Penasaran dengan karakter Dahayu ? Yuk kita ikuti kisah selanjutnya Novel KARMA GETIH ini....
Image : from Google
BAB II
SERAT JIWA
(Ria Jumriati)
(Ria Jumriati)
Sudah
seminggu ini Mbah Kijah tergolek lemah dipembaringan. Badannya terasa lemah
dengan panas yang terkadang meninggi. Dahayu sangat kebingungan. Ia sudah begitu
malu untuk terus menerus minta pertolongan tetangga. Sambil terus mengompres
kepala Mbah Kijah, ia pun menangis tersedu-sedu.
“Nduk…” Sahut Mbah Kijah lemah.
“Istirahatlah, Mbah…nanti aku baluri
badan Mbah dengan bawang merah yaa”
“Tidak usah Nduk, nanti saja..Mbah
mau cerita sama kamu”
“Sudahlah Mbah..nanti Mbah tambah
sakit”
“Tidak..Mbah harus menceritakan ini
padamu” Mbah Kijah berusaha untuk
bangkit. Sambil menangkis pelan tangan Dahayu yang berusaha merebahkannya.
“Ceritanya nanti saja kalau Mbah
sudah sembuh, ya” Bujuknya, tapi Mbah Kijah menolak. Dengan mata setengah
terpejam dan nafas tersenggal. Ia pun menuturkan kalimat demi kalimat yang
membuat dada Dahayu terasa ditusuk sembilu yang maha tajam.
“Aku memang sudah sering mendengar
orang desa bergunjing seperti itu Mbah, tapi aku tak percaya…”
“Nasib keluarga kita memang malang
Nduk, tapi Ibumu adalah wanita baik baik. Ia hanya menjadi korban kejahatan
majikan Malaysianya. Dan Mbah…..Mbah tak mau kamu bernasib sama dengan Ibumu !
Cuma kamu satu satunya harapan Mbah dihidup ini” Tuturnya pedih. Mereka pun
berpelukan erat sambil menangis sesegukan. Dahayu merasakan tubuh Mbah Kijah
semakin lemah dengan panas meninggi.
“Nduk, tolong buka koper diatas
lemari itu” Pinta Mbah Kijah kemudian. Dahayupun menurutinya.
Dengan bersusah
payah ia mencoba membuka satu kotak berbahan beludru merah yang telah lusuh.
Ada beberapa kertas kertas yang berisi coretan tangan, perhiasan dan satu kotak
kecil yang ternyata menjadi benda yang diambil oleh Mbah Kijah dan diberikan
kepada Dahayu. Ia kembali terbatuk batuk.
“Ini milik Ibumu sebelum ia
meninggal dunia, buka lah”. Dahayu terngaga menerimanya. Kebingungan, ketakutan
dan rasa tak enak meliputi benaknya, mendadak ia merasakan tubuhnya berat
seperti ada sosok lain yang tiba tiba menyeruaki tubuhnya. Tangannya bergetar
membuka kotak berornamen emas itu.
“Mbah...Ada foto Ibuku, perhiasan
dan........ini, ini...foto laki laki yang sering aku lihat di...... ?” Serunya
dengan mata berkaca kaca. “Dia Ayahmu
Nduk...namun tidak pernah mengakui keberadaanmu sebagai anaknya”. Dahayu
menghela nafas panjang seraya menyandar lemah.
”Siapa namanya Mbah ?”
”Ada dibelakang foto itu, Nduk. Mbah
sendiri tak mau mengingat namanya apalagi wajah bengisnya yang telah membuat
Ibumu menderita” Nuri membalik foto itu dan menemui tulisan ”Yang Dipertoan
Agung Nizham Abdullah”
“Aku sudah banyak dengar cerita
tentang penderitaan Ibu karena ulah orang Malaysia itu Mbah. Wajahnya sering
sekali berseliweran di mimpi dan alam batinku. Kadang aku melihat dengan jelas
bagaimana ia menyiksa Ibuku. Membuatnya menderita dan........” Kalimatnya
terputus oleh desahan dendam. Lalu kilatan amarah dimatanya. Mbah Kijah buru
buru mengalihkannya.
“Tadi malam Mbah bermimpi. Ibumu
datang dan meminta Mbah memberikan ini kepadamu. Meski Mbah sudah tahu lama
akan benda-benda ini tapi Mbah selalu lupa untuk memberikannya...entahhlah,
mungkin karena memang Mbah sudah tua. Dan untuk perhiasan itu, semiskin apapun
Mbah tak akan menjualnya. Itu satu satunya benda peninggalan almarhum Ibumu.
Kamu berhak untuk menyimpannya Nduk” Dahayu hanya terdiam sambil terus
memperhatikan foto laki laki dengan kumis tipis dengan senyum angkuh.
“Kamu sama sekali tidak mirip Ibumu
Nduk, hanya lentik matamu saja. Meski kau terlahir di keluarga miskin, tapi dirimu memancarkan keagungan seorang
perawan ningrat. Cara bicara, berjalan bahkan sorot matamu yang begitu teduh
sempat membuat Pak Kepala Desa mengira dirimu adalah keturunan bangsawan Jawa.
Mbah tidak tahu, dari mana semua kelebihan itu. Yang jelas tidak mungkin dari lelaki
terkutuk itu. Meski menurut Ibumu, lelaki itu adalah anak keturunan raja yang
sangat disegani di negaranya.
“Aku memang tak pernah melihatnya
Mbah, tapi aku sering memimpikannya...hampir setiap malam sejak aku kecil.
Dalam mimpiku dulu dan sekarang, aku bahkan bisa melihat perubahaan wajahnya dari
tahun ke tahun” tutur Dahayu dengan mata menerawang. Lalu di tatapnya kembali
foto Ayahnya dan tersenyum sinis.
“Foto ini diambil dua tahun sebelum
kelahiranku dan aku sangat tahu dimana manusia biadab ini berada!”. Sebenernya
ada kejanggalan yang terlihat jelas di mata dan tutur Dahayu. Dan banyak
pertanyaan yang berseliweran di benak lelah Mbah Kijah, tapi ia terlalu sakit
dan lelah untuk sekedar menanggapi apalagi bertanya banyak hal.
“Mbah hanya ingin kamu tidak
bernasib sama dengan Ibumu Nduk, hanya kamu yang Mbah miliki dihidup
ini...kalau sampai.....” Kalimat serak itu terputus oleh tangis. Tapi Dahayu
tak ikutan sedih seperti biasa. Ia malah menatap tajam wajah neneknya.
“Mbah jangan nangis! Sudah terlalu
banyak air mata derita kita karena laki laki itu, dan Ia harus membayarnya dengan darahnya
sendiri. Apa dia punya darah sebanyak air mata yang telah tertumpah dari mata
Ibuku, aku dan Mbah ??!! Jerit Dahayu dengan dada bergemuruh. Gerak gerik Dahayu
pun berubah aneh. Tatapan, desah nafas bahkan suara Dahayu mendadak berubah. Mbah Kijah pun langsung tahu, Dahayu tengah
membuat kontak dengan orang orang di dunia lain. Meski ia mengetahui akan
kelebihan indra keenam yang dimiliki cucunya, hal itu tak pernah bisa
diterimanya. Ia ingin Dahayu terlepas dari semua itu. Membuat hidup Dahayu
senormal mungkin adalah hal yang tak pernah berhenti diusahakannya. Meski Mbah
Kijah tahu, terlalu berat untuk melepas kodrat Dahayu yang menurut Eyang Karso,
memiliki rantai karma dengan para leluhur bangsawan kerajaan Jawa masa lalu.
Selain itu, auranya pun sangat di sukai dan di cari oleh manusia manusia
berderajat tinggi yang masih terperangkap di dunia pararel.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan,
Nduk ? Koe cuma seorang perempuan.. Rasanya tak mungkin melampiaskan dendammu.
Mbah takut malah kamu akan......” Sahut Mbah Kijah, seolah ingin menepis
ketidak normalan cucunya.
“Aku harus ke Malaysia Mbah,
harus.....aku harus menguras darah lelaki sialan itu! Tak usah tanya bagaimana
aku akan menghabiskan seluruh darah yang ada ditubuhnya, bahkan aku biarkan
sebagian perutku kelaparan untuk ku beri makan isi perut dan jantungnya !”
Timpal Dahayu berapi api. Mbah Kijah berusaha bangkit dan merangkul tubuh Dahayu
yang bercucuran keringat dingin. Bibirnya bergetar, matanya berkilat kemerahan.
Ada kesedihan sangat yang merambati relungnya, yang sama sekali tak ingin
pertumbuhan cucunya di ganggu oleh hal mistis untuk tujuan dan alasan apapun.
Namun Mbah Kijah semakin jelas melihat wajah almarhum Nuri di airmuka Dahayu.
Ia pun mendekap tubuh cucunya dan mencoba menenangkannya dengan beberapa
kalimat doa.
“Eling Nduk...Eling....Biar Gusti
Allah yang membalasnya. Mbah sudah merelakan dengan ikhlas kepergian Ibumu dan
semua musibah yang menimpa kita. Mbah yakin, Gusti Allah tidak pernah tidur dan
pasti ada pertolongan dan hikmah dari semua ini” Tuturnya sambil terus menenangkan
Dahayu.
“Tidak Mbah, derita ini tidak pernah
akan berakhir sebelum dia mati !”
“Lalu apa daya kita untuk melakukan
itu Nduk ? Kita ini orang miskin dan lemah”
“Tapi aku tidak lemah, aku bisa
melakukan itu!!”
Mbah Kijah pun
terdiam. Ia tak mampu lagi menanggapi dendam membara yang tiba tiba bergejolak
hebat. Ia sangat bisa merasakan desahan derita almarhum suaminya dan Nuri
membaur di amarah Dahayu. Sejujurnya, ia pun sering memimpikan ini. Ia sering
memimpikan Nuri memberinya senjata tajam, kepala seorang laki laki dan terakhir
yang lebih mengerikan, ia bahkan pernah memimpikan Nuri tengah memakan isi
perut mantan majikannya itu. Meski banyak doa yang terus dikirimnya bagi
ketenangan arwah Nuri, namun ternyata itu tak cukup menghapus dendamnya
hingga ke liang lahat.
Mbah Kijah masih terbaring lemah saat matahari telah
meninggi. Dahayu tak ada dirumah meski sarapan
dan satu tablet obat pusing telah disediakannya di meja samping tempat
tidurnya. Nenek renta itu berusaha bangun dan menuju dapur, ia tetap berniat
jualan pagi ini dan mengambil sayuran di pasar meski sudah tak tersisa yang
segar bila sudah siang begini. Tapi di dapur Mbah Kijah tak menemui bakul
sayurnya. Mbah Kijah pun keluar dan bertanya pada tetangga sekitar.
“Bu Las, Koe ndelo
putuku lungo ngendi ora ?” (Kamu,
lihat cucuku pergi kemana, tidak ?)
“Loh, Ta kira Si Mbah wish ngerti..Dahayu
sing gantiin Mbah jualan sayur hari ini”
“Oalaaaa....Dahayu, Dahayu...Yo wis
Bu Las, kesuwun yoo. Aku masih pusing arep turu maning”
“Iya Mbah, istirahat saja. Wong Dahayu
sudah perawan kok, ndak usah terlalu khawatir. Lagi pula Dahayu itu beda dengan
kebanyakan anak gadis lainnya. Ia begitu anggun dan sopan, seperti putri
keraton, semua orang memandangnya segan.
Pokoknya Dahayu itu beda ya Mbah” Tutur Bu Las, Mbah Kijah hanya menanggapi dengan senyum dan
berlalu. Anehnya ia tak lagi merasakan sedih seperti biasanaya. Ketakutan akan
kehilangan Dahayu seperti nasib Nuri mendadak terkikis pagi ini. Debar aneh dan
rasa tak enak itu tak ada lagi. Entahlah,
ia mendapat kekuatan dan
keyakinan itu dari mana. Yang jelas, dihatinya telah ada restu seandainya Dahayu
harus berangkat ke Malaysia.
Saat sore hampir menjelang, Dahayu
baru pulang dengan diantar supir delman dengan banyak belanjaan yang dibawanya.
Ia membelikan Mbah Kijah kain panjang, kerudung dan kebaya baru, juga obat
obatan dan vitamin serta makanan lainnya.
“Dari mana koe dapat kan semua ini
Nduk ? Dan mengapa pergi tanpa pamit sama Si Mbah?”
“Aku tidak mau mengganggu tidur Mbah
dan semua ini aku beli dari perhiasan Ibu yang aku jual. Lumayan Mbah. Lakunya
mahal sekali kata tukang emas di pasar, ini emas Serawak jadi dia berani bayar mahal,
sampe jadi rebutan toko emas di pasar loh Mbah! Disangkanya aku ini orang kaya,
masa ada yang memanggilku Kanjeng Putri” Tutur Dahayu dengan tawa renyah. Mbah
Kijah menyimak senang keceriaan yang jarang ditemui diwajah cucunya. Memang
makin terlihat aura ningrat tertancap jelas di keseluruhan tubuh Dahayu. Leher
jenjangnya, mirip sekali dengan lukisan Dyah Pitaloka yang pernah di lihat dirumah Bapak Lurah dulu.
Oya Mbah, Ini uang hasil jualan
perhiasan itu. Aku saja sampe kaget di kasih uang sebanyak ini. Lima juta
rupiah !” Tutur Dahayu dengan mata berbinar “Aku heran, kenapa Mbah tidak
menjualnya dari dulu dan membuat warung kecil saja dirumah dengan modal uang
ini”
“Tapi itu milikmu Nduk. Itu pesan
Ibumu, makanya Mbah tidak mau menjualnya, tapi kalau kamu telah menjualnya
yaa...Mbah tidak melarang apalagi marah”
“Ada satu lagi kabar gembira Mbah”
“Opo maning Nduk ?” (Apa lagi, nak ?)
“Besok aku akan kerumah Pak Abdil
dan membatalkan rencanaku untuk pergi ke Malaysia, aku mau disini saja temani
Mbah sambil berdagang”
Tapi tak ada wajah
gembira Mbah Kijah seperti yang diduga Dahayu, ia malah mendesah sedih.
“Kenapa Mbah? Bukannya Mbah senang
dengan kabar ini ?”
“Tidak Nduk, Mbah merasa kamu memang
harus pergi ke Malaysia dan menyelesaikan apa yang di inginkan Ibumu meski hati
kecil Mbah sangat tidak rela jika kamu harus menjadi penerus dendam dan sakit hatinya.
Tapi Mbah tidak sanggup lagi melarang...Mbah, sudah ikhlas” Tuturnya dengan
mata berkaca kaca. Dahayu hanya ternganga tak percaya.
“Kenapa tiba tiba Mbah berubah
pikiran ?”
“Karena...karena sepertinya Ibumu
memang menghendaki dirimu untuk berangkat kesana Nduk.. Meski selama bertahun
tahun Mbah mencoba menolak segala mimpi mimpi itu. Dan semakin Mbah tolak
semakin sering pula arwah Ibumu mendatangi Mbah yang sulit dibedakan antara
mimpi dan kenyataan. Dahayu hanya terdiam, di ujung sana matanya cakranya
langsung menangkap sosok Nuri yang berdiri semakin dekat ke arahnya. Komunikasi
batin pun terjadi antara Dahayu dan arwah Ibunya. Dahayu tak banyak menjawab,
ia hanya mengangguk beberapa kali.
“Ibu baru saja mengatakan hal yang
sama Mbah” Ujar Dahayu menjelaskan. Mbah Kijah hanya mendesah pelah, matanya
menyapu ruang disekitar rumahnya. Namun hanya mengundang rasa dingin dan
merinding di sekujur tubuhnya.
“Itu lah sebabnya Nduk, Mbah tak
punya alasan lagi untuk menahanmu, meski Mbah khawatir, tapi Mbah yakin Gusti
Allah pasti melindungimu”
”Aku tahu dimana harus mencarinya !”
Ujar Dahayu dengan suara yang berubah menjadi suara Nuri. Meski hal tersebut
bukan pertama kali di temuinya, namun tak urung membuat batinnya lelah. Satu
hal yang membuatnya sedih, adalah keinginannya untuk membuat Dahayu tumbuh
senormal mungkin. Tanpa harus hidup di dunia pararel.
“Aku tahu dimana dia Mbah, aku tahu
apa yang sedang dia lakukan saat ini!” Serunya dengan tangan dan bibir
bergetar. Mbah Kijah kembali menenangkan cucunya. Dan mengajak Dahayu duduk.
“Nduk, eling Nak....” Tiba tiba Dahayu
menangis tersedu.
“Apa yang terjadi
dengan ku Mbah ? Setiap kali aku melihat foto itu, tubuhku sekonyong konyong
menjadi berat. Aku bahkan dapat melihat sosoknya dengan jelas, duduk manis di
sebuah rumahnya yang megah sambil membaca koran. Seolah aku pernah menjadi
bagian dari hidupnya begitu lama. Tapi.....tapi.......” Kalimat di bibir Dahayu
kini tersenggal oleh senggalan nafasnya yang memburu kencang. Ada kilatan
amarah yang terpancar dimatanya. Mbah Kijah, malah melihat jelas kemarahan
almarhum Nuri dimata cucunya yang mendadak kehilangan keluguannya seperti
biasa.
”Tapi apa Nduk...Eling Nduk ! Eling!
Timpal Mbah Kijah menyadarkan. Dahayu
pun tergugu dalam tangis sambil memeluk tubuh tua Neneknya.
”Apa yang terjadi denganku Mbah? Apa arti semua perasaan aneh ini ?”
“Mbah sendiri tidak tahu apa arti
semua ini, tapi Mbah takut jika tidak menuruti apa yang diinginkan almarhum
Ibumu, maka ia akan terus mendatangi kita. Dan
Mbah akan sangat merasa berdosa jika kelak Mbah telah tiada, dendam ini
belum juga terselesaikan, Nduk” Dahayu masih menangis di pelukan Mbah Kijah
dalam ketakutan, kebingungan dan kekuatan yang semakin menggumpal menjadi
energi baru yang tak pernah ia mengerti
sebab dan asal muasalnya. Namun selintas kemudian, ia pun tersenyum dalam
pejaman mata yang erat. Prajurit tampan itu datang menghampirinya, memeluknya
dan memberi kehangatan tersendiri dibatinnya. Jasad Dahayu pun tertidur, tapi
rohnya jauh terbawa ke suatu masa ratusan tahun lalu. Jiwanya nelangsa saat
pandangannya bertaut dengan tatapan tajam nan lembut prajurit tampan tersebut.
Disebuah pendopo keraton, mereka pun memadu kasih.
@@@
Pagi masih menyisakan kehangatan mentari. Namun tidak
dihati Mbah Kijah. Rasa dingin yang aneh dan misterius terus saja melingkupi
hati dan sanubarinya. Ingin rasanya ia menceritakan semua yang ia alami sejak
kematian Nuri. Banyak hal janggal yang mengikutinya. Nuri memang tidak mati
dibunuh, ia meninggal beberapa jam setelah Dahayu lahir. Namun beberapa menit sebelum
kematiannya, ada pesannya yang berusaha di lupakan oleh Mbah Kijah tapi tak
pernah bisa.
“Wujudku boleh saja mati Bu, tapi aku
akan terus hidup pada jiwa anak ini. Akan ku tuntun ia untuk melampiaskan
dendamku pada Nasruddin, lelaki biadab itu !”
Setelah itu Nuri
pun pergi dengan sebongkah dendam yang dituntut untuk dipecahkan kemudian hari
dengan cara apapun. Mbah Kijah yang taat dan percaya pada kekuatan Gusti Allah,
terkadang tak bisa menerima hal itu. Namun ia tak pernah berhenti di kunjungi
kemarahan Nuri kerap kali ia mencoba melawannya. Akhirnya, saat itu pun tiba. Dahayu
beranjak remaja dan waktu itu telah datang menjemputnya. Mbah Kijah mendesah
miris. Harus kah Dahayu yang terlahir tanpa pinta dan dosa itu, menanggung
beban dendam ini ? Mengapa ada seorang lelaki yang begitu biadab menanamkan
benih tak berdosa dan menistakannya begitu saja ? Sejak musibah itu menimpanya,
yang bisa dilakukan Mbah Kijah hanya berpasrah dalam doa. Meski tak terhitung
sudah air mata dan rasa sakit hati yang terus dilawannya dengan menganggap ini
sebagai bagian dari takdir buruknya sebagai manusia. Sakit hati itu pula yang
menjadi andil paling besar atas kematian suaminya. Mbah Lasirun memang tak
sekuat dirinya. Ia bisa tegar menerima semua hujatan orang atas nasib yang
diterima anaknya yang mati dan meninggalkan seorang cucu yang seumur hidupnya
di cap sebagai anak haram. Bahkan sejak Dahayu lahir dan mendapat stigma itu
dari masyarakat desa, Mbah Lasirun tak berani lagi pergi sembahyang berjamaah
di masjid. Jarang ikut pertemuan di desa dan mengundurkan diri dari
kepengurusan berbagai kegiatan di balai desa. Iia tak pernah menolak atau
membenci kelahiran Dahayu. Tapi gempuran
masyarakat desa atas aib yang tak pernah mereka minta membawa Mbah Lasirun pada
derita batin yang luar biasa. Ia sering termenung, terlebih saat menjiarahi
makan anaknya. Mata tuanya terus saja dilinangi airmata dendam dan duka. Sampai
akhirnya, suatu pagi Mbah Kijah menemui Mbah Lasirun yang tak pernah terbangun
lagi dari tidur terakhirnya, tepat dimalam 40 hari kelahiran Dahayu. Mulai
detik itu, Mbah Kijah berjuang seorang diri membesarkan Dahayu diantara gaung
cerca yang tak pernah hilang sama sekali hingga kini. Dan Mbah Kijah
berusaha untuk bertahan, ia percaya pada kekuatan doa. Seandainya derita ini
tak berakhir pada rentang hidupnya, setidaknya ia punya doa agar pada Dahayu
lah hikmah itu bisa terpetik. Atau bisa jadi, Ia dan keturunannya lah yang di
pilih Gusti Allah untuk mengakhiri satu angkara murka di muka bumi ini. Mbah Kijah
tak pernah berani mengandaikan apa yang akan terjadi pada kehidupannya kelak,
bahkan untuk hal baik sekalipun. Ia hanya percaya pada keadilan Tuhan di hidup
ini. Hanya itu....keadilan yang berlaku bagi hambanya tanpa mengenal kasta dan
gelar.
(Bersambung : Bab III Sedulur Papat Kelima Pancer)
No comments:
Post a Comment