BAB III
SEDULUR
PAPAT KELIMA PANCER
(Ria Jumriati)
(Ria Jumriati)
Image from Google
Pak Abdil tersenyum girang mendengar penuturan Mbah Kijah yang telah
menyetujui keberangkatan cucunya untuk di bawa ke Malaysia. Berkali kali ia
meyakinkan Mbah Kijah, bahwa Dahayu akan ditempatkan pada majikan yang baik dan
dijamin tidak akan bernasib sama seperti Lastri dan Hanum. Meski janji itu sama
juga diucapakan pada orang orang yang pulang dengan petaka luar biasa yang
kurang lebih sama.
“Ndak usah khawatir Mbah, Dahayu
pasti akan selamat. Doa kan saja”
“Dia milikku satu satunya Pak, jadi
tolong jangan berikan pada orang yang salah. Kamu toh pasti sudah tahu apa yang
menimpa almarhum Ibu
nya. Aku tidak mau
kehilangan cucuku tersayangku dengan cara itu lagi”
“Tuhan itu adil Mbah, mosok sih
Gusti Allah sampe tega sama nasib sampean”
Mbah Kijah hanya
mengangguk kecil. Sementara Dahayu masih berada di ambang kebimbangan sebagai
sosok Dahayu yang sesungguhnya dan dibawah pengaruh arwah Ibunya yang kini
berpindah lekatnya dari Mbah Kijah menuju dirinya. Bedanya,Mbah Kijah kerap
menolak ruh Nuri yang jika ia mau jujur, sudah tak terhitung cara ia
mengatasinya, sayangnya ia tak bisa menghalangi keinginan kuat Nuri untuk
menyambangi anaknya. Hingga kian hari banyak hal aneh yang dirasakan Dahayu
kini. Saat ia berbicara, berjalan, bahkan berkaca. Dahayu seolah selalu melihat
sosok lain yang membayangi. Namun ia tak bisa mengungkapkannya secara lisan.
Entahlah, hanya terkadang ia merasa kepalanya mendadak berat dan pusing. Ketika
jatuh tertidur, ia seakan dibawa kesuatu jalan, tempat dan sebuah rumah megah
yang seperti pernah ditinggali sebelumnya. Lalu senyum seringai seorang lelaki
yang wajahnya tak asing lagi. Lalu ada kemarahan yang tak bisa dibendungnya,
hingga Dahayu selalu terbangun dalam mimpi buruk dengan nafas terengah
ketakutan. Sebenarnya mimpi didatangi almarhum Nuri, bukan hal yang baru di
hidup Dahayu. Tapi Mimpi yang melewati ambang batas sadarnya dan bukan lagi
sekedar bunga tidur, makin sering dialaminya kini. Makin dekat hari
keberangkatannya ke negeri Jiran, makin kuat pula tekad pada suatu niatan yang
tak bisa di artikan Dahayu secara gamblang. Bahkan ia seolah terlupa bahwa
tujuan utamanya ke Malaysia adalah menjadi TKW.
”Dua hari lagi kamu sudah harus
berangkat Nduk ” Bisik Mbah Kijah di sisi
Dahayu sambil mengelus rambut sebahu cucu kesayangannya.
”Aku tidak akan lama Mbah dan uang
hasil dari kalung Ibuku pasti cukup untuk Mbah makan sehari hari sampai aku
mengirimi dari gajiku bekerja disana nanti. Lagi pula Mbah juga tak perlu
jualan sayur keliling lagi kan, wong jualan dirumah juga sudah laku kok” Sahut Dahayu
meyakinkan dan memeluk tubuh tua neneknya. Satu satunya tubuh yang ia kenal
sejak lahir dan memberinya kehangatan dan ketenangan yang tak tergantikan.
”Bukan itu yang Mbah khawatirkan”
Mata Mbah Kijah kembali berkaca dengan tatapan sedih menerawang.
”Percayalah Mbah, nasibku tidak akan
seburuk Hanum dan Lasmi...apalagi Ibuku”
”Bukan Nduk.....Bukan itu !” Tiba
tiba Mbah Kijah menangis sesegukan. Dahayu segera merangkul tubuh Mbah Kijah
yang terguncang tangis.
”Aku akan selamat Mbah...percayalah!
”Ibumu....arwah Ibumu, Nduk! Itu
yang Mbah takutkan”
Mendengar itu, Dahayu
hanya menghela nafas panjang. Bongkahan berat itu semakin terasa menindih
batinnya.
”Tiga hari yang lalu bertepatan 35
hari setelah weton hari kelahiranmu, Mbah mendatangi Eyang Karso”
”Eyang Karso ? Yang tinggal di atas
gunung itu ? Mbah bisa sampai ke sana
sendirian ? Untuk apa sih Mbah ?”
”Mbah memintanya untuk melakukan
ruwat atas dirimu agar terbebas dari ruh almarhum Ibumu, dan yang lainnya tapi........”
”Tapi apa Mbah ? Aku tidak takut
dengan ruh Ibuku...malah aku ingin sekali ia datang dalam wujud apapun, aku
tidak takut...aku bahkan sangat merindukannya”
”Nduk, Ibu ternyata masih terombang
ambing antara alam nyata dan ghaib. Ia akan terus ada di setiap langkahmu
sampai niatan dendamnya tercapai. Padahal sudah banyak doa yang Mbah kirimkan
agar Ibumu tenang di alam sana, tapi ia
selalu saja hadir dan meminta Mbah untuk mewujudkan dendamnya. Tapi Mbah selalu
menolak, dan kini ia telah ada di dirimu Nduk. Hal itu tak mungkin bisa kau tolak karena sebelum
ia meninggal, ternyata sebagian ari ari mu yang terpotong telah di makannya.
Alasan itu lah yang membuat Eyang Karso kesulitan melepaskan ruh Nuri dari
dirimu. Dan.....Mbah sangat takut...takut sekali terjadi hal buruk pada dirimu
Nduk” Tutur Mbah Kijah semakin sesegukan.
”Aku tidak akan mengorbankan Dahayu
!” Tiba tiba sosok Dahayu berdiri tegap dengan kilatan amarah di matanya. Mbah Kijah
tersentak kaget, tapi hanya sebentar. Ia tak takut, ini bukan pertama kalinya
roh Nuri merasuki seseorang bahkan benda benda di dalam rumah. Dulu ketika Dahayu
bayi, arwah Nuri bahkan pernah berwujud bakul sayurannya, bantal guling bahkan daun jendela yang terhempas keras
berkali kali.
”Kembalilah kepada Gusti Allah
Nduk....biarkan anakmu tenang . Jangan bebani ia dengan dendammu yang terlalu
berat untuk di pikulnya ” Pinta Mbah Kijah seraya tertunduk. Ia tak berani
menatap langsung mata itu karena setiap kali ia menatapnya, maka keesokan
harinya ia akan jatuh sakit hingga tiga hari lamanya, dan tak akan sembuh
sebelum memasuki hari ketiga. Meski Nuri darah dagingnya sendiri, namun perbedaan alam tetap saja membuatnya gemetar.
”Dahayu akan kuat dan menang.....Ia
akan pergi mewujudkan dendamku!”
Setelah itu Dahayu
pun roboh dengan tubuh lunglai. Matanya menerawang kosong. Keringat dingin
membasahi sekujur tubuhnya.
”Ibu datang lagi Mbah ?” Tanyanya
lemah. Mbah Kijah tak sanggup menjawab. Perasaannya semakin teriris pedih
melihat penderitaan cucunya. Segera di ambilnya daun sirih yang di rendam dalam air dingin, lalu di semburkan
ke wajah cucunya bersamaan serangkaian doa dalam bahasa kejawen. Hingga Dahayupun
tertidur nyenyak.
Pagi sekali Mbah Kijah sudah
terjaga, karena sejak malam memang matanya tidak bisa terpejam sama sekali. Ia
sengaja meninggalkan Dahayu yang masih tertidur. Setelah berkemas ia pun
berjalan melewati jalan setapak desa, titian sawah hingga akhirnya bertemu
dengan Pak Turno – Supir delman di desa tetangga.
”Mau kemana Mbah, masih pagi kok
sudah jalan jalan ?”
”Anter aku ke desa Welas di atas
gunung sana ya ?”
”Oalaaaa Mbah...ada keperluan opo
toh di atas gunung sana?”
”Akh sudah lah, jangan banyak tanya”
Timpal Mbah Kijah mengalihkan keingin tahuan Pak Turno. Semalamam ia memang
sudah merencanakan untuk menemui Eyang Karso kembali – Guru spiritual peganut
paham Kejawen yang tahu betul permasalahan hidupnya. Tak banyak memang orang
desa yang masih memegang kepercayaan yang terbalut kental kebudayaan, tradisi
sekaligus mistis itu. Namun ia terlanjur mengimaninya dan mempercayai banyak
simbol sebagai perantara bagi keyakinan yang dianutnya. Di pagi buta ini pun Ia
telah mempersiapkan beberapa sesajen untuk tujuan tertentu yang akan di
bicarakannya pada Eyang Karso.
”Tadi malam, Nuri datang lagi
?”Tanya Eyang Karso seolah memiliki indra keenam atas kejadian yang menimpa
Mbah Kijah dan Dahayu. Mbah Kijah hanya terduduk sedih di hadapan. Suasana di
atas gunung yang dingin serta suara angin yang mendesahkan kemistisan tersendiri
semakin membuat bulu kuduk berdiri, apalagi dilengkapi dengan wangi wangian
bunga sesajen yang di bawa oleh Mbah Kijah yang merupakan penganut paham kejawen yang sangat taat. Ia patuh
pada keseimbangan, pada simbol simbol kehidupan yang telah ditentukan oleh
Gusti Ingkang Maha Kuaso. Mbah Kijah tak
pernah meninggalkan ritual ritual suci yang telah ajarkan pendahulunya.
Peristiwa pedih yang terjadi pada diri anaknya, telah lama di pahaminya sebagai
karma atas ketidak seimbangan yang mungkin dulu pernah dilakukan dirinya atau
suaminya bahkan leluhur penduhulunya, entahlah. Meski kadang terbantahkan oleh
logika dan akal sehat, namun Mbah Kijah telah terlanjur terdoktrin untuk
menjalani kehidupannya pada rel kepercayaan yang di yakininya bisa
membawanya mencapai tujuan hakiki
kehidupan selanjutnya yang bersih dari segala karma duniawi. Agar dalam
penghidupannya ia senantiasa selalu bisa mengamalkan kebersihan hati agar
tercapai harmonisasi antara ia sebagai Kawulo dan Gusti Hyang Sukma.
”Kedatanganku kemari, karena aku
makin bingung Eyang, semakin dekat Dahayu berangkat ke Malaysia justru rohnya
semakin sering menggentayangi Dahayu,
aku takut cucuku tidak sekuat aku menerima ini”
”Dahayu sama sekali tidak lemah,
justru terlalu kuat”
”Maksud koe opo toh Eyang ?” Tanya
Mbah Kijah khawatir
”Beberapa ritual ruwatan pernah aku
lakukan untuk membawa Dahayu keluar dari pengaruh gaib yang melingkari jiwa nya
sejak lahir. Tapi kenyatanya terlalu sulit” Ujar Eyang Karso seraya berdiri
menghadap jendela ruang tengah yang langsung memaparkan hamparan hutan basah
yang luas.
”Tolonglah cucuku Eyang, aku hanya
ingin ia hidup normal dan tidak diganggu oleh mahluk halus manapun, termasuk
arwah Ibunya !”
”Jiwa Nuri terlalu sakit dan
menderita hingga sulit menyatu dengan alam kematian yang sebenarnya. Ia akan
terus membayangi Dahayu bahkan menjadi bagian dari jiwanya, terlebih Dahayu
memang memiliki energi yang mudah menyatu dengan roh Ibunya. Aku bisa membantu
namun ikatan batin antara Nuri dengan Dahayu sangat kuat, dan tak ada hubungan
yang begitu kuat di dunia ini selain antara Ibu dan anak. Ditambah adi ari ari Dahayu yang telah di
makannya sebelum wafat dan terus dipelihara Nuri untuk menuntut dendam
kesumatnya itu”
”Maksud Eyang, apakah Dahayu akan
bernasib sama dengan Ibunya ? Oooohhhh, Gusti..aku lebih baik mati lebih dulu
jika harus menerima takdir buruk itu lagi ! Tolong aku Eyang ” Tutur Mbah Kijah
dengan tangis tertahan. Eyang Karso menghampiri wanita tua itu. Di ambilnya
beberapa tangkai bunga sesajen yang dibawanya. Lalu memperhatikan dengan
seksama. Matanya yang tajam dengan sorotan mistis seolah tengah menerawang
sesuatu lewat kembang sesajen berwarna merah darah itu.
”Tidak seburuk itu Mbah. Karena
sejak lahir salah satu ”Sedulur Papat
Kelima Pancer1” akan selalumenjadi penjaganya, tapi juga bisa merubahnya menjadi
seseorang........seseorang yang.....” Kalimat Eyang Karso terhenti
dengan mata
terpicing. Tiba tiba ia berteriak pelan. Ada darah segar mengalir dari bunga
sesajen yang di pegangnya. Mbah Kijah
ikut terkejut. Bunga itu terjatuh dilantai kayu rumah panggung Eyang Karso.
Keduanya menatap bunga itu tak percaya. Darah segar masih mengalir di tengah
kelopaknya. Mbah Kijah tak berani menuntut penjelasan rinci demi melihat Eyang
Karso yang langsung terduduk dengan posisi semedi dan mata terpejam rapat,
sementara dadanya seolah tengah menghimpun energi mistis di sekitarnya. Mbah Kijah
pun, melakukan hal yang sama dan spontan mengikuti ritual menyatu dengan alam
roh yang tengah di masuki Eyang Karso.
Dalam kepekatan ruang dan waktu, arah yang tak tentu dan bayang bayang
serba hitam serta suara suara tak jelas antara rintihan, tangis bahkan tawa
bergema danderita. Eyang Karso berusaha memasuki kegetiran alam roh yang di
huni Nuri. Ada kelebat bayang Mbah Kijah yang berusaha mengikuti, namun Eyang
Karso segera memberi isyarat.
”Jangan Mbah Kijah, hal ini masih
terlalu berat untuk dirimu” Begitu suara batin yang di tujukan pada Mbah Kijah
dan langsung dimengerti olehnya. Ritual seperti ini, sudah sering dilakukannya
bersama Eyang Karso yang telah memiliki ’ngelmu2’
hampir sempurna . Dan Mbah Kijah akan sangat paham dengan semua itu. Tak
mudah mencapai penghayatan ngelmu seperti Eyang Karso. Terkadang ada hal
special yang dimiliki Eyang Karso namun tak pernah dipelajarinya atau bisa
diajarkan kepada pengikutnya. Karena beberapa diantaranya adalah warisan dari
sang leluhur yang telah memilihnya. Mbah Kijah pun menuruti meski ada jiwa anaknya
yang masih kesakitan dan terperangkap di dunia arwah gentayangan.
Eyang Karso masih
berusaha menghimpun energi dan menciptakan komunikasi telepati dengan memanggil
arwah Nuri. Wajahnya yang tenang mendadak bergetar dan memerah. Jari jemarinya
mengepal dalam getaran seolah tengah mempertahan sesuatu dengan sangat kuatnya
agar tak terlepas. Mbah Kijah pun membantu dengan membakar dupa sesajen yang
dibawanya. Hal ini konon dipercaya bisa menghantar doa ke alam arwah. Dan
ritual ini memang cukup membantu, Eyang Karso perlahan terlihat tenang namun
bibirnya mulai mendesiskan sesuatu dalam bahasa Jawa kuno, pertanda komunikasi
telepati dengan sang arwah telah terjadi.
Beberapa menit berselang, ia pun tersadar. Mbah Kijah langsung
memberinya segelas air putih dan memintanya untuk segera membasuh wajahnya
dengan genangan air kembang yang telah disiapkan dalam krendengan sesajennya.
”Apa yang telah terjadi Eyang ?
Dapat kah ia membebaskan cucu semata wayangku ?” Tanya Mbah Kijah penasaran.
Eyang Karso mendesah pelan dengan tatapan kosong.
”Nuri terlalu sakit, terlalu
menderita. Apa yang telah dilakukan laki laki itu sangat menyakitkan dan hanya
menyisakan jejak jejak darah di jiwanya
yang marah dan terluka. Aku bahkan menjadi tak berdaya demi menyelami deritanya.....ehhh,
kasihan sekali nasibmu, Nduk” Desah Eyang Karso seolah mengerti derita dan
dendam Nuri.
”Lalu, bagaimana nasib Dahayu jika
ia ternyata tidak kuat menahan semua beban dendam itu, Eyang? Aku tak mau
kehilangannya !
”Tenanglah Mbah, aku yakin Dahayu
akan mendapat perlindungan dari Gusti Allah. Yakinlah, doa doamu akan menghalau
semua kemalangan dan angkara murka bagi Dahayu” Eyang Karso berusaha meyakinkan
kegalauan Mbah Kijah. Namun di mata tua itu ada tersirat sebersit harapan. Ia
memang yakin, doa bisa menyelamatkan segalanya. Karena terus berdoa maka ia
masih bisa kuat bertahan di antara derasnya arus derita di kehidupannya. Doa,
bagi Mbah Kijah tak sekedar kandil kemerlap di keremangan hidupnya, bahkan
telah menjadi tiang maha kokoh diantara kerapuhan yang melingkupi kegetiran
nasibnya. Dengan cara, kepercayaan dan keimanan dalam bentuk yang sangat ia
yakini bisa membawa pintanya pada kejernihan jawaban suara Hyang Sukma atas
segala pinta dan pengharapannya.
”Sebenarnya ada hal lain lagi yang
semakin membuatku khawatir Eyang” Tutur Mbah Kijah semakin galau. Eyang Karso
menyimak serius.
”Koe kan sudah tahu kalau Dahayu itu
bisa berbicara dengan mahluk halus. Bahkan sedari kecil ia pernah beberapa kali
menghilang, yang menurut sampean di ’pinjam’ oleh leluhurnya. Yaa...seperti
yang sering aku kuceritakan. Kedatangan nenek berambut putih, bercakap cakap
dengan mahluk halus dan meramal dengan tepat kematian Pak Bagio yang sakit
keras. Untungnya, tak ada orang desa yang tahu kelebihannya tersebut”
”Dahayu merupakan titisan, dan itu
takdir yang terlalu sulit untuk kau ubah Kijah” Timpal Eyang Karso tenang
”Tapi Eyang...mengapa harus Dahayu ?”
”Karena dalam tubuhnya mengalir
darah keturunan seorang Raja, ada mata rantai karma yang harus di selesaikannya.
Hal itu yang harus kau mengerti Kijah” Tutur Eyang Karso seraya menatap wajah
pucat Mbah Kijah.
”Keturunan Raja ? Mana mungkin
Eyang, sejak dulu sampean sudah tahu siapa keluarga kami. Orang miskin seperti
kami mana mungkin memiliki darah biru”
”Kau sadari atau tidak, yang pasti Dahayu memiliki darah, aura dan
roh leluhurnya yang agung”
”Apa...apa memang benar yang
dikatakan Nuri bahwa lelaki yang telah
menghancurkan hidupnya itu adalah benar keturunan Raja ? Orang biadab seperti
itu ? Tidak mungkin !” Sangkalnya tak percaya.
”Pada dasarnya, kesucian serta
kesakralan keturunan para Raja yang
memang benar benar suci dan luhur harus tetap dijaga sampai kapanpun. Dan, jika
ada salah satu keturunannya yang menodai kesucian dan kesakralan itu, maka akan
diutus satu orang keturunan berikutnya untuk membersihkannya dan memutus mata
rantai yang pernah ternoda itu dengan cara apapun”
”Aku bingung Eyang. Aku benar benar
bingung!”
”Pasrahkan saja
semuanya pada Gusti Allah. Jangan pernah paksakan keinginanmu untuk merubah Dahayu
tumbuh layaknya gadis normal. Sejak lahir, ia memang telah memiliki perbedaan
itu. Ia memiliki tugas dari leluhurnya yang harus di selesaikan”
”Lalu apa kaitannya
dengan arwah Nuri yang juga sering mendatanginya ?” Eyang Karso mendesah pelan.
Matanya menerawang kesekeliling ruang. Ia langsung merasakan ada roh lain yang
duduk bersamanya kini.
”Itulah yang kumaksud, bahwa Dahayu
terlalu kuat. Ia mengemban tugas dan dendam yang di wariskan dari Ibu kandung
yang juga memiliki pertalian kuat dengan Ki Kusumacitra, serta leluhur suci
yang mengalir deras di aliran darah serta denyut nadinya”
”Ki Kusumacitra ? Bagaimana mungkin
Eyang ? Keturunan kami tidak setinggi itu!”
”Sewaktu Lasirun masih hidup, aku
pernah mengatakan ini padanya. Tapi ia terus melakukan penolakan dan tak pernah
percaya akan hal itu. Aku tidak memaksa, tapi Lasirun dan keturunannya juga
tidak bisa memungkiri takdir yang ada”
”Semenjak Dahayu mendapat
menstruasi, ia memang tak lagi sering didatangi mahluk mahluk menyeramkan.
Tapi....tapi...seorang pangerang tampan yang menurut pengakuannya adalah salah
satu prajurit Patih Gajah Mada. Aku lupa namanya....Emmm...sopo sih yaa?” Mbah
Kijah berusaha mengingat nama yang pernah di desiskan Dahayu saat tengah
meracau dalam mimpinya.
”Raden Mas Ganendra” Ujar Eyang
Karso.
”Iya, betul ! nama itu yang sering
di desiskan Dahayu, Koe....Koe bisa tahu
?”
Eyang Karso
menghela nafas berat. Matanya terpicing seolah memikirkan sesuatu. Ia mencoba
menerawang lebih jauh lagi. Dan ia melihat sesuatu hal besar dan tak biasa akan
segera di alami Dahayu.
”Besok pagi sekali, bawa lah Dahayu
kemari. Aku akan kembali melakukan serangkaian ’ruwatan’ lengkap untuknya” Ujar
Eyang Karso tegas. Mbah Kijah hanya menggangguk dengan tatapan yang berharap
mendapatkan penjelasan rinci tentang siapakah Raden Mas Ganendra tersebut. Tapi
Eyang Karso langsung terduduk dalam posisi semedi. Melihat hal tersebut Mbah
Kijah pun langsung mengerti, pria tua sakti itu tengah merambah ilmu untuk
tujuan tertentu. Ia pun beringsut pamit.
”Terima kasih, Eyang. Saya pamit
dulu”
”Siapkanlah beberapa perlengkapan
yang sesuai dengan weton kelahiran Dahayu, apa yang harus dipantang dan apa
yang harus dipakai. Koe pasti sudah tahu, bawa semua besok pagi sebelum fajar” Ujarnya
dengan mata tetap terpejam.
Mbah Kijah hanya
mengangguk lemah sambil menyeka air matanya pelan dan bangkit . Lelaki
berjanggut putih itu masih dalam posisi semedi dengan mata rapat terpejam. Dalam
terawang batinnya, banyak sekali hal yang yang diluar kemampuan keilmuannya. Ia
pun langsung melakukan ’olah kanuragan’, salah satu instrumen
supranatural dalam praktek ke ilmuan yang di yakininya. Jauh sebelum Dahayu lahir, ia memang sudah
meramalkan, bahwa Mbah Kijah akan memiliki keturunan yang masih memiliki
pertalian kuat dengan leluhur para bangsawan Jawa masa lalu. Bahkan jauh
sebelum Nuri lahir ia selalu menyuruh Mbah Kijah dan almarhum suaminya untuk
sering melakukan ritual ’slametan’
yang sangat di percaya oleh penganut kepercayaan kejawen sebagai jalan lurus
menuju Tuhan. Namun karena ada benturan keyakinan antara Mbah Kijah dan
suaminya, maka tak semua ritual mistik dalam kepercayaan Mbah Kijah yang
diamalkan dengan tulus. Meski Mbah Lasirun tetap menjalankan beberapa ritual
Kejawen yang erat dan tersamar dalam bingkai budaya Jawa namun sangat lentur
dan akomodatif bagi dirinya yang memegang teguh rukun Islam.
Sore itu, Mbah Kijah pun pulang dengan perasaan nelangsa namun tetap dengan
keyakinan yang diberikan oleh Eyang Karso. Naluri keibuannya memang telah
mengisyaratkan hal tersebut. Dahayu akan selamat dimana pun ia berada selama
doa tetap terpanjat untuknya. Meski kekhawatiran akan kehilangan Dahayu atau
hal hal lain yang membuatnya menderita terus saja membayangi segenap langkah
hidupnya. Itu tak terpungkiri, terlebih tinggal tersisa 3 hari lagi menjelang
keberangkatan Dahayu ke Malaysia. Banyak hal yang harus di persiapkan, terutama
ketegaran dan keikhalasan hatinya.
Kelelahan Mbah Kijah disambut oleh
senyum manis cucunya.
"Si Mbah dari
mana sih ? Kok lama sekali" Tanyanya dengan suara manja. Mbah Kijah
hanya tersenyum kecil sambil mengelus rambut sebahu Dahayu. Rambut legam dengan
aroma khas yang selalu membawanya pada masa lalu, dan rasa sakit atas kehilangan
menyakitkan yang mengikutinya.
"Dari tempat Eyang Karso,
Nduk"
"Yang diatas gunung itu ?
Tanyanya dengan mata membulat "Untuk apa Mbah kesana lagi ? sudah jauh,
serem dan selalu membuat Mbah jadi sangat lelah" Ujar Dahayu sambil
menyodorkan segelas teh manis hangat.
"Banyak yang harus Mbah dan
Eyang Karso persiapkan untuk mu, Nduk"
Mendengar itu, Dahayu
menghela nafas panjang sambil memeluk neneknya.
"Mbah, tak perlu khawatir. Aku
akan baik baik saja disana, percayalah Mbah"
"Mbah tidak mau hal buruk itu
terjadi lagi" Timpalnya mulai sedih.
"Tidak akan Mbah, aku yakin
akan selalu mendapat perlindungan Gusti Allah"
"Tentu Nduk, Mbah akan selalu
berdoa untukmu"
"Lalu apa lagi yang Mbah
takutkan ?"
"Besok, pagi pagi sekali Mbah
akan membawamu ketempat Eyang Karso untuk menjalani ruwatan lengkap"
Ada protes di mata Dahayu, namun
urung demi melihat kesedihan dimata neneknya.
"Bukankah waktu itu aku sudah
pernah di ruwat, Mbah ?"
"Koe belum terlalu kuat, Nduk.
Ini demi keselamatanmu"
"Baiklah, Mbah" Ujar Dahayu
akhirnya. Meski ada pertentangan kecil di hatinya. Karena proses
ruwatan selalu menghadirkan 2 energi yang berusaha menyeruak di tubuhnya, tentu
saja tak enak. Tubuh yang terasa sangat berat dan pusing yang hebat. Ada hal yang tak bisa
dijelaskan secara logika dan akal sehat. Namun nyata dirasakannya. Seolah ada
kekuatan lain yang berusaha menyatu di sanubari dan semakin mempertajam
nalurinya. Apalagi setelahnya, ia, Mbah Kijah
dan Eyang karso serta beberapa pengikut di paguyubannya melakukan serangkaian
ziarah ke makam para leluhur sambil
melakukan semedi di atas makam tersebut. Konsentrasi batin tinggi yang
dilakukan Eyang Karso, Mbah Kijah dan beberapa pengikutnya selalu menghadirkan
pemandangan mistis yang memaksa Dahayu untuk lebur bersamanya. Seperti kemampuan berkomunikasi dengan roh
para leluhur lewat pembacaan kidung kidung tertentu dalam bahasa Jawa Krama
untuk memanggil roh para leluhur, yang nyata selalu hadir lewat desiran angin
yang tak biasa, atau padamnya lampu secara tiba tiba. Namun kedatangannya
sangat diharapkan dalam setiap ritual mistik kejawen yang dipercaya bisa
memberi wangsit atau tanda tanda gaib. Tak jarang Dahayu mengalami penolakan
alami disisi lain batinnya. Selalu ada pergolakan emosi yang tak pernah bisa di
mengerti oleh keluguannya. Namun doktrin kejawen yang telah di tanamkan Mbah Kijah
sejak kecil selalu mempermudah hal tersebut. Bahwa, ada jarak kedekatan manusia
dengan Tuhan yang bisa sangat dicapai dengan konsentrasi batin yang
tinggi. Perlahan Dahayu harus menerima
bahwa hal hal mistik yang diturunkan untuknya, telah menjadi satu paket
tindakan luhur dalam sebuah laku spiritual Jawa yang dilandasi oleh cinta dan
pengalaman nyata.
Sejak bayi hingga menjelang tujuh
belas tahun umurnya. Dahayu telah akrab dengan segala ritual dan benda benda
yang di keramatkan dalam kepercayaan yang dianut neneknya. Bahkan konon, leluhur
Mbah Kijah masih memiliki pertalian darah dan batin dengan Ki Kusumacitra, yang ajarannya termaktub dalam Kawruh Kasunyatan Gaib dalam kepercayaan mistik kejawen. Tak heran,
Eyang Karso yang merupakan pendiri salah satu paguyuban kejawen, yang memegang teguh buku ajaran beliau yaitu ”Kusuma Gusti” dan ”Wigati”. Seolah mempunyai tanggung jawab moral yang sangat tinggi
dalam menjaga keturunannya. Lewat laku penyucian batin, Eyang Karso kerap melakukan
”Tapa Brata” seperti mutih,
yaitu hanya makan nasi putih tanpa garam dan lauk pauk. Tujuannya untuk
mensucikan batin agar mudah menerima wangsit atau petunjuk dari roh para
leluhur.
Ada hal yang merupakan mata rantai
yang membuat Nuri mengalami nasib buruk seperti itu, ada karma yang harus
dibayar Nuri sebagai akibat dari ketidak patuhan dan pelanggaran yang di
lakukan oleh pendahulunya. Eyang Karso telah lama merasakan hal itu, namun ia
tak bisa menuntut pengakuan jujur dari Mbah Kijah. Ia telah mendapat titah
berupa wangsit yang diterima melalui beberapa semedinya. Bahwa, ia lah dan Dahayu
yang harus memutus mata rantai karma itu.
Dan di pagi buta, sebelum ayam
berkokok dan diselimuti ketebalan kabut dan udara dingin. Dahayu pun merelakan
tubuhnya di guyur air kembang di tengah pepohonan raksasa yang mirip hutan
basah dan sulit dijamah manusia. Tak banyak orang yang tinggal disana, hanya
beberapa saja yang rata rata memiliki ciri yang sama memancarkan aura mistis yang sangat kental
lewat tatapan mata mereka. Ditambah perjalanan yang serba terjal, licin,
mendaki dan tanpa tertera tanda penunjuk jalan yang pasti. Memang agak tak
masuk diakal, jika Mbah Kijah bisa dengan mudahnya menuju kesana. Karena pernah
ada beberapa team ekspedisi dari Jakarta yang berusaha mengexplore daerah
tersebut. Dan selalu gagal mencapai kesana. Bahkan tersesat tak tentu arah dan
kembali di titik mereka memulai perjalanan. Meski mereka telah cukup dibekali
oleh berbagai macam teknologi canggih penunjuk jalan. Namun tak pernah bisa terdeteksi
bahkan oleh peta secanggih google earth dan
provider map lainnya.
(Bersambung BAB IV - "Roh Wasilah")
2 Ngelmu :
Pengertian ilmu dalam kepercayaan kejawen yang bersifat supranatural dan
biasanya di dapatkan dari indra ke-6 atau melalui laku batin seperti semedi,
telepati dan ngraga sukma
1 Sedulur
Papat Kalima Pancer : Kepercayaan
budaya Jawa bahwa setiap bayi yang lahir memiliki 4 saudara kembar yang tidak
terlihat dan menetap didunia pararel yang berbeda
No comments:
Post a Comment