KARMA GETIH dalam bahasa Jawa memiliki arti Karma Berdarah. Cerita ini pernah saya kirim ke beberapa Penerbit dan sejumlah Majalah Wanita, namun tak ada berita apakah diterima atau di tolak. Dan saya memutuskan untuk menayangkan secara berseri di blog saya ini.
Selamat menikmati !
Image : From Google
BAB I
KARMA GETIH
Ria Jumriati
Sejak kecil Dahayu
hanya mengenal kakek neneknya. Hanya dua manusia renta itu yang mengurusnya
hingga akhirnya salah satunya meninggal ketika Dahayu menginjak usia 40 hari.
Tersisa hanya Mbah Kijah yang terbungkuk payah memanggul beban sebagai tukang
sayur keliling demi membiayai hidup cucu semata wayangnya. Meski Mbah Kijah
bersikeras agar Dahayu menamatkan sekolahnya hingga jenjang SMU, namun gadis
itu menolak. Ia tak lagi bisa berkompromi dengan kemirisan hatinya demi melihat
penderitaan Mbah Kijah. Tawaran menjadi pembantu di kota akhirnya terpikir juga olehnya demi mengurangi beban
neneknya.
“Mbah masih mampu kasih makan kamu,
ndak usah ke kota Nduk. Aku wedhi, sampean di jahati wong kota”
“Tapi aku kan dibawa sama Pak Abdil,
orangnya Mbah Kijah kan juga sudah lama kenal dan baik sekali sama keluarga
kita”
“Tapi dikota kan kamu bakal kerja
sama orang yang juga ndak terlalu dikenal sama Pak Abdil, wong dia itu kan cuma
makelar pembantu”
“ Tapi aku tak tega melihat Mbah
terus terusan kerja dan menderita” Seru Dahayu hampir menangis. Namun Mbah Kijah
berusaha tegar. Nuraninya tetap membisikkan sesuatu yang aneh untuk melepas
cucu semata wayangnya.
“Izinkan aku pergi ya Mbah …” Pinta Dahayu
memohon, namun Mbah Kijah bergeming dengan wajah mengeras.
“Kamu tahu kan Nduk ? Ujarnya sambil
menatap iba wajah Dahayu. “Sudah banyak kita dengar orang-orang desa sini yang
jadi korban kejahatan orang kota. Belum lagi yang kerja diluar negeri, pulang
bukan bawa uang malah jadi gila karena dijahili majikannya. Aku ndak mau kamu
bernasib seperti itu Nduk, cuma kamu satu-satunya harapan Mbah dihidup ini”
Dahayu hanya terdiam sedih. Cerita
mengerikan dari Lastri dan Hanum sudah menjadi buah bibir tak berkesudahan di
desanya. Lastri yang menjadi TKW di Malaysia bahkan harus menjalani hidupnya
sebagai gadis cacat karena menjadi korban penganiayaan majikannya yang kejam.
Lalu ada Hanum, yang seumur hidupnya harus menanggung malu dengan mengandung
dan melahirkan anak keturunan arab dari benih anak majikannya yang
memperkosanya saat bekerja disana. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain
menerima kenyataan itu sebagai takdir sial yang harus dipanggul seumur hidup.
Belum lagi, kisah Karsih dan adiknya yang terpaksa menjadi piatu saat ibu
mereka pulang dalam keadaan tak bernyawa karena di bunuh oleh majikan Jiran
nya. Tapi ironisnya, animo masyarakat terutama kaum perempuan masih saja tinggi
untuk bekerja di kota dan luar negeri. Iming – iming gaji dan fasilitas besar
memang bisa menghapus berita seburuk apapun. Kemiskinan yang kian mencekik dari
hari kehari telah membutakan mata dan hati mereka pada pengalaman pahit yang
pernah dialami teman mereka sebelumnya. Keluar dari jurang kemiskinan meski harus
mendaki keterjalan yang tak jarang merusak masa depan dan pertaruhan nyawa, juga
tak membuat mereka menjadi jera. Jiran memang bermandikan harapan, Namur
terkadang harus dibayar sangat mahal oleh derita terampasnya harga diri, masa
depan bahkan nyawa. Dan sayangnya, tak ada satu pun tangan perkasa di negeri ini
yang bisa melindungi harga diri mereka sebagai bagian dari anak bangsa yang
mencoba mencari peruntungan hidup yang tak pernah bisa disediakan oleh
perangkat negara yang mengurusi kekayaan negeri ini dengan cara cara yang salah
dan kerap mengorbankan mereka.
Dahayu masih diliputi kebimbangan
pada tawaran Pak Abdil beberapa minggu lalu. Terbayang jumlah gaji yang
dijanjikan Pak Abdil. Angka itu sangat bisa menutupi semua kebutuhan hidupnya
selama ini. Dan yang lebih penting Mbah Kijah tak perlu lagi berjualan sayur
keliling desa. Belum lagi bila sayurannya tak laku dan Mbah Kijah terjatuh
sakit hingga berhari hari. Apa yang bisa dilakukan Dahayu ? Uang tak punya,
harta tak lagi ada yang tersisa untuk dijual, yang ada hanya pasrah. Hal itulah
yang membuat Dahayu ingin sekali menerima tawaran Pak Abdil. Ia tak perlu
bekerja bertahun tahun, menurut hitungannya hanya setahun saja ia sudah bisa
mengumpulkan uang untuk modal Mbah Kijah berjualan dirumah, membuka kios kecil
untuk berjualan sayur mayur.
“Lumayan loch Yu, gajinya ringgit.
Kalo di tukar ke rupiah jumlahnya bisa jutaan setiap bulannya” Bujuk Pak Abdil
ketika dilihatnya Dahayu masih ragu ragu.
“Tapi Mbah Kijah ndak setuju Pak,
dia takut aku dijahati sama majikanku seperti Lastri dan Hanum”
“Lah, itukan masalah nasib” Pak
Abdil mulai mengeluarkan siasat rayuannya “Wong banyak juga kok warga desa ini yang sukses bekerja di luar
negeri. Kamu tahu rumah gedong di desa Kenasih ? Itu rumahnya Bu Sagiyem yang
sudah 10 tahun bekerja di Malaysia. Wah, dia itu jadi wong sugih sedesa
Kenasih! Kamu mau kan seperti itu ?”
Mata Dahayu masih terlihat ragu.
Terbayang wajah Mbah Kijah yang tak pernah memberinya restu.
“ Lagi pula ndak semua orang
Malaysia atau Arab itu jahat. Tergantung kita bisa membawa diri, dan aku yakin
kamu pasti bisa bernasib baik seperti Bu Sagiyem itu. Apalagi...hmmmm, wajah
dan penampilanmu sangat anggun dan bermartabat. Pasti orang akan berpikir ulang
untuk melecehkanmu, Dahayu” Tutur Pak Abdil meyakinkan.
“Tapi…Mbah Kijah ndak setuju Pak”
Terdengar tawa
renyah Pak Abdil. Ia menepuk pundak Dahayu pelan.
“Tenang Nduk, nanti aku yang bicara
pada Mbah mu”
“Dia pasti ndak bakal kasih” Ujar Dahayu
putus asa.
“Tidak usah
khawatir, yang penting kamunya mau. Urusan Mbah Kijah biar aku yang tangani.
Selama kamu pergi nanti aku akan kasih uang sangu untuknya” Ujar Pak Abdil
berusaha bijaksana. Ada ketenangan dihati Dahayu mendengarnya. Sementara
kebulatan tekad untuk meninggalkan desanya semakin kuat. Rumah Bu Sagiyem memang
bak istana megah. Ia bahkan bisa membuka pabrik makanan kecil yang dimodali
dari hasil kerjanya bertahun tahun di
Malaysia. Anak dan suaminya hidup berkecukupan. Serta merta ia pun menjadi
orang yang sangat dihormati dan disegani seantero desa Kenasih. Dan Dahayu
ingin sekali hidupnya kelak seperti itu. Jauh dari balutan kemiskinan, jauh dari hina dan cerca
serta pelecehan sebagai gadis tunggal dan yatim piatu. Dahayu yakin, uang lah
yang bisa membuat banyak orang tertunduk hormat padanya. Sebagai gadis yang tak
pernah mengenal kedua orang tuanya dan tak mengeyam pendidikan tinggi, menjadi
TKW adalah jalan pintas meraih impiannya. Lalu ada Pak Abdil yang bisa menjadi
jembatan untuk mewujudkannya. Tinggal kendala meyakinkan Mbah Kijah, itu saja.
Ada senyum tipis dibibir mungil Dahayu. Tekad itu semakin menggumpal bulat
dibenaknya.
agi seperti biasanya, Mbah Kijah
terlihat berjalan pelan sambil memanggul sayuran di pundaknya. Menjajakan
dengan ramah kesetiap rumah penduduk untuk membeli sayurannya. Tak ada beban
tersirat di mata tua itu. Kerelaan menjalani garis nasib perlahan lebur bersama
kepasrahan seorang nenek tua yang berusaha berdamai dan merasakan kenyamanan
dari segala beban hidup yang terasa berat bila kita mencoba sedikit saja
melongok kehidupan setingkat diatasnya. Namun Mbah Kijah, tak pernah melakukan
itu. Entah tak peduli atau tak berani untuk sekedar membuat perbandingan. Yang
dirasakan orang sepertinya hanyalah berusaha selagi masih diberi nyawa.
“Mbah, ada sayur nangka Ndak ?!”
Teriak Bu Darjo dari balik jendela rumahnya. Bibir Mbah Kijah serta merta
tersenyum lebar meski tak lagi dihiasi satu gigipun. Setengah tergopoh ia
memasuki pekarangan rumah Bu Darjo.
“Ada Bu, masih segar dan bagus loch.
Dimasak santan dan dicampur daun melinjo bisa tambah enak” Tuturnya berpromosi.
Bu Darjo pun segera sibuk memilih sayuran dalam bakul Mbah Kijah.
“Aku ambil sekalian kelapa sama
terongnya ya “
“Silahkan bu, terima kasih” Jawabnya
ramah sambil membungkus sayuran Bu Darjo.
“Mbah Kijah, aku dengar Dahayu mau
dibawa Pak Abdil ke Malaysia ya ?” Tanya Bu Darjo tiba-tiba. Mata tua
Mbah Kijah serta merta terkejut.
“Tidak kok Bu, aku
tidak pernah memberi izin padanya”
“Iya, jangan Mbah. Sudah banyak
korban ! Apa Dahayu tahu kalau Ibunya dulu…” Kalimat Bu Darjo segera di hentikan
oleh isyarat tangan Mbah Kijah.
“Ssssst, mohon jangan pernah
bicarakan itu lagi. Kasihan Dahayu”
Bu Darjo pun
tersenyum maklum. Lalu segera membayar pesanan sayurannya.
Setelah pamit, Mbah
Kijah keluar dari pekarangan Bu Darjo dengan semangat terbelah. Hati lelahnya
mendadak berduka. Ada luka masa lalu yang perlahan terkuak. Tiba tiba ia merasa
bakul sayurannya terasa berat. Mbah Kijah berjalan semakin pelan. Hari ini
semangatnya hampir tersedot kekubangan masa lalu yang kelam. Ada bulir bening
yang berusaha ditahannya. Namur kaki renta itu terus menjejaki jalan setapak
desa dan menjajakan sayurannya dengan suara parau.
Saat sore menjelang Mbah Kijah pun
pulang kerumah dengan badan yang terasa lebih lelah dari biasanya. Ia melihat Dahayu
telah menyiapkan teh panas dan ubi rebus di meja. Namun sosok Dahayu tak
terlihat seperti biasanya.
“Nduk, nduk…dimana koe ?” Teriaknya
pelan. Tapi Dahayu tak juga menampakkan diri. Mbah Kijah mencari kedalam
kamarnya. Tak ada, hatinya kembali diliputi perasaan tak enak. Peristiwa
kehilangan Dahayu, sudah sering ia alami, bahkan ketika ia masih bayi, pernah
hilang selama 3 jam dan kembali dalam keadaan baik sekali, tanpa diketahui siapa yang telah membawa bayi
berumur 2 bulan itu. Hal itu masin terulang saat ia berumur 5 tahun. Ketika
ditanya kemana saja selama menghilang, Dahayu sendiri tak bisa menjawabnya.
Sejak lahir, hidup Dahayu memang banyak diliputi hal hal mistis kental dengan
kemisteriusan.
Mbah Kijah pun
melangkah keluar, untuk mencari, sosok Hanum tiba tiba muncul didepan pintu.
“Mbah..sudah pulang ?”
“Iya, kamu lihat dimana Dahayu ?”
Tanyanya cemas
“Barusan dia pamit, katanya diajak
Pak Abdil untuk dipotret ditempat foto di Desa Kenasih. Dia minta di izinkan
kalau Mbah pulang” Tutur Hanum pelan.
“Foto ? Dengan Pak Abdil ? Untuk apa
?! Mbah Kijah mulai panik
“Katanya untuk passport ke Malaysia”
“Apa ?! Siapa yang memberinya izin ?
Berani-beraninya Pak Abdil mengambil cucuku tanpa seizinku !” Ujarnya marah dan
panik.
“Aku tidak tahu Mbah, aku cuma
dititipi pesan. Tadinya Dahayu memang menolak, tapi Pak Abdil memaksa. Katanya
biar nanti dia yang bicara dengan Mbah Kijah” Jelas Hanum sambil membetulkan
gendongan anaknya yang berwajah arab. Terdengar desahan kesal Mbah Kijah. Tapi
ia hanya dapat terduduk lemah dengan wajah kesal.
“Katanya sih cuma sebentar. Sebelum
sore sudah pulang” Lanjut Hanum mencoba menenangkan.
“Ya sudah Num, terima kasih
yaa..biar aku tunggu saja disini”
Hanumpun tersenyum
tipis seraya pamit. Mbah Kijah masih menahan gemuruh didadanya dengan mata
berkaca kaca. Pikirannya serta merta melayang ke masa silam. Luka dan rasa
sakit itu masih belum lagi mengering dihatinya. Rasanya ia tak sanggup jika Dahayu
harus mengalami hal yang sama dengan Ibunya. Mata Mbah Kijah serta merta basah
oleh buliran air mata yang mengaliri pipi keriputnya. Kotak kenangan masa lalu
itu kembali terbuka.
Saat itu di desanya memang tengah
terjadi boming pencarian tenaga kerja wanita untuk di rekrut sebagai TKW. Bahkan
kantor agen yang mengurusi keberangkatan para TKI itu tak pernah sepi didatangi
orang yang hendak mengadu nasib di negeri orang. Dan Nuri adalah salah satunya.
Tergiur oleh bujuk rayu teman-temannya dan iming-iming gaji tinggi. Akhirnya,
Nuri pun mendaptarkan diri untuk ikut diberangkatkan ke Malaysia. Meski
mendapat izin dari Ayahnya, namun naluri keibuan Mbah Kijah mengisyaratkan
sesuatu yang buruk pada Nuri. Ia bersikeras melarang kepergian Nuri ke negeri
Jiran.
“Ndak usah ikut-ikutan temanmu, dia
itukan sudah pengalaman kerja di kota. Lah..kamu? wong masak saja masih belum
becus”
“Tapi nanti akan diajari dulu Bu,
baru kalo sudah pintar kita akan ditempatkan di rumah orang orang kaya di
Malaysia”
“Kejauhan Nduk, kalo ada apa-apa Ibu
dan Bapak ndak bisa cepat membantu”
“Doakan saja lah Bu, aku pasti akan
baik-baik saja” Ujar Nuri meyakinkan “Lagi pula, gajinya besar dan lumayan
untuk nambahin modal usaha Bapak”
“Tapi perasaanku ndak enak….”
Ujarnya sambil menatap putri semata wayangnya.
Dan perasaan tak enak Mbah Kijah
memang terbukti. Setahun bekerja di Malaysia. Nuri pun pulang. Tapi tidak
membawa uang seperti harapannya. Ia dipulangkan dalam keadaan berbadan dua.
Gajinya yang hanya dibayarkan sebagaian habis ludes dicuri oleh oknum di
Depnaker. Saat dalam karantina dan menunggu waktu untuk dipulangkan
ke desa nya. Nuri di paksa membayar sepuluh kali lipat ongkos menuju
kampungnya. Karena tidak ada uang rupiah, Nuri dengan lugunya meminta oknum itu
untuk menukarkan semua gajinya yang dalam bentuk ringgit kepada oknum tersebut
untuk ditukarkan Rupiah. Malang nasib Nuri, uang itu tak pernah kembali dan tak
ada seorang pun di tempat karantina itu yang sudi membantunya. Nuri bisa sampai
ke desanya, karena kebaikan hati Lastri yang kebetulan satu jalan dengannya
meski berlainan desa. Dengan Lastri lah ia kemudian mendapat pinjaman uang
untuk kembali bertemu orangtuanya.
Kedatangan Nuri memang disambut
bahagia oleh kedua orang tuanya, bahkan para tetangga. Terlebih Mbah Kijah.
Apalagi dilihatnya tubuh putrinya lebih berisi dibanding setahun lalu. Tapi
keanehan sikap dan prilaku Nuri mau tak mau membuat orangtuanya meminta
penjelasan.
Tak ada kata sepatahpun yang mampu
terucap. Nuri kebanyakan menangis tersedu sambil terus meremas-remas perutnya.
Matanya seolah terbebani trauma yang sangat menyakitkan. Dan alangkah
terkejutnya Mbah Kijah dan suaminya, saat ditemuinya banyak luka di tubuh Nuri.
Bahkan bentuk telapak setrika terlihat menempel jelas dipunggungnya.
“Apa yang mereka perbuat, Nduk ?
Kenapa koe ndak segera pulang!” Jerit Mbah Kijah sambil terus menangis memeluk
tubuh putrinya.
“Siapa yang melakukan ini !” Ujar
Mbah Lasirun keras sambil mengguncang tubuh anaknya.
“Ma..majikanku Pak. Dia..dia sering
menyiksaku dan…….” Tangis Nuri pun pecah dipelukan Ibunya. “Dan apa Nduk……”
Bisik Mbah Kijah pedih ditelinga Nuri.
“Dia juga memperkosaku ! Aku sudah
ndak perawan lagi Bu…dan aku..aku! Nuri terus menangis sambil terus
meremas-remas perutnya. Dan itu sudah cukup menjelaskan kepada kedua orang
tuanya akan bencana yang sesungguhnya.
Sejak saat itu, seolah petaka tak
henti hentinya mendera kehidupan Mbah Kijah. Nuri yang selama mengandung terus
menerus dihantui trauma dan dihujat warga desa, akhirnya menghembuskan nafas
terakhirnya saat melahirkan Dahayu dalam kondisi premature. Lalu keadaan Mbah Lasirun
yang terus sakit sakitan karena beban psikologis yang harus ditanggungnya
karena bencana ini. Hingga kakek malang itu pun menyusul Nuri ke alam baka.
Kini, hanya tinggal Mbah Kijah bersama Dahayu – penerus keturunan satu satunya
yang nyata menjadi prasasti hidup dan merupakan gambaran derita dari pengalaman
pahit anaknya di negeri Jiran. Air mata Mbah Kijah terus mengalir deras.
Terdengar desis doa mengumandang dibibir pucatnya. Perutnya tak lagi terasa
lapar, ia ingin cucunya segera kembali. Batinnya tak sanggup lagi menghadapi
bentuk kehilangan apapun, sudah terlalu banyak yang direngut dikehidupannya.
Suara tangis itu pun pecah diambang sore menjelang. Menyaksikan Dahayu yang
semakin tumbuh remaja, memberi keresahan tersendiri di batinnya. Sejak lahir, Dahayu
memiliki anugerah cakra ungu yang terletak diantara ke dua matanya. Ia memiliki
kemampuan menjelajah ruang lewat terawang batinnya. Meski belum pernah
sekalipun bertemu Ayah kandungnya, Dahayu bisa menggambarkan dengan jelas sosok
rupa lelaki itu hingga tanda lahir yang dimiliki di punggungnya. Bahkan di
waktu waktu tertentu, Dahayu kerap berbicara seorang diri, kadang tersenyum,
tertawa terpingkal pingkal sampai menangis tersedu sedu. Saat ditanya, siapa
lawan bicaranya. Macam-macam yang ia sebutkan. Terlebih ketika masih balita ia
mengaku sering didatangi nenek berambut putih panjang yang memiliki kendaraan
kuda putih penuh cahaya dan sering mengajaknya ketempat yang membuatnya selalu
damai. Atau di ajak berjalan ketempat yang menyeramkan bersama Ibu kandungnya. Setelah
beranjak remaja, semakin aneh saja yang dirasakan Dahayu. Ia mengaku sering
dikunjungi salah satu prajurit Mahapatih Gajah Mada yang menurutnya sangat
tampan dan selalu dinantikan kehadirannya. Pernah satu kali, Mbah Kijah menemui
Dahayu yang terduduk lemah, dengan wajah dibanjiri keringat hingga membuat
basah sekujur tubuh dan pakaiannya. Saat ditanya, apa yang terjadi. Dengan
tersendat ia mengatakan, baru saja terlepas kepungan Perang Bubat yang melibatkan dirinya dan Raden Mas Ganendra – salah satu prajurit Patih
Gajah Mada, yang sering mendatanginya itu. Tentu saja semua itu membuat Mbah
Kijah ketakutan, di datangi arwah Ibunya saja membuat ia khawatir setengah
mati, apalagi harus ada ’mahluk asing’ dari dunia lain yang bisa membawa raga
dan batin cucu semata wayangnya menerobos kemisteriusan ruang dan poros waktu
yang tak pernah bisa diterima logika dan akal sehat siapapun. Untuk itulah Mbah
Kijah, sering mendatangi Eyang Karso – guru spiritualnya untuk sesering mungkin
melakukan ’ruwatan’ pada Dahayu agar terlepas dari hal-hal gaib tersebut.
Beruntung sejauh ini, tak ada satupun warga desa yang menyadari keanehan pada
diri Dahayu.
Eyang Karso yang sudah sangat di
kenal sebagai maha guru penganut Ilmu Kejawen pun, selalu mendapat tantangan
tersendiri untuk mengeluarkan Dahayu dari pengaruh gaib yang telah ada di
dirinya sejak lahir. Tak hanya bakat indigo yang dimiliki gadis itu, namun
kematian Nuri yang membawa dendam ternyata juga di wariskan sepenuhnya pada
anaknya. Hingga Eyang Karso harus melakukan semedi dan puasa beberapa hari,
jika proses ruwatan untuk Dahayu akan dilakukannya.
***
(Bersambung, BAB Dua - Serat Jiwa)
No comments:
Post a Comment