluhur penduhulunya, entahlah. Meski kadang terbantahkan oleh logika dan akal sehat, namun Mbah Kijah telah terlanjur terdoktrin untuk menjalani kehidupannya pada rel kepercayaan yang di yakininya bisa membawanya  mencapai tujuan hakiki kehidupan selanjutnya yang bersih dari segala karma duniawi. Agar dalam penghidupannya ia senantiasa selalu bisa mengamalkan kebersihan hati agar tercapai harmonisasi antara ia sebagai Kawulo dan Gusti Hyang Sukma.
            ”Kedatanganku kemari, karena aku makin bingung Eyang, semakin dekat Dahayu berangkat ke Malaysia justru rohnya semakin sering  menggentayangi Dahayu, aku takut cucuku tidak sekuat aku menerima ini”
            ”Dahayu sama sekali tidak lemah, justru terlalu kuat”
            ”Maksud koe opo toh Eyang ?” Tanya Mbah Kijah khawatir
            ”Beberapa ritual ruwatan pernah aku lakukan untuk membawa Dahayu keluar dari pengaruh gaib yang melingkari jiwa nya sejak lahir. Tapi kenyatanya terlalu sulit” Ujar Eyang Karso seraya berdiri menghadap jendela ruang tengah yang langsung memaparkan hamparan hutan basah yang luas.
            ”Tolonglah cucuku Eyang, aku hanya ingin ia hidup normal dan tidak diganggu oleh mahluk halus manapun, termasuk arwah Ibunya !”
            ”Jiwa Nuri terlalu sakit dan menderita hingga sulit menyatu dengan alam kematian yang sebenarnya. Ia akan terus membayangi Dahayu bahkan menjadi bagian dari jiwanya, terlebih Dahayu memang memiliki energi yang mudah menyatu dengan roh Ibunya. Aku bisa membantu namun ikatan batin antara Nuri dengan Dahayu sangat kuat, dan tak ada hubungan yang begitu kuat di dunia ini selain antara Ibu dan anak. Ditambah adi ari ari Dahayu yang telah di makannya sebelum wafat dan terus dipelihara Nuri untuk menuntut dendam kesumatnya itu”
            ”Maksud Eyang, apakah Dahayu akan bernasib sama dengan Ibunya ? Oooohhhh, Gusti..aku lebih baik mati lebih dulu jika harus menerima takdir buruk itu lagi ! Tolong aku Eyang ” Tutur Mbah Kijah dengan tangis tertahan. Eyang Karso menghampiri wanita tua itu. Di ambilnya beberapa tangkai bunga sesajen yang dibawanya. Lalu memperhatikan dengan seksama. Matanya yang tajam dengan sorotan mistis seolah tengah menerawang sesuatu lewat kembang sesajen berwarna merah darah itu.
            ”Tidak seburuk itu Mbah. Karena sejak lahir salah satu ”Sedulur Papat Kelima Pancer1” akan selalumenjadi penjaganya,  tapi juga bisa merubahnya menjadi seseorang........seseorang yang.....” Kalimat Eyang Karso terhenti
dengan mata terpicing. Tiba tiba ia berteriak pelan. Ada darah segar mengalir dari bunga sesajen  yang di pegangnya. Mbah Kijah ikut terkejut. Bunga itu terjatuh dilantai kayu rumah panggung Eyang Karso. Keduanya menatap bunga itu tak percaya. Darah segar masih mengalir di tengah kelopaknya. Mbah Kijah tak berani menuntut penjelasan rinci demi melihat Eyang Karso yang langsung terduduk dengan posisi semedi dan mata terpejam rapat, sementara dadanya seolah tengah menghimpun energi mistis di sekitarnya. Mbah Kijah pun, melakukan hal yang sama dan spontan mengikuti ritual menyatu dengan alam roh yang tengah di masuki Eyang Karso.
Dalam kepekatan ruang dan waktu, arah yang tak tentu dan bayang bayang serba hitam serta suara suara tak jelas antara rintihan, tangis bahkan tawa bergema danderita. Eyang Karso berusaha memasuki kegetiran alam roh yang di huni Nuri. Ada kelebat bayang Mbah Kijah yang berusaha mengikuti, namun Eyang Karso segera memberi isyarat.
            ”Jangan Mbah Kijah, hal ini masih terlalu berat untuk dirimu” Begitu suara batin yang di tujukan pada Mbah Kijah dan langsung dimengerti olehnya. Ritual seperti ini, sudah sering dilakukannya bersama Eyang Karso yang telah memiliki ’ngelmu2hampir sempurna . Dan Mbah Kijah akan sangat paham dengan semua itu. Tak mudah mencapai penghayatan ngelmu seperti Eyang Karso. Terkadang ada hal special yang dimiliki Eyang Karso namun tak pernah dipelajarinya atau bisa diajarkan kepada pengikutnya. Karena beberapa diantaranya adalah warisan dari sang leluhur yang telah memilihnya. Mbah Kijah pun menuruti meski ada jiwa anaknya yang masih kesakitan dan terperangkap di dunia arwah gentayangan.
Eyang Karso masih berusaha menghimpun energi dan menciptakan komunikasi telepati dengan memanggil arwah Nuri. Wajahnya yang tenang mendadak bergetar dan memerah. Jari jemarinya mengepal dalam getaran seolah tengah mempertahan sesuatu dengan sangat kuatnya agar tak terlepas. Mbah Kijah pun membantu dengan membakar dupa sesajen yang dibawanya. Hal ini konon dipercaya bisa menghantar doa ke alam arwah. Dan ritual ini memang cukup membantu, Eyang Karso perlahan terlihat tenang namun bibirnya mulai mendesiskan sesuatu dalam bahasa Jawa kuno, pertanda komunikasi telepati dengan sang arwah telah terjadi.  Beberapa menit berselang, ia pun tersadar. Mbah Kijah langsung memberinya segelas air putih dan memintanya untuk segera membasuh wajahnya dengan genangan air kembang yang telah disiapkan dalam krendengan sesajennya.  
            ”Apa yang telah terjadi Eyang ? Dapat kah ia membebaskan cucu semata wayangku ?” Tanya Mbah Kijah penasaran. Eyang Karso mendesah pelan dengan tatapan kosong.
            ”Nuri terlalu sakit, terlalu menderita. Apa yang telah dilakukan laki laki itu sangat menyakitkan dan hanya menyisakan  jejak jejak darah di jiwanya yang marah dan terluka. Aku bahkan menjadi tak berdaya demi menyelami deritanya.....ehhh, kasihan sekali nasibmu, Nduk” Desah Eyang Karso seolah mengerti derita dan dendam Nuri.
            ”Lalu, bagaimana nasib Dahayu jika ia ternyata tidak kuat menahan semua beban dendam itu, Eyang? Aku tak mau kehilangannya !
            ”Tenanglah Mbah, aku yakin Dahayu akan mendapat perlindungan dari Gusti Allah. Yakinlah, doa doamu akan menghalau semua kemalangan dan angkara murka bagi Dahayu” Eyang Karso berusaha meyakinkan kegalauan Mbah Kijah. Namun di mata tua itu ada tersirat sebersit harapan. Ia memang yakin, doa bisa menyelamatkan segalanya. Karena terus berdoa maka ia masih bisa kuat bertahan di antara derasnya arus derita di kehidupannya. Doa, bagi Mbah Kijah tak sekedar kandil kemerlap di keremangan hidupnya, bahkan telah menjadi tiang maha kokoh diantara kerapuhan yang melingkupi kegetiran nasibnya. Dengan cara, kepercayaan dan keimanan dalam bentuk yang sangat ia yakini bisa membawa pintanya pada kejernihan jawaban suara Hyang Sukma atas segala pinta dan pengharapannya.
            ”Sebenarnya ada hal lain lagi yang semakin membuatku khawatir Eyang” Tutur Mbah Kijah semakin galau. Eyang Karso menyimak serius.
            ”Koe kan sudah tahu kalau Dahayu itu bisa berbicara dengan mahluk halus. Bahkan sedari kecil ia pernah beberapa kali menghilang, yang menurut sampean di ’pinjam’ oleh leluhurnya. Yaa...seperti yang sering aku kuceritakan. Kedatangan nenek berambut putih, bercakap cakap dengan mahluk halus dan meramal dengan tepat kematian Pak Bagio yang sakit keras. Untungnya, tak ada orang desa yang tahu kelebihannya tersebut”
            ”Dahayu merupakan titisan, dan itu takdir yang terlalu sulit untuk kau ubah Kijah” Timpal Eyang Karso tenang
            ”Tapi Eyang...mengapa harus Dahayu ?”
            ”Karena dalam tubuhnya mengalir darah keturunan seorang Raja, ada mata rantai karma yang harus di selesaikannya. Hal itu yang harus kau mengerti Kijah” Tutur Eyang Karso seraya menatap wajah pucat Mbah Kijah.
            ”Keturunan Raja ? Mana mungkin Eyang, sejak dulu sampean sudah tahu siapa keluarga kami. Orang miskin seperti kami mana mungkin memiliki darah biru”
            ”Kau sadari atau tidak,  yang pasti Dahayu memiliki darah, aura dan roh leluhurnya yang agung”
            ”Apa...apa memang benar yang dikatakan Nuri bahwa  lelaki yang telah menghancurkan hidupnya itu adalah benar keturunan Raja ? Orang biadab seperti itu ? Tidak mungkin !” Sangkalnya tak percaya.
            ”Pada dasarnya, kesucian serta kesakralan keturunan para Raja  yang memang benar benar suci dan luhur harus tetap dijaga sampai kapanpun. Dan, jika ada salah satu keturunannya yang menodai kesucian dan kesakralan itu, maka akan diutus satu orang keturunan berikutnya untuk membersihkannya dan memutus mata rantai yang pernah ternoda itu dengan cara apapun”
            ”Aku bingung Eyang. Aku benar benar bingung!”
            ”Pasrahkan saja semuanya pada Gusti Allah. Jangan pernah paksakan keinginanmu untuk merubah Dahayu tumbuh layaknya gadis normal. Sejak lahir, ia memang telah memiliki perbedaan itu. Ia memiliki tugas dari leluhurnya yang harus di selesaikan”
            ”Lalu apa kaitannya dengan arwah Nuri yang juga sering mendatanginya ?” Eyang Karso mendesah pelan. Matanya menerawang kesekeliling ruang. Ia langsung merasakan ada roh lain yang duduk bersamanya kini.
            ”Itulah yang kumaksud, bahwa Dahayu terlalu kuat. Ia mengemban tugas dan dendam yang di wariskan dari Ibu kandung yang juga memiliki pertalian kuat dengan Ki Kusumacitra, serta leluhur suci yang mengalir deras di aliran darah serta denyut nadinya”
            ”Ki Kusumacitra ? Bagaimana mungkin Eyang ? Keturunan kami tidak setinggi itu!”
            ”Sewaktu Lasirun masih hidup, aku pernah mengatakan ini padanya. Tapi ia terus melakukan penolakan dan tak pernah percaya akan hal itu. Aku tidak memaksa, tapi Lasirun dan keturunannya juga tidak bisa memungkiri takdir yang ada”

            ”Semenjak Dahayu mendapat menstruasi, ia memang tak lagi sering didatangi mahluk mahluk menyeramkan. Tapi....tapi...seorang pangerang tampan yang menurut pengakuannya adalah salah satu prajurit Patih Gajah Mada. Aku lupa namanya....Emmm...sopo sih yaa?” Mbah Kijah berusaha mengingat nama yang pernah di desiskan Dahayu saat tengah meracau dalam mimpinya.
            ”Raden Mas Ganendra” Ujar Eyang Karso.  
            ”Iya, betul ! nama itu yang sering di desiskan Dahayu, Koe....Koe  bisa tahu ?”
Eyang Karso menghela nafas berat. Matanya terpicing seolah memikirkan sesuatu. Ia mencoba menerawang lebih jauh lagi. Dan ia melihat sesuatu hal besar dan tak biasa akan segera di alami Dahayu.
            ”Besok pagi sekali, bawa lah Dahayu kemari. Aku akan kembali melakukan serangkaian ’ruwatan’ lengkap untuknya” Ujar Eyang Karso tegas. Mbah Kijah hanya menggangguk dengan tatapan yang berharap mendapatkan penjelasan rinci tentang siapakah Raden Mas Ganendra tersebut. Tapi Eyang Karso langsung terduduk dalam posisi semedi. Melihat hal tersebut Mbah Kijah pun langsung mengerti, pria tua sakti itu tengah merambah ilmu untuk tujuan tertentu. Ia pun beringsut pamit.
            ”Terima kasih, Eyang. Saya pamit dulu”
            ”Siapkanlah beberapa perlengkapan yang sesuai dengan weton kelahiran Dahayu, apa yang harus dipantang dan apa yang harus dipakai. Koe pasti sudah tahu, bawa semua besok pagi sebelum fajar” Ujarnya dengan mata tetap terpejam.
Mbah Kijah hanya mengangguk lemah sambil menyeka air matanya pelan dan bangkit . Lelaki berjanggut putih itu masih dalam posisi semedi dengan mata rapat terpejam. Dalam terawang batinnya, banyak sekali hal yang yang diluar kemampuan keilmuannya. Ia pun langsung  melakukan ’olah kanuragan’, salah satu instrumen supranatural dalam praktek ke ilmuan yang di yakininya.  Jauh sebelum Dahayu lahir, ia memang sudah meramalkan, bahwa Mbah Kijah akan memiliki keturunan yang masih memiliki pertalian kuat dengan leluhur para bangsawan Jawa masa lalu. Bahkan jauh sebelum Nuri lahir ia selalu menyuruh Mbah Kijah dan almarhum suaminya untuk sering melakukan ritual ’slametan’ yang sangat di percaya oleh penganut kepercayaan kejawen sebagai jalan lurus menuju Tuhan. Namun karena ada benturan keyakinan antara Mbah Kijah dan suaminya, maka tak semua ritual mistik dalam kepercayaan Mbah Kijah yang diamalkan dengan tulus. Meski Mbah Lasirun tetap menjalankan beberapa ritual Kejawen yang erat dan tersamar dalam bingkai budaya Jawa namun sangat lentur dan akomodatif bagi dirinya yang memegang teguh rukun Islam.
Sore itu, Mbah Kijah pun pulang dengan perasaan nelangsa namun tetap dengan keyakinan yang diberikan oleh Eyang Karso. Naluri keibuannya memang telah mengisyaratkan hal tersebut. Dahayu akan selamat dimana pun ia berada selama doa tetap terpanjat untuknya. Meski kekhawatiran akan kehilangan Dahayu atau hal hal lain yang membuatnya menderita terus saja membayangi segenap langkah hidupnya. Itu tak terpungkiri, terlebih tinggal tersisa 3 hari lagi menjelang keberangkatan Dahayu ke Malaysia. Banyak hal yang harus di persiapkan, terutama ketegaran dan keikhalasan hatinya.
            Kelelahan Mbah Kijah disambut oleh senyum manis cucunya.
            "Si Mbah dari mana sih ? Kok lama sekali" Tanyanya dengan suara manja. Mbah Kijah hanya tersenyum kecil sambil mengelus rambut sebahu Dahayu. Rambut legam dengan aroma khas yang selalu membawanya pada masa lalu, dan rasa sakit atas kehilangan menyakitkan yang mengikutinya.
            "Dari tempat Eyang Karso, Nduk"
            "Yang diatas gunung itu ? Tanyanya dengan mata membulat "Untuk apa Mbah kesana lagi ? sudah jauh, serem dan selalu membuat Mbah jadi sangat lelah" Ujar Dahayu sambil menyodorkan segelas teh manis hangat.
            "Banyak yang harus Mbah dan Eyang Karso persiapkan untuk mu, Nduk"
Mendengar itu, Dahayu menghela nafas panjang sambil memeluk neneknya.
            "Mbah, tak perlu khawatir. Aku akan baik baik saja disana, percayalah Mbah"
            "Mbah tidak mau hal buruk itu terjadi lagi" Timpalnya mulai sedih.
            "Tidak akan Mbah, aku yakin akan selalu mendapat perlindungan Gusti Allah"
            "Tentu Nduk, Mbah akan selalu berdoa untukmu"
            "Lalu apa lagi yang Mbah takutkan ?"
            "Besok, pagi pagi sekali Mbah akan membawamu ketempat Eyang Karso untuk menjalani ruwatan lengkap"
            Ada protes di mata Dahayu, namun urung demi melihat kesedihan dimata neneknya.
            "Bukankah waktu itu aku sudah pernah di ruwat, Mbah ?"
            "Koe belum terlalu kuat, Nduk. Ini demi keselamatanmu"
            "Baiklah, Mbah" Ujar Dahayu akhirnya. Meski ada pertentangan kecil di hatinya. Karena proses ruwatan selalu menghadirkan 2 energi yang berusaha menyeruak di tubuhnya, tentu saja tak enak. Tubuh yang terasa sangat berat dan  pusing yang hebat. Ada hal yang tak bisa dijelaskan secara logika dan akal sehat. Namun nyata dirasakannya. Seolah ada kekuatan lain yang berusaha menyatu di sanubari dan semakin mempertajam nalurinya. Apalagi setelahnya,  ia, Mbah Kijah dan Eyang karso serta beberapa pengikut di paguyubannya melakukan serangkaian ziarah  ke makam para leluhur sambil melakukan semedi di atas makam tersebut. Konsentrasi batin tinggi yang dilakukan Eyang Karso, Mbah Kijah dan beberapa pengikutnya selalu menghadirkan pemandangan mistis yang memaksa Dahayu untuk lebur bersamanya.  Seperti kemampuan berkomunikasi dengan roh para leluhur lewat pembacaan kidung kidung tertentu dalam bahasa Jawa Krama untuk memanggil roh para leluhur, yang nyata selalu hadir lewat desiran angin yang tak biasa, atau padamnya lampu secara tiba tiba. Namun kedatangannya sangat diharapkan dalam setiap ritual mistik kejawen yang dipercaya bisa memberi wangsit atau tanda tanda gaib. Tak jarang Dahayu mengalami penolakan alami disisi lain batinnya. Selalu ada pergolakan emosi yang tak pernah bisa di mengerti oleh keluguannya. Namun doktrin kejawen yang telah di tanamkan Mbah Kijah sejak kecil selalu mempermudah hal tersebut. Bahwa, ada jarak kedekatan manusia dengan Tuhan yang bisa sangat dicapai dengan konsentrasi batin yang tinggi.  Perlahan Dahayu harus menerima bahwa hal hal mistik yang diturunkan untuknya, telah menjadi satu paket tindakan luhur dalam sebuah laku spiritual Jawa yang dilandasi oleh cinta dan pengalaman nyata.
            Sejak bayi hingga menjelang tujuh belas tahun umurnya. Dahayu telah akrab dengan segala ritual dan benda benda yang di keramatkan dalam kepercayaan yang dianut neneknya. Bahkan konon, leluhur Mbah Kijah masih memiliki pertalian darah dan batin dengan Ki Kusumacitra, yang ajarannya termaktub dalam Kawruh Kasunyatan Gaib dalam kepercayaan mistik kejawen. Tak heran, Eyang Karso yang merupakan pendiri salah satu paguyuban kejawen,  yang memegang teguh buku ajaran beliau yaitu ”Kusuma Gusti” dan ”Wigati”. Seolah mempunyai tanggung jawab moral yang sangat tinggi dalam menjaga keturunannya. Lewat laku penyucian batin, Eyang Karso kerap melakukan ”Tapa Brata”  seperti mutih, yaitu hanya makan nasi putih tanpa garam dan lauk pauk. Tujuannya untuk mensucikan batin agar mudah menerima wangsit atau petunjuk dari roh para leluhur.
            Ada hal yang merupakan mata rantai yang membuat Nuri mengalami nasib buruk seperti itu, ada karma yang harus dibayar Nuri sebagai akibat dari ketidak patuhan dan pelanggaran yang di lakukan oleh pendahulunya. Eyang Karso telah lama merasakan hal itu, namun ia tak bisa menuntut pengakuan jujur dari Mbah Kijah. Ia telah mendapat titah berupa wangsit yang diterima melalui beberapa semedinya. Bahwa, ia lah dan Dahayu yang harus memutus mata rantai karma itu.
            Dan di pagi buta, sebelum ayam berkokok dan diselimuti ketebalan kabut dan udara dingin. Dahayu pun merelakan tubuhnya di guyur air kembang di tengah pepohonan raksasa yang mirip hutan basah dan sulit dijamah manusia. Tak banyak orang yang tinggal disana, hanya beberapa saja yang rata rata memiliki ciri yang sama  memancarkan aura mistis yang sangat kental lewat tatapan mata mereka. Ditambah perjalanan yang serba terjal, licin, mendaki dan tanpa tertera tanda penunjuk jalan yang pasti. Memang agak tak masuk diakal, jika Mbah Kijah bisa dengan mudahnya menuju kesana. Karena pernah ada beberapa team ekspedisi dari Jakarta yang berusaha mengexplore daerah tersebut. Dan selalu gagal mencapai kesana. Bahkan tersesat tak tentu arah dan kembali di titik mereka memulai perjalanan. Meski mereka telah cukup dibekali oleh berbagai macam teknologi canggih penunjuk jalan. Namun tak pernah bisa terdeteksi bahkan oleh  peta secanggih google earth dan provider map lainnya.

(Bersambung BAB IV - "Roh Wasilah")





2 Ngelmu : Pengertian ilmu dalam kepercayaan kejawen yang bersifat supranatural dan biasanya di dapatkan dari indra ke-6 atau melalui laku batin seperti semedi, telepati dan ngraga sukma


1 Sedulur Papat Kalima Pancer : Kepercayaan budaya Jawa bahwa setiap bayi yang lahir memiliki 4 saudara kembar yang tidak terlihat dan menetap didunia pararel yang berbeda

Friday, March 10, 2017

KARMA GETIH - Bab Dua "Serat Jiwa" #Cerbung

Penasaran dengan karakter Dahayu ? Yuk kita ikuti kisah selanjutnya Novel KARMA GETIH ini....
Image : from Google

BAB II
SERAT JIWA
(Ria Jumriati)
            Sudah seminggu ini Mbah Kijah tergolek lemah dipembaringan. Badannya terasa lemah dengan panas yang terkadang meninggi. Dahayu sangat kebingungan. Ia sudah begitu malu untuk terus menerus minta pertolongan tetangga. Sambil terus mengompres kepala Mbah Kijah, ia pun menangis tersedu-sedu.
            “Nduk…”  Sahut Mbah Kijah lemah.
            “Istirahatlah, Mbah…nanti aku baluri badan Mbah dengan bawang merah yaa”
            “Tidak usah Nduk, nanti saja..Mbah mau cerita sama kamu”
            “Sudahlah Mbah..nanti Mbah tambah sakit”
            “Tidak..Mbah harus menceritakan ini padamu”  Mbah Kijah berusaha untuk bangkit. Sambil menangkis pelan tangan Dahayu yang berusaha merebahkannya.
            “Ceritanya nanti saja kalau Mbah sudah sembuh, ya” Bujuknya, tapi Mbah Kijah menolak. Dengan mata setengah terpejam dan nafas tersenggal. Ia pun menuturkan kalimat demi kalimat yang membuat dada Dahayu terasa ditusuk sembilu yang maha tajam.
            “Aku memang sudah sering mendengar orang desa bergunjing seperti itu Mbah, tapi aku tak percaya…”
            “Nasib keluarga kita memang malang Nduk, tapi Ibumu adalah wanita baik baik. Ia hanya menjadi korban kejahatan majikan Malaysianya. Dan Mbah…..Mbah tak mau kamu bernasib sama dengan Ibumu ! Cuma kamu satu satunya harapan Mbah dihidup ini” Tuturnya pedih. Mereka pun berpelukan erat sambil menangis sesegukan. Dahayu merasakan tubuh Mbah Kijah semakin lemah dengan panas meninggi.
            “Nduk, tolong buka koper diatas lemari itu” Pinta Mbah Kijah kemudian. Dahayupun menurutinya.

Dengan bersusah payah ia mencoba membuka satu kotak berbahan beludru merah yang telah lusuh. Ada beberapa kertas kertas yang berisi coretan tangan, perhiasan dan satu kotak kecil yang ternyata menjadi benda yang diambil oleh Mbah Kijah dan diberikan kepada Dahayu. Ia kembali terbatuk batuk.
            “Ini milik Ibumu sebelum ia meninggal dunia, buka lah”. Dahayu terngaga menerimanya. Kebingungan, ketakutan dan rasa tak enak meliputi benaknya, mendadak ia merasakan tubuhnya berat seperti ada sosok lain yang tiba tiba menyeruaki tubuhnya. Tangannya bergetar membuka kotak berornamen emas itu.
            “Mbah...Ada foto Ibuku, perhiasan dan........ini, ini...foto laki laki yang sering aku lihat di...... ?” Serunya dengan mata berkaca kaca.  “Dia Ayahmu Nduk...namun tidak pernah mengakui keberadaanmu sebagai anaknya”. Dahayu menghela nafas panjang seraya menyandar lemah.
            ”Siapa namanya Mbah ?”
            ”Ada dibelakang foto itu, Nduk. Mbah sendiri tak mau mengingat namanya apalagi wajah bengisnya yang telah membuat Ibumu menderita” Nuri membalik foto itu dan menemui tulisan ”Yang Dipertoan Agung Nizham Abdullah”
            “Aku sudah banyak dengar cerita tentang penderitaan Ibu karena ulah orang Malaysia itu Mbah. Wajahnya sering sekali berseliweran di mimpi dan alam batinku. Kadang aku melihat dengan jelas bagaimana ia menyiksa Ibuku. Membuatnya menderita dan........” Kalimatnya terputus oleh desahan dendam. Lalu kilatan amarah dimatanya. Mbah Kijah buru buru mengalihkannya.
            “Tadi malam Mbah bermimpi. Ibumu datang dan meminta Mbah memberikan ini kepadamu. Meski Mbah sudah tahu lama akan benda-benda ini tapi Mbah selalu lupa untuk memberikannya...entahhlah, mungkin karena memang Mbah sudah tua. Dan untuk perhiasan itu, semiskin apapun Mbah tak akan menjualnya. Itu satu satunya benda peninggalan almarhum Ibumu. Kamu berhak untuk menyimpannya Nduk” Dahayu hanya terdiam sambil terus memperhatikan foto laki laki dengan kumis tipis dengan senyum angkuh.

            “Kamu sama sekali tidak mirip Ibumu Nduk, hanya lentik matamu saja. Meski kau terlahir di keluarga miskin,  tapi dirimu memancarkan keagungan seorang perawan ningrat. Cara bicara, berjalan bahkan sorot matamu yang begitu teduh sempat membuat Pak Kepala Desa mengira dirimu adalah keturunan bangsawan Jawa. Mbah tidak tahu, dari mana semua kelebihan itu. Yang jelas tidak mungkin dari lelaki terkutuk itu. Meski menurut Ibumu, lelaki itu adalah anak keturunan raja yang sangat disegani di negaranya.
            “Aku memang tak pernah melihatnya Mbah, tapi aku sering memimpikannya...hampir setiap malam sejak aku kecil. Dalam mimpiku dulu dan sekarang, aku bahkan bisa melihat perubahaan wajahnya dari tahun ke tahun” tutur Dahayu dengan mata menerawang. Lalu di tatapnya kembali foto Ayahnya dan tersenyum sinis.
            “Foto ini diambil dua tahun sebelum kelahiranku dan aku sangat tahu dimana manusia biadab ini berada!”. Sebenernya ada kejanggalan yang terlihat jelas di mata dan tutur Dahayu. Dan banyak pertanyaan yang berseliweran di benak lelah Mbah Kijah, tapi ia terlalu sakit dan lelah untuk sekedar menanggapi apalagi bertanya banyak hal.
            “Mbah hanya ingin kamu tidak bernasib sama dengan Ibumu Nduk, hanya kamu yang Mbah miliki dihidup ini...kalau sampai.....” Kalimat serak itu terputus oleh tangis. Tapi Dahayu tak ikutan sedih seperti biasa. Ia malah menatap tajam wajah neneknya.
            “Mbah jangan nangis! Sudah terlalu banyak air mata derita kita karena laki laki  itu, dan Ia harus membayarnya dengan darahnya sendiri. Apa dia punya darah sebanyak air mata yang telah tertumpah dari mata Ibuku, aku dan Mbah ??!! Jerit Dahayu dengan dada bergemuruh. Gerak gerik Dahayu pun berubah aneh. Tatapan, desah nafas bahkan suara Dahayu mendadak berubah.  Mbah Kijah pun langsung tahu, Dahayu tengah membuat kontak dengan orang orang di dunia lain. Meski ia mengetahui akan kelebihan indra keenam yang dimiliki cucunya, hal itu tak pernah bisa diterimanya. Ia ingin Dahayu terlepas dari semua itu. Membuat hidup Dahayu senormal mungkin adalah hal yang tak pernah berhenti diusahakannya. Meski Mbah Kijah tahu, terlalu berat untuk melepas kodrat Dahayu yang menurut Eyang Karso, memiliki rantai karma dengan para leluhur bangsawan kerajaan Jawa masa lalu. Selain itu, auranya pun sangat di sukai dan di cari oleh manusia manusia berderajat tinggi yang masih terperangkap di dunia pararel.
            “Lalu apa yang akan kamu lakukan, Nduk ? Koe cuma seorang perempuan.. Rasanya tak mungkin melampiaskan dendammu. Mbah takut malah kamu akan......” Sahut Mbah Kijah, seolah ingin menepis ketidak normalan cucunya.

            “Aku harus ke Malaysia Mbah, harus.....aku harus menguras darah lelaki sialan itu! Tak usah tanya bagaimana aku akan menghabiskan seluruh darah yang ada ditubuhnya, bahkan aku biarkan sebagian perutku kelaparan untuk ku beri makan isi perut dan jantungnya !” Timpal Dahayu berapi api. Mbah Kijah berusaha bangkit dan merangkul tubuh Dahayu yang bercucuran keringat dingin. Bibirnya bergetar, matanya berkilat kemerahan. Ada kesedihan sangat yang merambati relungnya, yang sama sekali tak ingin pertumbuhan cucunya di ganggu oleh hal mistis untuk tujuan dan alasan apapun. Namun Mbah Kijah semakin jelas melihat wajah almarhum Nuri di airmuka Dahayu. Ia pun mendekap tubuh cucunya dan mencoba menenangkannya dengan beberapa kalimat doa.
            “Eling Nduk...Eling....Biar Gusti Allah yang membalasnya. Mbah sudah merelakan dengan ikhlas kepergian Ibumu dan semua musibah yang menimpa kita. Mbah yakin, Gusti Allah tidak pernah tidur dan pasti ada pertolongan dan hikmah dari semua ini” Tuturnya sambil terus menenangkan Dahayu.
            “Tidak Mbah, derita ini tidak pernah akan berakhir sebelum dia mati !”
            “Lalu apa daya kita untuk melakukan itu Nduk ? Kita ini orang miskin dan lemah”          
            “Tapi aku tidak lemah, aku bisa melakukan itu!!”
Mbah Kijah pun terdiam. Ia tak mampu lagi menanggapi dendam membara yang tiba tiba bergejolak hebat. Ia sangat bisa merasakan desahan derita almarhum suaminya dan Nuri membaur di amarah Dahayu. Sejujurnya, ia pun sering memimpikan ini. Ia sering memimpikan Nuri memberinya senjata tajam, kepala seorang laki laki dan terakhir yang lebih mengerikan, ia bahkan pernah memimpikan Nuri tengah memakan isi perut mantan majikannya itu. Meski banyak doa yang terus dikirimnya bagi ketenangan arwah Nuri, namun ternyata itu tak cukup menghapus dendamnya hingga  ke liang lahat.

            Mbah Kijah masih terbaring lemah saat matahari telah meninggi. Dahayu tak ada dirumah meski sarapan  dan satu tablet obat pusing telah disediakannya di meja samping tempat tidurnya. Nenek renta itu berusaha bangun dan menuju dapur, ia tetap berniat jualan pagi ini dan mengambil sayuran di pasar meski sudah tak tersisa yang segar bila sudah siang begini. Tapi di dapur Mbah Kijah tak menemui bakul sayurnya. Mbah Kijah pun keluar dan bertanya pada tetangga sekitar.
            “Bu Las, Koe ndelo putuku lungo ngendi ora ?” (Kamu, lihat cucuku pergi kemana, tidak ?)
            “Loh, Ta kira Si Mbah wish ngerti..Dahayu sing  gantiin Mbah jualan sayur hari ini”
            “Oalaaaa....Dahayu, Dahayu...Yo wis Bu Las, kesuwun yoo. Aku masih pusing arep turu maning”
            “Iya Mbah, istirahat saja. Wong Dahayu sudah perawan kok, ndak usah terlalu khawatir. Lagi pula Dahayu itu beda dengan kebanyakan anak gadis lainnya. Ia begitu anggun dan sopan, seperti putri keraton, semua orang memandangnya segan.  Pokoknya Dahayu itu beda ya Mbah” Tutur Bu Las,  Mbah Kijah hanya menanggapi dengan senyum dan berlalu. Anehnya ia tak lagi merasakan sedih seperti biasanaya. Ketakutan akan kehilangan Dahayu seperti nasib Nuri mendadak terkikis pagi ini. Debar aneh dan rasa tak enak itu tak ada lagi. Entahlah,   ia mendapat kekuatan dan keyakinan itu dari mana. Yang jelas, dihatinya telah ada restu seandainya Dahayu harus berangkat ke Malaysia.

            Saat sore hampir menjelang, Dahayu baru pulang dengan diantar supir delman dengan banyak belanjaan yang dibawanya. Ia membelikan Mbah Kijah kain panjang, kerudung dan kebaya baru, juga obat obatan dan vitamin serta makanan lainnya.
            “Dari mana koe dapat kan semua ini Nduk ? Dan mengapa pergi tanpa pamit sama Si Mbah?”
            “Aku tidak mau mengganggu tidur Mbah dan semua ini aku beli dari perhiasan Ibu yang aku jual. Lumayan Mbah. Lakunya mahal sekali kata tukang emas di pasar, ini emas Serawak jadi dia berani bayar mahal, sampe jadi rebutan toko emas di pasar loh Mbah! Disangkanya aku ini orang kaya, masa ada yang memanggilku Kanjeng Putri” Tutur Dahayu dengan tawa renyah. Mbah Kijah menyimak senang keceriaan yang jarang ditemui diwajah cucunya. Memang makin terlihat aura ningrat tertancap jelas di keseluruhan tubuh Dahayu. Leher jenjangnya, mirip sekali dengan lukisan Dyah Pitaloka  yang pernah di lihat dirumah Bapak Lurah dulu.
Oya Mbah,   Ini uang hasil jualan perhiasan itu. Aku saja sampe kaget di kasih uang sebanyak ini. Lima juta rupiah !” Tutur Dahayu dengan mata berbinar “Aku heran, kenapa Mbah tidak menjualnya dari dulu dan membuat warung kecil saja dirumah dengan modal uang ini”
            “Tapi itu milikmu Nduk. Itu pesan Ibumu, makanya Mbah tidak mau menjualnya, tapi kalau kamu telah menjualnya yaa...Mbah tidak melarang apalagi marah”
            “Ada satu lagi kabar gembira Mbah”
            “Opo maning Nduk ?” (Apa lagi, nak ?)
            “Besok aku akan kerumah Pak Abdil dan membatalkan rencanaku untuk pergi ke Malaysia, aku mau disini saja temani Mbah sambil berdagang”
Tapi tak ada wajah gembira Mbah Kijah seperti yang diduga Dahayu, ia malah mendesah sedih.
            “Kenapa Mbah? Bukannya Mbah senang dengan kabar ini ?”
            “Tidak Nduk, Mbah merasa kamu memang harus pergi ke Malaysia dan menyelesaikan apa yang di inginkan Ibumu meski hati kecil Mbah sangat tidak rela jika kamu harus menjadi penerus dendam dan sakit hatinya. Tapi Mbah tidak sanggup lagi melarang...Mbah, sudah ikhlas” Tuturnya dengan mata berkaca kaca. Dahayu hanya ternganga tak percaya.
            “Kenapa tiba tiba Mbah berubah pikiran ?”
            “Karena...karena sepertinya Ibumu memang menghendaki dirimu untuk berangkat kesana Nduk.. Meski selama bertahun tahun Mbah mencoba menolak segala mimpi mimpi itu. Dan semakin Mbah tolak semakin sering pula arwah Ibumu mendatangi Mbah yang sulit dibedakan antara mimpi dan kenyataan. Dahayu hanya terdiam, di ujung sana matanya cakranya langsung menangkap sosok Nuri yang berdiri semakin dekat ke arahnya. Komunikasi batin pun terjadi antara Dahayu dan arwah Ibunya. Dahayu tak banyak menjawab, ia hanya mengangguk beberapa kali.
            “Ibu baru saja mengatakan hal yang sama Mbah” Ujar Dahayu menjelaskan. Mbah Kijah hanya mendesah pelah, matanya menyapu ruang disekitar rumahnya. Namun hanya mengundang rasa dingin dan merinding di sekujur tubuhnya.
            “Itu lah sebabnya Nduk, Mbah tak punya alasan lagi untuk menahanmu, meski Mbah khawatir, tapi Mbah yakin Gusti Allah pasti melindungimu”
            ”Aku tahu dimana harus mencarinya !” Ujar Dahayu dengan suara yang berubah menjadi suara Nuri. Meski hal tersebut bukan pertama kali di temuinya, namun tak urung membuat batinnya lelah. Satu hal yang membuatnya sedih, adalah keinginannya untuk membuat Dahayu tumbuh senormal mungkin. Tanpa harus hidup di dunia pararel.
            “Aku tahu dimana dia Mbah, aku tahu apa yang sedang dia lakukan saat ini!” Serunya dengan tangan dan bibir bergetar. Mbah Kijah kembali menenangkan cucunya. Dan mengajak Dahayu  duduk.
            “Nduk, eling Nak....” Tiba tiba Dahayu menangis tersedu.
            “Apa yang terjadi dengan ku Mbah ? Setiap kali aku melihat foto itu, tubuhku sekonyong konyong menjadi berat. Aku bahkan dapat melihat sosoknya dengan jelas, duduk manis di sebuah rumahnya yang megah sambil membaca koran. Seolah aku pernah menjadi bagian dari hidupnya begitu lama. Tapi.....tapi.......” Kalimat di bibir Dahayu kini tersenggal oleh senggalan nafasnya yang memburu kencang. Ada kilatan amarah yang terpancar dimatanya. Mbah Kijah, malah melihat jelas kemarahan almarhum Nuri dimata cucunya yang mendadak kehilangan keluguannya seperti biasa.
            ”Tapi apa Nduk...Eling Nduk ! Eling! Timpal Mbah Kijah menyadarkan.  Dahayu pun tergugu dalam tangis sambil memeluk tubuh tua Neneknya.
            ”Apa yang terjadi denganku  Mbah? Apa arti semua perasaan aneh ini ?”
            “Mbah sendiri tidak tahu apa arti semua ini, tapi Mbah takut jika tidak menuruti apa yang diinginkan almarhum Ibumu, maka ia akan terus mendatangi kita. Dan  Mbah akan sangat merasa berdosa jika kelak Mbah telah tiada, dendam ini belum juga terselesaikan, Nduk” Dahayu masih menangis di pelukan Mbah Kijah dalam ketakutan, kebingungan dan kekuatan yang semakin menggumpal menjadi energi baru  yang tak pernah ia mengerti sebab dan asal muasalnya. Namun selintas kemudian, ia pun tersenyum dalam pejaman mata yang erat. Prajurit tampan itu datang menghampirinya, memeluknya dan memberi kehangatan tersendiri dibatinnya. Jasad Dahayu pun tertidur, tapi rohnya jauh terbawa ke suatu masa ratusan tahun lalu. Jiwanya nelangsa saat pandangannya bertaut dengan tatapan tajam nan lembut prajurit tampan tersebut. Disebuah pendopo keraton, mereka pun memadu kasih.
@@@

Pagi masih menyisakan kehangatan mentari. Namun tidak dihati Mbah Kijah. Rasa dingin yang aneh dan misterius terus saja melingkupi hati dan sanubarinya. Ingin rasanya ia menceritakan semua yang ia alami sejak kematian Nuri. Banyak hal janggal yang mengikutinya. Nuri memang tidak mati dibunuh, ia meninggal beberapa jam setelah Dahayu lahir. Namun beberapa menit sebelum kematiannya, ada pesannya yang berusaha di lupakan oleh Mbah Kijah tapi tak pernah bisa.

            “Wujudku boleh saja mati Bu, tapi aku akan terus hidup pada jiwa anak ini. Akan ku tuntun ia untuk melampiaskan dendamku pada Nasruddin, lelaki biadab itu !”

Setelah itu Nuri pun pergi dengan sebongkah dendam yang dituntut untuk dipecahkan kemudian hari dengan cara apapun. Mbah Kijah yang taat dan percaya pada kekuatan Gusti Allah, terkadang tak bisa menerima hal itu. Namun ia tak pernah berhenti di kunjungi kemarahan Nuri kerap kali ia mencoba melawannya. Akhirnya, saat itu pun tiba. Dahayu beranjak remaja dan waktu itu telah datang menjemputnya. Mbah Kijah mendesah miris. Harus kah Dahayu yang terlahir tanpa pinta dan dosa itu, menanggung beban dendam ini ? Mengapa ada seorang lelaki yang begitu biadab menanamkan benih tak berdosa dan menistakannya begitu saja ? Sejak musibah itu menimpanya, yang bisa dilakukan Mbah Kijah hanya berpasrah dalam doa. Meski tak terhitung sudah air mata dan rasa sakit hati yang terus dilawannya dengan menganggap ini sebagai bagian dari takdir buruknya sebagai manusia. Sakit hati itu pula yang menjadi andil paling besar atas kematian suaminya. Mbah Lasirun memang tak sekuat dirinya. Ia bisa tegar menerima semua hujatan orang atas nasib yang diterima anaknya yang mati dan meninggalkan seorang cucu yang seumur hidupnya di cap sebagai anak haram. Bahkan sejak Dahayu lahir dan mendapat stigma itu dari masyarakat desa, Mbah Lasirun tak berani lagi pergi sembahyang berjamaah di masjid. Jarang ikut pertemuan di desa dan mengundurkan diri dari kepengurusan berbagai kegiatan di balai desa. Iia tak pernah menolak atau membenci  kelahiran Dahayu. Tapi gempuran masyarakat desa atas aib yang tak pernah mereka minta membawa Mbah Lasirun pada derita batin yang luar biasa. Ia sering termenung, terlebih saat menjiarahi makan anaknya. Mata tuanya terus saja dilinangi airmata dendam dan duka. Sampai akhirnya, suatu pagi Mbah Kijah menemui Mbah Lasirun yang tak pernah terbangun lagi dari tidur terakhirnya, tepat dimalam 40 hari kelahiran Dahayu. Mulai detik itu, Mbah Kijah berjuang seorang diri membesarkan Dahayu diantara gaung cerca yang tak pernah hilang sama sekali hingga kini. Dan Mbah Kijah berusaha untuk bertahan, ia percaya pada kekuatan doa. Seandainya derita ini tak berakhir pada rentang hidupnya, setidaknya ia punya doa agar pada Dahayu lah hikmah itu bisa terpetik. Atau bisa jadi, Ia dan keturunannya lah yang di pilih Gusti Allah untuk mengakhiri satu angkara murka di muka bumi ini. Mbah Kijah tak pernah berani mengandaikan apa yang akan terjadi pada kehidupannya kelak, bahkan untuk hal baik sekalipun. Ia hanya percaya pada keadilan Tuhan di hidup ini. Hanya itu....keadilan yang berlaku bagi hambanya tanpa mengenal kasta dan gelar. 

(Bersambung : Bab III Sedulur Papat Kelima Pancer)