BAB IV
ROH WASILAH
(Ria Jumriati)
(Ria Jumriati)
Image : ekspresionlinedotcom
Diiringi dengan lambaian tangan dan
derasnya airmata Mbah Kijah. Dahayupun memulai babak baru perjalanan nasibnya.
Tak ada gambaran pasti mengenai seperti apa Malaysia, kuala lumpur, serawak dan
kota kota besar lainnya di negeri Jiran. Tapi Dahayu merasakan gelora semangat
yang menggunduk semakin tinggi di seluruh relung jiwa, batin bahkan alam bawah
sadarnya. Timbunan semangat itu pun mulai mengeluarkan buncahnya, bak gunung
api yang suatu saat siap menumpahkan lava yang maha panas. Terlebih ketika, sepasang kaki Dahayu menapak
pertama kali di bumi Malaysia. Diantara kebingungan sebagai Dahayu dan Deja Vu yang
terus menguasai batinnya. Gadis bermata lentik itu hanya mengikuti apa yang
diperintahkan kepala rombongan para TKI asal Indonesia. Puluhan remaja putri
dan belasan wanita dewasa dengan wajah lugu dan pengharapan yang sama pada
sebuah cita cita untuk meraih penghidupan yang lebih baik dan layak, berbondong
bondong menuju satu gerbang yang akan merubah nasib mereka yang masih samar
adanya. Mengapa harus kesana ? Karena tak pernah bisa diberikan oleh pengelola
bangsa ini, hingga mereka harus mengadu dan mempertaruhkan segenap jiwa raga ke
negeri tetangga. Meninggalkan segenap orang yang dicintai demi sebongkah
harapan yang sangat mendasar sebagai manusia. Dapat hidup layak dan terpenuhi
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Dan sekali lagi, semua itu terlalu
mahal di negeri mereka sendiri. Semahal bahkan semustahil kata ’amanah’ yang
bisa diharapkan pada penguasa negeri ini.
Dahayu menyapu
pandangannya ke sekeliling. Ia dan rombongan TKW kini telah berada di tempat
penampungan sementara. Suara bising orang yang lalu lalang. Diantara hiruk
pikuk, beberapa transaksi busuk pun
terjadi. Perlakuan tak sopan terhadap para TKW hingga pelecehan seksual dari beberapa
oknum, terpampang jelas dimatanya. Lalu lalang setiap orang yang masing masing
dibuntuti beberapa mahluk. Ada seorang Bapak yang sedari tadi di ikuti mahluk
serba hitam, ketika ia akan menyebrang sebuah truk langsung menghantam
tubuhnya. Mahluk serba hitam itu pun tertawa dan segera melahap rohnya. Lalu
seorang bayi yang terus di dampingi perempuan cantik penuh cahaya. Bidadarikah
? Semua mahluk dari berbagai dimensi dan waktu, kini terlihat kasat di mata Dahayu.
Hingga tiba tiba ia merasakan tubuhnya seringan kapas, lalu angin kencang
menderu hingga mendatangkan badai. Semua orang masih sibuk berkutat dengan
kegiatannya. Tapi mengapa hanya ia yang merasakan besarnya hempasan badai ?
Tubuh ringannya pun semakin terbawa pusaran angin. Gelap......sunyi....Dahayu
terbawa poros waktu yang menyeret jiwanya pada satu bentang kehidupan ratusan
tahun lalu. Ia pun terjerembab jatuh di sebuah peraduan dengan ornamen dan
nuansa keraton keningratan Kerajaan Jawa kelas tinggi. Dahayu tak lagi melihat
dirinya yang dulu, pakaian kemben dan rambut tertata rapi bak putri keraton,
serta lingkungan istana yang di jaga prajurit
dan para dayang dayang.
”Kanjeng Putri
Dahayu Janitra!” Seru seorang dayang saat melihatnya jalan menelusuri lorong
lorong keraton. Dahayu menoleh bingung. Sementara beberapa dayang lainnya pun
berseru gembira melihatnya.
”Putri Dahayu sudah bangun, cepat
panggil Raden Mas Ganendra!” Seru seorang dayang dan tergopoh berlari menuju pendopo
Istana. Tak lama beberapa orang prajurit dan seorang pria tampan dan gagah
datang dengan langkah cepat.
”Dahayu ? Kau sudah bangun ?
Syukurlah! Ujarnya sambil memeluk tubuhnya. Dahayu langsung terkoneksi dengan
energi di tubuh lelaki itu. Batinnya segera saja terisi banyak potongan kisah
yang akhirnya memberi pandangan jelas tentang jati dirinya kini.
”Raden Mas Ganendra ? Apa yang telah
terjadi ?” Tanyanya bingung.
”Ceritanya panjang, istirahatlah
dulu. Kita masih banyak waktu untuk itu” Ujarnya dengan senyum yang sangat di
kenal Dahayu. Dia lah laki laki yang selama ini selalu datang di setiap
mimpinya. Sosok yang selalu di rindukannya. Tapi siapa dia ? Dua jiwa di raga
Dahayu masih membutuhkan waktu untuk saling menyatu. Deja Vu terus berlanjut di
benaknya. Taman di pendopo, pahatan di dinding keraton, gelas antik berornamen
gajah. Hampir semua yang tertangkap di matanya, serasa tak asing lagi. Ia
pernah menjadi bagian dari semua ini. Bahkan Mbok Tumijah yang sedari tadi
terus memandangnya dengan senyum. Ia kenal betul senyum itu, dia adalah salah
satu dayang yang sering menata rambut panjangnya, memakaikan kemben dan memberi
air mandinya dengan serangkaian bunga bunga segar.
”Hari ini, Kerajaan akan kedatangan tamu dari negeri Pasundan.
Istirahat lalu bersiaplah untuk menyambutnya. Aku ingin, kamu menjadi bagian
dari perayaan besar nanti.
”Perayaan besar apa, Kang Mas ?
”Maharaja Hayam Wuruk, akan meminang
Putri Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pasundan, semua telah dipersiapkan. Aku ingin
kau tampil cantik nanti” Tuturnya lembut. Perlahan jiwa Dahayu menangkap satu
pesan di relung rohnya. Ia memejamkan matanya sekejap. Ada beberapa kelebat
bayang yang tergambar di benaknya. Seorang s pria, wajah Nuri dan.....tiba tiba
dadanya sesak, saat menyeruak bayang laki laki yang menjadi target dendam
Ibunya.
”Kenapa Dahayu ? Istirahatlah, kamu
baru saja mengalami tidur panjang yang membuat khawatir banyak orang termasuk
Sang Raja” Ujarnya Raden Mas Ganendra seraya memapah tubuh Dahayu menuju
peraduannya.
”Banyak sekali sosok yang
berseliweran di benakku, dan tak semuanya aku kenal. Aku seperti orang asing”
”Tenanglah Dahayu. Saat jiwamu
tertidur, tabib yang merawatmu mengatakan, jiwamu memang tengah di pinjam
’seseorang’ untuk mengembara ke tempat lain”
”Tempat lain apa maksudnya, Kang Mas
?”
”Aku juga tidak tahu, tapi ia
meyakinkan, seseorang yang datang menjemput rohmu itu, bukanlah orang lain. Ia
masih memiliki pertalian batin yang kuat dengan dirimu. Dan ia yakin, kau pasti
kembali dengan selamat. Karena seseorang itu pasti akan menjagamu dengan baik” Ujarnya
dengan senyum.
”Lalu....hmmm, Kang Mas sendiri
siapanya aku ?” Tanyanya ragu. Raden Mas Ganendra tersenyum dan membelai rambut
Dahayu,
”Aku calon suamimu, kita akan segera
menikah setelah Raja Hayam Wuruk dan Putri Dyah Pitaloka meresmikan ikatan
pernikahan mereka. Besok adalah waktunya, dan setelahnya adalah milik kita.
Maha Patih Gajah Mada tak mengizinkan aku sebagai perwira perangnya mendahului
Sang Maha Raja” Tuturnya tegas.
Dahayu hanya
terdiam, ia teringat mimpinya yang sering terjebak dalam perang dahsyat bersama
Sang Patih Gajah Mada . Sekonyong gejolak dibatinnya pun berbuncah hebat.
Beberapa bayang itu semakin memperebutkan energinya. Dahayu pun tertidur. Namun
rohnya tetap terperangkap diantara dua dimensi ruang dan waktu. Malam semakin
pekat. Beberapa roh, tengah bernegoisasi untuk satu tujuan tertentu yang
terbalut erat ’Karma Getih” – ”Karma berdarah” yang pengaruhnya tengah merasuki
segenap relung Dahayu.
@@@
Sejak subuh seluruh penghuni Istana
telah disibukan oleh persiapan untuk menyambut rombongan keluarga besar
kerajaan Pasundan dan Putri Dyah Pitaloka. Menurut desas desus yang sempat di
tangkap Dahayu, kedatangan Putri Dyah Pitaloka adalah untuk menyerahkan diri
sebagai mempelai putri yang akan dinikahi oleh Sang Maha Raja Hayam Wuruk. Dahayu
sendiri, tengah menjalani ritual ’ratus’ dengan bermandikan bunga dan rempah
rempah yang konon harumnya tak akan hilang hingga hari ke-7.
”Raden Mas Ganendra, sangat
beruntung mendapatkan Kanjeng Putri” Ujar Mbah Tumijah sambil mengguyur pelan
rambutnya dengan air rempah yang menyengat wangi.
”Apakah wajah tampannya juga sebaik
hatinya, Mbah ?” Dahayu bertanya ragu.
”Tentu saja, Bukankah Kanjeng Putri
rela melepaskan pertunangan dengan Raden Mas Raditya Javas Nararya yang telah
di jodohkan orang tua Kanjeng Putri”
”Apa, Raden Mas Raditya Javas
Nararya ? Aku belum pernah melihatnya, Mbah. Seperti apa rupanya ?” Dahayu
semakin penasaran. Sambil meneruskan pekerjaannya, Mbah Tumijah memaklumi
kebingungan Dahayu. Sebagai dayang sepuh, ia mengerti betul, bagaimana reaksi
seseorang yang jiwanya pernah di bawa pergi oleh ’seseorang’ dari dimensi ruang
dan waktu yang berbeda.
”Raden Mas Ganendra memang bukan
anak raja, atau memiliki keluarga yang dekat dengan lingkungan kerajaan
manapun. Ia hanya anak seorang abdi dalem, tapi Raden Mas Ganendra adalah
perwira perang Sang Maha Patih Gajah Mada yang sangat tangkas, jujur dan rendah
hati. Kharismanya mirip Sang Maha Patih, tapi ia tak serakah dan selalu berlaku
adil. Kerendahan hati itu lah yang tak di miliki Raden Mas Raditya Javas
Nararya. Ia telah dibutakan oleh keangkuhan karena merasa menjadi kerabat dekat
kerajaan Pasundan. Bahkan konon, kematian Ayah Ibu mu adalah karena dibunuh
oleh orang suruhan Raden Mas Raditya”
”Ayah Ibuku, telah meninggal ?
Dahayu semakin bingung ”Aku sama sekali tak bisa mengingatnya Mbah”
”Sudahlah, sebaiknya tak usah di
ungkit lagi masalah ini. Karena bisa berbahaya terutama buat dirimu sendiri”
Tukas Mbah Tumijah seraya menyelesaikan pekerjaannya.
”Mbah, Sebentar lagi rombongan Putri
Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pasundan akan datang. Apakah dia juga ada dalam
rombongan itu ??”
Mbah Tumijah menggeleng lemah. Di
benaknya ada sedikit sesal telah membocorkan rahasia itu kepada Dahayu.
”Berdoa saja Kanjeng Putri, Mbah
sendiri tidak tahu” Ujarnya seraya berlalu.
Iring iringan rombongan Kerajaan
Pasundan telah sampai di gerbang Istana. Sementara persiapan di dalamnya pun
tak kalah megah. Sang Prabu Hayam Wuruk terlihat sumigrah dengan pakaian
kebesarannya. Beberapa petinggi istana telah siap dengan tugasnya masing masing
untuk memberi sambutan pada kedatangan Maharaja Linggabuana dan Kanjeng Gusti
Putri Dyah Pitaloka yang akan dipersunting Sang Raja. Dahayu memperhatikan
sekelilingnya. Tapi ia tak menemui sosok calon suaminya. Ia pun berjalan pelan,
keluar menyusuri pendopo istana hingga akhirnya menemui Raden Ganendra dan
beberapa prajurit perang Maha Patih Gajah mada di Pesanggrahan Bubat, lengkap
dengan senjata dan pakaian perang masing masing. Sama sekali tak terlihat
senyum dan keramahan diwajah mereka, hampir semua menampakan wajah keras dan
energi siap tempur. Raden Mas Garendra berdiri tepat beberapa langkah dari Sang
Maha Patih Gajah Mada yang tengah berbicara serius dengan utusan Maharaja
Linggabuana. Mata Dahayu terus menelusuri beberapa orang yang terlihat di
hadapannya, hingga singgah pada wajah seorang laki laki yang membuat dadanya
terasa terbakar tiba tiba. Ada gemuruh hebat yang serta merta menyulut
keseluruhan dendam di hatinya demi melihat gambaran wajah seseorang yang
menjadi target dendam Nuri selama ini. Bayang wajah Nuri dan kelebat amarahnya
pun semakin menguasainya.
”Bunuh dia, Dahayu...Bunuh Dia !”
Suara Nuri semakin jelas terdengar di benaknya. Dahayu berusaha
menepi, sementara perselisihan mulai terjadi antara Maha Patih Gajah Mada dan
utusan Maharaja Linggabuana. Beberapa prajurit perang Sang Patih mendadak bermunculan
dari berbagai arah. Terjadilah pertempuran hebat yang tak berimbang antara
pasukan dari Kerajaan Pasundan dan bala tentara Maha Patih Gajah Mada yang
berjumlah ribuan. Dahayu pun menyeruak diantara perang yang tengah terjadi.
Serta merta ia menghampiri Raden Mas Ganendra yang tengah berperang sengit
dengan salah satu prajurit kerajaan Pasundan, yang ternyata adalah target
dendam Nuri. Saat kegentingan tengah berlangsung, Dahayu pun langsung
menusukkan keris tajam yang ke perut dan dada lelaki itu. Darah bercucuran,
wajah laki laki itu memucat. Ia memandang Dahayu sejenak dan mendesiskan
namanya. Seolah digerakkan oleh kekuatan lain, Dahayu kembali menusukkannya ke
arah dadanya, hingga berakhir tragis.
”Dahayu, cukup
Dahayu ! Dia sudah mati !” Seru Raden Mas Ganendra berusaha menenangkannya.
”Dia memang pantas mati ditanganmu,
karena dia lah yang telah mengutus orang untuk membunuh Ayah – Ibumu” Ujar
Raden Mas Ganendra seraya memapah tubuhnya.
”Apa ?! Jadi lelaki ini adalah Raden
Mas Raditya Javas Nararya ? Bekas tunanganku ? Tapi...tapi mengapa wajahnya
sama dengan....Akhhhhh!”
”Sama dengan siapa ?” Tanya Raden
Mas Ganendra tak mengerti.
”Tidak, Dia pasti orang yang
telah......dan aku telah membunuhnya.....Akhhhhhhhhhh, kepalaku !”
Tiba tiba Dahayu merasakan pening yang luar
biasa di kepalanya. Raden Mas Ganendra membawanya menepi. Perang masih
berlangsung. Bahkan Kanjeng Gusti Putri Dyah Pitaloka ikut dalam pertempuran
itu. Ia terlihat begitu agresif menyerang Patih Gajah Mada, terlebih ketika melihat
Ayahnya tewas dalam pertempuaran itu. Sampai akhirnya, ia sendiri pun gugur
setelah berhasil memberi luka yang sangat parah di tubuh sang Maha Patih.
Perang masih berlangsung, namun pening di kepala Dahayu membuatnya semakin
melayang jauh. Terdengar tawa puas berkepanjangan milik Nuri, lalu darah yang
berceceran di tubuh lelaki yang telah menodainya. Suara bising, orang lalu
lalang begitu cepat lalu angin kencang dan pusaran angin yang memburu tubuh
Dahayu. Wajah Mbah Kijah, Eyang Karso.......Dahayu merasakan tubuhnya seringan
kapas. Terlepas, terbang dan terbawa hempasan poros waktu yang begitu cepat.
(Bersambung Bab V)
(Bersambung Bab V)
No comments:
Post a Comment