Thursday, December 14, 2017

Emak - Kompetisi Blog #KarenaIbu

EMAK 

Semasa remaja, terus terang Aku tidak pernah merasa bangga memiliki Ibu seperti yang setiap hari Ku panggil “Emak”. Tubuh gembur, selalu lelah, terkadang sering marah tanpa sebab dan sering ikut campur urusanku sebagai remaja yang sedang bersemangat mencari jati diri. Dari semua yang di tampilkan Emak, satu kesimpulan ku. Ia adalah Ibu rumah tangga yang tidak bahagia. Pernah Aku begitu membencinya, karena melarangku ikutan hiking bersama teman sekelasku. Alasannya konyol sekali, takut Aku di gigit ular. Dari sekian banyak siswa yang ikut, apakah tiba tiba hanya aku yang di pilih Si  Ular sebagai mangsa utama ? Marah dan kecewa, Akupun nekat kabur dan tetap ikut hiking tanpa menghiraukan jeritan pilu Emak.

Sesama teman se-gank, hanya Aku yang tak pernah membanggakan keberadaan Emak. Sita selalu aktif memposting foto-foto Mommy nya di social media, yang langganan menjadi pembicara di berbagai kelas motivasi. Diana, rutin dan begitu antusias membedah novel – novel best seller tulisan Bundanya. Sedang aku ? hanya punya Emak yang cuma bisa memasak, mencuci, setrika dan selalu terlihat lelah. Apa yang bisa di banggakan ? Bukankah itu mirip mirip pembantu rumah tangga ?  Kelebihannya cuma karena dia adalah Ibu yang melahirkanku. Bertahun tahun aku di siksa dengan perbedaan itu. Bertahun tahun aku mengutuki nasib, kenapa punya Emak yang tak punya prestasi membanggakan seperti Mommy Sita dan Bunda Diana. Aroma kedua wanita itu pun semerbak wangi parfume bermerek, sementara Emak ? terkadang bau bawang atau minyak angin. Tidak pantas untuk di pamerkan  !

Tahun pun berlalu, Aku memilih kost dan jarang bertemu Emak. Semakin hari, Emak terlihat lebih tua dibanding wanita sebayanya. Ada perasaan kosong saat berjauhan dengan Emak. Tak ada lagi rendang lezat buatannya, suara cemprengnya saat membangunkan Aku untuk sholat shubuh, dan sarapan nasi uduk yang selalu sempat dibuat untuk keluarganya meski harus bangun pukul 4 pagi setiap hari. Tiba tiba aku kangen bau bawang dan minyak angin Emak.
Entah karena apa, sekonyong banyak hal salah yang telah aku lakukan pada Emak. Seorang Ibu, yang tak pernah Ku akui prestasinya. Namun, membuat Sita dan Diana serta temanku yang lain selalu memilih rumahku sebagai tempat belajar, karena satu alasan. Bisa merasakan “Rujak Tumbuk” ala Emak yang kelezatan bumbunya tak bisa di temui di resto manapun. Atau Pisang Goreng Kremesnya yang tak harus memakai borax tapi tetap garing hingga berjam jam. Emak Ku yang selalu memohon hingga memaksaku menjual nasi uduk buatannya sebagai tambahan belanja dapur, tapi sering ku tolak meski selalu laku keras ketika dengan terpaksa aku pernah membantu menjualnya. Dan semua itu, tak pernah kuanggap sebagai prestasi. Aku tak pernah menyadari, karena jerih payah Emak Aku bisa meraih semua ini !
 “ Emak, lagi ngapain ?” Tanyaku melalui telpon. Geruduk sesal menyeruak ramai di hatiku.
Tak biasanya, suara Emak terdengan pelan bahkan hampir merintih. Tak ada sepatah kata yang terucapan, hanya desahan nafasnya yang terdengar melalui handphoneku.
                “Emak..Emak kenapa ? Kok tidak ada suaranya ? Jawaban yang terdengar adalah suara Bapak.
                “Emak sakit Nak. Kalau kamu tidak sibuk, pulanglah” Pinta Bapak pelan.
                “Kenapa aku tidak di beritahu dari awal Pak!” Protesku sedih.
                “Emak tidak mau mengganggumu, karena takut kamu marah”

Marah ? Sedurhaka itukah Aku Tuhan ? Aku terhenyak pedih. Geruduk sesal itu semakin kencang menghujam dadaku.  Perjalanan menuju rumah dan bertemu Emak, serasa begitu panjang. Aku ingin bertemu Emak, ingin memeluk Emak, ingin bersujud dikakinya dan memohon ampun !. Waktu seakan menghantuiku, waktu menyeringai tajam mengejekku dan waktu pasti menghukumku sebagai anak yang tak pernah menghargai jasa Ibunya.

Sesampai di rumah, hanya ada kelenggangan. Ku buka pintu rumah yang tak terkunci. Kamar tidur Emak sudah di penuhi beberapa orang. Wajah duka dan tangisan pilu. Aku tersungkur lunglai.
Emak.....jangan pergi ! Dan semua terasa melayang dan gelap.

“Emak, meski kata maaf ini tak sempat kau dengar terucap dari bibirku yang terlalu angkuh mengakui kehebatanmu. Tetaplah ampuni Aku, pada gundukan tanah liat tempat jasadmu tersemayam. Ku panjat dan kumohon doa, agar waktu tak menghujatku karena tak pernah menghargai jerihmu.

Emak, pada taburan bunga kematianmu. Izinkan aku menitipkan sepanjat doa meski berhias sesal yang tak selesai hingga Tuhan kini menggenggammu dalam keindahan hidayah dan amalan hidupmu.

“Emak, biarkan dan izinkan aku tetap mengenangmu dalam gaungan doa di batinku...
Istirahatlah Emak,  Izinkanlah doaku menemani setiap langkah panjangmu menuju Surga Illahi Rabbi”

Kututup hari dengan jutaan bayangan wajah lugu, sedih, ceria dan lelah yang tergurat silih berganti di wajah Emak. Kepiluan bertabur sesal mungkin tak pernah hilang, sampai karma menyapa dan mungkin bisa menyapu semua dosaku.








Wednesday, November 08, 2017

Cinta Berlogika #Cerpen





CINTA & LOGIKA
Ria Jumriati

7  Tahun pernikahan, menurut banyak orang mestinya sudah melewati masa krisis. Tapi bagi rumah tangga Arlene, justru krisis dan berbagai cobaan tengah mengalami titik kulminasinya. Ia pernah hampir menyerah karena tak sanggup lagi pada perlakuan Kevin yang semakin membabi buta menyakiti Arlene. Tapi selalu urung karena alasan cinta. Meski tak ada kekerasan fisik, tapi akibat yang di alami Arlene melebihi siksaan tubuh.
Sudah hampir setahun ini, Kevin ketahuan selingkuh dengan salah satu perempuan di panti pijat langganannya. Mereka bahkan telah mengontrak rumah dan hidup bersama. Belum lagi, nafkah bulanan yang perlahan tak lagi di setor Kevin untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Tapi Arlene mencoba bertahan. Ia tetap membawa deritanya dalam doa. Keyakinannya sangat tinggi, pada janji pernikahannya. Bahwa mereka yang telah di satuan Tuhan, hanya bisa di pisahkan oleh maut. Arlene penganut Katolik yang taat. Dulu hingga kini, cintanya pada Kevin tak pernah berubah. Tapi Arlene, manusia biasa dengan keterbatasannya dalam menahan rasa sakit, yang terus di uji suaminya hingga melewati atas manusia pada umumnya. Arlene terlihat kuat, tapi kadang hampir menyerah, linglung dan pasrah.
          “Pikirkanlah yang terbaik, kau tidak bisa hidup terus menerus seperti ini. Kasihan anakmu” Ujarku sambil menyeka airmata sahabatku lembut. Spontan ia meraih jemariku, meremasnya dengan tangisan seseguk. Seolah meminta kekuatan yang kian tererosi emosi dan dukanya. Aku terlarut iba. Beberapa menit kemudian, Arlene mulai tenang.
          “Apa salahku, Niken ?”
          “Tidak ada, kau perempuan sempurna”
          “Lalu mengapa Kevin begitu tega memperlakukan aku seperti ini ?”
          “Pernahkah kau tahu, seberapa dalam Kevin mencintaimu ?” Mata sendu itu menatapku bimbang. Lalu menggeleng sedih.
          “Arlene....maaf, bolehkah aku tanya sesuatu yang lebih pribadi ?” Ia kembali menatapku, airmatanya  masih berlinang. Mendesah lalu mengangguk pelan.
          “Kau pasti setuju, bahwa mencintai adalah persetujuan dua pihak. Jika hanya sendiri itu berarti mimpi. Tetap mencintai sementara Ia bersama yang lain, itu...itu adalah kebodohan. Dan aku tahu, kau bukan jenis perempuan seperti itu”
          “Tapi aku mencintainya ! Tetap setia dan mau berkorban apapun untuk kebahagiaannya. Apakah itu tidak cukup ?? !” Timpalnya terisak.
          “Pernikahan adalah keseimbangan Arlene, kesetaraan dan pengertian. Tidak berat sebelah dan kosong di satu sisi”
          “Tapi aku yakin, semua cinta dan pengorbananku untuk Kevin. Pasti akan membuatnya mencintaiku. Meski awalnya, Ia memang tak pernah mencintaiku. Semua bermula dari keinginanku. Kevin menikahiku karena.......karena saat itu aku lebih memilih mati saat Ia memutuskan untuk meninggalkanku”.
          “Arlene, fondasi pernikahan tak cukup di bangun oleh cinta dan pengorbanan yang datang darimu. Harus di topang oleh dua sisi. Tak ada pernikahan yang bisa tegak sempurna jika hanya satu orang yang mengusahakannya. Jika Kevin tetap tak bisa mencintaimu, Apakah kau masih menganggap pernikahanmu memiliki fondasi yang kuat ?”.
          “Aku menikah Katolik, Niken. Kevin tak bisa menceraikanku !”
          “Tapi ia berselingkuh, membuatmu menderita dan tak pernah menjadi milikmu seutuhnya. Buka mata hatimu Arlene!”
          “Tapi...Aku...aku...”
          “Arlene, jujur lah ! Selama 7 tahun pernikahanmu, sudah berapa kali Kevin bertingkah dan memancing perceraian? 3..4..5 ? Bahkan ketika kau tengah mengandung Shanne, ia tega meninggalkanmu lalu melahirkan tanpa suamimu yang seharusnya ada disisi istrinya yang tengah meregang nyawa !”
          ”Tapi Kevin Ayah yang baik. Ia sangat menyayangi Shanne” Timpalnya masih membela. Aku menarik nafas dalam.
          ”Jika Kevin tak menyayangi anaknya sendiri. Aku tak tahu lagi, species jenis apa yang pantas di kategorikan untuknya. Sadarlah Arlene..”
          “Maksudmu ??? Aku harus menceraikannya ? Dan merelakan suamiku hidup bersama pelacur itu ?!”
          “Arlene, kau perempuan yang sempurna. Hidup dan cintamu terlalu berharga dan mulia untuk kau berikan pada lelaki seperti Kevin”.
          “Tapi bagaimana dengan pernikahanku, aku pasti berdosa”
          “Saat dulu kau memilih bunuh diri, ketika Kevin menolak menikahimu. Saat itu kau tengah menentang takdir Tuhan. Ini adalah akibat dari keseimbangan takdir yang sudah IA gariskan. Percayalah Arlene, kau pasti akan bisa melewati semua ini dan mendapatkan yang terbaik”
          “Aku...aku tidak bisa hidup tanpa Kevin....aku sangat mencintainya, Niken”
          “Tapi ia tak mencintaimu. Ia lebih nyaman hidup dengan perempuan panti pijat, di banding dengan seorang Arlene – Perempuan cantik, cerdas, karir cemerlang dan patuh pada Tuhannya. Cintamu terlalu murni Arlene, hanya pria sejati berhati putih yang bisa mengenalinya...dan sayangnya, itu bukan Kevin”.
          Arlene terdiam lama. Hanya desahan nafasnya yang makin tak teratur. Aku membiarkannya untuk mencerna semua perkataanku.
          “Haruskah aku menyesal, Niken ? Ujarnya kemudian.  “Ibuku pun dulu pernah menasehatiku seperti itu. Tapi aku peduli. Bagiku Kevin adalah segalanya” Ujarnya dengan mata menerawang. Aku menimpali dengan senyum sambil mengusap punggungnya lembut.
          Nafas Arlene perlahan mulai tenang. Airmatanya pun mengering. Ia kembali meraih jemariku. Tak lagi diremasnya. Ia mempermainkan cincin kawin di jari manisku. Perlahan ada senyum kecil di sudut bibirnya. Meski airmatanya kembali menetes. Aku bisa merasa lega, telah memberi sedikit pencerahan di hatinya.
          “Niken, mau kah kau membantuku melewati semua ini ?”
          “Tentu...kau sahabatku. Aku ingin yang terbaik buat hidupmu”
          “Bisakah aku hidup tanpa Kevin ?”
          “Kau perempuan yang kuat Arlene. Tuhan pasti tak pernah berencana menyatukan mu dengan pria yang hanya menjadi algojo bagi batinmu. Tuhan pasti sangat menyayangimu, dan ingin membuatmu melihat, bahwa kemurnianmu tak sepadan dengan kebejatan Kevin selama ini. Kau perempuan berhati permata, Arlene. Percayalah itu....”
          Perlahan, aku melihat kekuatan berbeda di mata sahabatku. Desahan nafasnya tak lagi beraroma derita. Tapi keyakinan yang membawa pikirannya untuk mengenal cinta berlogika. Sesungging senyum kembali terhias di bibir mungilnya. Meski tak mudah melepas cintanya pada Kevin. Arlene pada akhirnya semakin memahami......Bahwa....

Mencintai adalah persetujuan dua pihak, jika hanya sendiri itu berarti mimpi
Mencintai bukanlah tetap menunggu saat dia meninggalkan, itu adalah pengkhianatan.

Mencintai bukanlah derasnya airmata derita karenanya, itu adalah pelecehan jiwa
Mencintai bukanlah tetap setia sementara dia bersama yang lain, itu adalah kebodohan...

Aku yakin, Arlene akan semakin menyadari dan belajar untuk mendapatkan dan mempertahan cinta sejatinya. Dan kali ini, ia akan selalu menyertakan logika dalam prosesnya.

TAMAT



(dimuat di majalah Goodhouse keeping)

Tuesday, May 16, 2017

Gifted - #MovieReview

Movie Review

Title                : Gifted
Release           : 7 April 2017 (USA)
Reviewed by   : Ria Jumriati



Satu kata pembuka untuk film "Gifted"- Keren !. Hampir tidak ada cela baik jalan cerita dan para pemeran di film ini. Misinya sangat jelas, menyadarkan orang tua tentang bagaimana meletakkan dunia anak pada tempatnya. Mengikis ego sebagai manusia dewasa dan tidak membiarkan anak tumbuh melampui usia dan emosinya. Hingga tak ada lagi kalimat "Anak anak yang terjebak di tubuh orang dewasa".atau sebaliknya.  
Mary - gadis berusia tujuh tahun dengan kemampuan matematika luar biasa, diturunkan secara genetik dari Diana - Ibu kandungnya yang meninggal bunuh diri karena stress akibat perlakuan Ibunya yang terlalu protective dan memaksa kemampuan matematikanya untuk menyelesaikan obsesi masa mudanya sebagai ahli matematika yang tak pernah terwujud.  Diana tumbuh sebagai remaja penuh tekanan, dilarang berpacaran dan orang yang di cintainya malah di tuduh penculik oleh Ibunya ketika mereka berdua tengah berlibur bersama, Diana yang frustasi akhirnya  hamil di luar nikah dengan lelaki yang sama sekali tidak terlalu di kenalnya, dan menghasilkan Mary - gadis kecil jenius yang tidak di  harapkan tumbuh seperti dirinya. Sebelum kematiannya yang tragis, Diana menitipkan Mary pada Frank - Adiknya, yang juga lebih memilih menjadi montir perahu boat di banding menjadi assistant professor seperti keinginan Ibunya. Di tangan Frank, Mary di ajarkan tumbuh menjadi selayaknya anak - anak. 
Tiba saat Mary harus memasuki dunia sekolah - Frank nekat mendaftarkannya di sekolah umum, meski sudah ditentang Roberta - Tetangga Frank yang mengasuh Mary setiap hari libur. Roberta khawatir, bakat luar biasa yang di miliki Mary akan menjadi boomerang bagi kehidupan Frank dan Mary.  Benar saja, seminggu memasuki sekolah umum, Mary mulai memperlihatkan "bakat" luar biasanya. Hingga akhirnya tercium oleh sang Nenek, yang langsung menyewa pengacara untuk mendapatkan Mary demi meneruskan obsesinya sebagai ahli matematika.  Tak ada yang menjadi pemenang dalam merebut hak asuh Mary. Hakim memutuskan untuk memberikan Mary pada orang tua asuh yang di nilai normal untuk membesarkan Mary. Namun, kelicikan Ibu Frank justru tetap memaksa Mary untuk menjadi ahli matematika serta memasung kekebasannya dengan menempatkan Mary pada sekelompok ahli matematika untuk memecahkan sejumlah algoritma rumit di sebuah faviliun rumah orang tua asuh Mary. 


Freed Kucing kesayangan Mary pun di buang Neneknya - Satu satunya mahluk hidup yang membuat Mary bisa tersenyum setelah berpisah dari pamannya - Frank yang mengetahui hal ini dari guru Mary segera menjemput Mary dan menyadarkan Ibunya tentang obsesinya yang telah memakan korban anaknya sendiri. Moment super menyentuh saat Frank meminta Mary untuk pulang dan menyadari kesalahannya telah menitipkan dirinya pada orang tua asuh meski itu adalah perintah pengadilan. Gesture keduanya begitu natural dan berkesan. Memintal emosi penonton pada satu bentuk ikatan yang sulit di lupakan. Setidaknya begitulah kesan yang saya dapat. 

 "School is gonna be fun, you're gonna meet friends you can borrow money from the rest of your life"
 "My sister wanted Mary to be a kid. She wanted friends and to be happy" #GiftedMovie


"Mary : Is there a God?
"Frank : Yeah..I don't know.
 "Mary : Roberta believe in God, How about Jesus ?"
"Frank : Well, I love that Guy"  
 😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊





Thursday, April 27, 2017

Terima Kasih Tuhan..


Sejak zaman SMP sampai sekarang ini, saya sering kali di pilih oleh beberapa sahabat saya sebagai tempat ‘curhat’mereka. Ada cerita yang biasa saja, berat bahkan tabu. Dan saya punya komitmen untuk menjaga rahasia itu bahkan kepada suami saya sendiri. Banyak hikmah yang saya dapat. Cara berpikir saya pun beberapa terevolusi dari banyak kasus dan masalah yang menimpa para sahabat saya tersebut. Utamanya rasa bersyukur, meski klise tapi memang patut di yakini bahwa kebahagiaan itu hanya bisa kita dapatkan dari mensyukuri apa yang kita miliki dan bukan mengeluhkan apa yang belum  kita punyai.


Di banyak pendapat umum, pola pikir hampir kebanyakan orang bahwa kebahagiaan adalah ketika karir gemilang dan materi berlimpah, suami atau istri setia, anak anak tumbuh sehat dan bahagia, memiliki ipar, sepupu dan keluarga besar yang saling mendukung. Saya tidak memungkiri pendapat itu. Bagi saya itu adalah kesempurnaan dan selalu ada garis tipis yang memisahkan antara makna kesempurnaan dan kebahagiaan. Dari semua cerita duka perjalanan nasib para sahabat saya, ada beberapa kesimpulan dan tentu hikmah yang bisa saya petik. Bahwa kesempurnaan tak selalu menjanjikan kebahagiaan. Tapi kebahagiaan bisa meraih kesempurnaan dalam pola rasa bersyukur kita pada kehidupan ini. Menyesuaikan pola kesempurnaan kita pada batas rasa syukur kita pada anugerah ini, secara perlahan akan membawa kita pada kebahagiaan yang memang sepadan dengan apa  yang kita butuhkan. Ibarat memilih baju atau sepatu, akan terasa enak dan nyaman di pakai ketika ukuran, model dan motifnya sesuai dengan ukuran tubuh dan selera kita. Memang selalu ada pendapat nyinyir tentang pilihan selera yang tak sesuai dengan keinginan umum, tapi jangan biarkan hidup kita berkubang di dalam ukuran sepatu orang lain. Intinya, kesempurnaan adalah kebahagiaan kecil yang bisa selaras dengan banyak lini di kehidupan kita.
 

Ada beberapa  cerita yang saya dapat dari beberapa sahabat saya, yang jelas mencerminkan pola kesempurnaan yang tak mendatangkan kebahagiaan pada mereka dan sebaliknya. Sebut saja Rasty – Cantik, karir cemerlang, anak sehat, pintar masak dan jago cari bisnis sampingan. Tapi sering tersedu sedu dan curhat mengenai suaminya yang doyan selingkuh. Sampai akhirnya ia pun tak sanggup dan memilih untuk bercerai. Lain halnya, sebut saja Agny – 12 tahun menikah dan belum di karuniai anak dengan karir dan kehidupan yang jauh dari kemewahan apalagi kaya. Toh bisa sangat berbahagia dengan banyak binatang peliharaannya yang di asuhnya bak anak kandung sendiri. Ketika saya menyarankan untuk mengadopsi seorang anak, dengan bijaksana Agny menjawab : “Binatang juga mahluk Tuhan, jika saya dan suami bisa memberikan kasih sayang tulus pada ciptaannya, Dia pasti akan memberikan anugerah lain, yang berhubungan dengan kasih sayang”. Saya terenyuh mendengarnya. Bagi saya Agni  lebih memilih cara berdoa dengan tindakan serta pembuktian tulus. Dan saya sangat merasakan aura kebahagiaan begitu menyebar indah di seluruh penjuru ruang di kediamannya. Agni telah membuat pola kesempurnaannya sesuai dengan kehidupan yang dapat membuatnya bahagia.
 

Ketika sebuah masalah bisa merefleksikan rasa bersyukur dan interospeksi diri, saya semakin merasa kaya. Tak terhitung anugerah Illahi yang telah saya dapatkan selama ini. Rumah mungil kami semakin terasa luas oleh cinta, ketulusan, kesetiaan dan komitmen yang Alhamdullilah tetap terikat kuat hingga kini, dan Insya Allah hingga ajal menyapa. Kemewahan tertinggi adalah ketika tonggak Iman semakin terbangun kuat di pondasi kehidupan kami. Menaungi, menyinari dan menghembuskan semilir hidayah pada keluarga kecil kami yang sederhana dalam pola kesempurnaan hidup yang sesuai dengan kebahagiaan yang kami inginkan.

Masalah, tentu akan selalu ada, dan itu lah seninya kehidupan. Ibarat bermain kartu, jangan pernah menyesali kartu kartu kehidupan yang sudah ada di suratan tangan kita. Tapi bagaimana cara memainkannya agar hidup terasa berwarna dalam banyak tantangan yang beraneka. 

Tuesday, March 21, 2017

LION - #MovieReview



Movie Review 

Title                         : Lion
Release date       : 25 Nov 2016 (USA)
Reviewed by       : Ria Jumriati

“Saroo” adalah nama seorang bocah berumur 5 tahun yang dalam bahasa inggris berarti “LION” (singa). Saroo hidup diperkampungan kecil dan sangat miskin ‘Ganesh Talai” yang bahkan di peta konvensional tidak tertera nama itu. Setiap hari Saroo dan Guddu – Kakak sulungnya, berpacu di atas kereta batu bara, untuk  mengambil serpihannya dan menukarnya dengan susu dan makanan. Kadang diberikan kepada Ibunya yang sangat menyayangi Saroo dan kedua anaknya.

Suatu hari, karena kantuk dan kelelahan. Saroo tidak bisa mengikuti jejak Guddu untuk mencari batu bara seperti biasa, ia pun di tinggal di bangku tunggu sebuah stasiun kereta. Ketika tersadar, Saroo mendapati dirinya seorang diri, kebingungan dan terus berlari mencari kakaknya. Saroo yang aktif, terus mencari hingga akhirnya ia menaiki kereta menuju kota Calcutta – Kereta yang pada akhirnya membawa kehidupan seorang Saroo berlabuh terlalu jauh. Selama dua bulan, hidup Saroo berada dalam berbagai macam intaian bahaya. Penculikan anak, phedophilia dan mengemis apa saja demi mengisi perut kecilnya yang selalu kelaparan. Hingga suatu hari, seorang laki laki menemukan Saroo dan membawanya ke sebuah penampungan anak di kota India.

Selama di penampungan, Saroo dan beberapa anak terlantar di ajarkan tata krama dan bahasa Inggris. Hingga akhirnya nasib mempertemukan Saroo dengan pasangan kaya dari Australia, yang begitu jatuh hati dengan penampilan dan sikap Saroo – Sue dan John Brierley, yang di perankan sangat apik oleh Nicole Kidman dan David Wenman. Sementara Saroo dewasa di mainkan dengan ekspresi agak datar oleh Dev Patel. Film yang di adaptasi dari kisah nyata ini, kurang mampu memainkan emosi penonton. Pun di ending cerita ketika akhirnya Saroo berhasil menemukan desa tempat tinggalnya, tepatnya Februari 2012 dengan bantuan google earth. Sisi emosi Saroo yang sudah berpisah selama 25 tahun dengan keluarga terutama Ibu kandungnya, terasa kurang menyengat.

Priyanka Bose – yang berperan sebagai Ibu biologis Saroo, juga turut memberi kontribusi ‘datar’ nya emosi seorang Ibu yang baru saja kedatangan anak kesayangannya yang telah hilang selama puluhan tahun.


Namun film ini tetap menarik untuk di tonton. Tetap memilliki nilai – nilai kehidupan yang tinggi. Terutama keputusan sepasang suami istri kaya raya (Sue dan John Brierley) yang meski keduanya tak memiliki masalah vertilitas dan bisa melahirkan anak kandung, namun memutuskan untuk mengadopsi anak dari kalangan tak mampu dengan alasan indah dan tulus bahwa di dunia terlalu banyak anak – anak yang menderita dan membutuhkan kasih sayang. Bahkan setahun setelah mengadopsi Saroo, keduanya juga mengadopsi Mantosh, anak lelaki yang juga berasal dari India namun dengan kelaianan mental temprament.

Kekuatan hati seorang Ibu, yang meyakini bahwa anaknya yang di amini hampir seluruh dunia telah meninggal, namun akhirnya kembali ke pangkuannya selama 25 tahun penantian. Juga menjadi pernik indah, tentang terawang dan naluri seorang Ibu yang hampir selalu benar.


- Ria Jumriati -



Monday, March 20, 2017

KARMA GETIH - Bab Lima "Poros Waktu" #Cerbung


BAB V
MISTERI POROS WAKTU
(Ria Jumriati)
Image : From Google
                        Suara jeritan kencang dan memilukan terdengar dari lantai atas rumah mewah itu. Tepatnya adalah kerajaan kecil, karena penghuninya adalah salah satu penguasa di sebagian kecil wilayah Malaysia. Seorang pembantu menemui tubuh lelaki itu terkapar parah, dengan beberapa luka tusukan didada dan perutnya. Tak pernah ada bisa mengungkap misteri kematiannya. Namun terdengar selentingan kabar. Seminggu belakangan ini salah satu anak keturunan raja itu mengalami stress berat yang entah apa penyebabnya. Ia mengaku sering didatangi mimpi buruk seseorang dari masa lalunya dan hendak membunuhnya, dan konon selalu terselamatkan karena ia terjaga. Akhirnya Yang Dipertoan Agung Nizham Abdullah, yang memang terkenal gemar mengkoleksi perempuan dari kalangan manapun, untuk kepentingan sex sesatnya, tak pernah berani lagi terpejam. Ia pun semakin tersiksa, setiap kali ia memejamkan matanya, sosok itu datang dengan sebilah keris dan siap menusuk perutnya. Para dokter dan tabib kenamaan negeri Jiran itu telah didatangi untuk menyembuhkan, tapi tak ada yang berhasil. Hingga suatu malam, ia terserang kantuk dan lelah yang luar biasa dan ditemui keesokan paginya dalam keadaan tak bernyawa dengan beberapa bekas luka tusukan dari senjata sejenis keris yang memiliki racun  mematikan. Beberapa media cetak pun ramai memberitakannya. Hingga sampai pula ke telinga Dahayu yang baru saja mengalami siuman setelah beberapa jam pingsan tanpa sebab. Dahayu dan beberapa temannya masih tinggal di pemondokan para tenaga kerja wanita yang siap di kirim ke beberapa majikan yang telah memesan. Dahayu tertegun melihat seraut wajah di koran yang tengah dibacanya ”Misteri Kematian Yang Dipertoan Agung Nizham Abdullah”. Tangannya bergetar, ia masih merasakan pegal dan ngilu diseluruh tubuh dan persendian tangannya. Ada percikan darah yang mengering di telapaknya. Dahayu semakin ketakutan. Ia berlari ke kamar kecil dan membasuh luka itu. Dicermin terpantul wajah Nuri dengan seringai puas. Dahayu kembali berlari keluar, ia pun menjerit kencang.
            ”Tolooooooooong, aku mau pulang !!!!”
Semua yang ada di penginapan itu pun ketakutan. Karena Dahayu tak sekedar berteriak, tapi berlari kesana kemari seperti orang kesurupan. Matanya mendelik keatas. Kadang menjerit kadang tertawa dan terus berlari tak tentu arah. Dari mulutnya terus keluar ocehan tak jelas, bahkan dengan bahasa yang sulit dimengerti. Hal itu terus berlanjut selama 3 hari berturut turut, Dahayu bahkan tak merasakan lapar dan haus sedikitpun. Kepala rombongan TKW pun menjadi bingung dan mau tak mau segera mengurus kepulangan Dahayu ke Indonesia secepatnya.
@@@
                        Dahayu terbaring lemah di pembaringannya. Ia baru saja terbangun dari tidur terpanjang seumur hidupnya. Tubuhnya terasa ringan, ada beban berat yang seolah baru saja terlepas. Disisi pembaringan Mbah Kijah tersenyum senang. Sementara Eyang Karso duduk bersemedi di temani asap dupa yang melengkapi kekhusyukannya dalam berdoa. Ia baru saja melakukan ruwatan pada Dahayu dengan serangkaian ritual ’pembersihan diri’ dari gangguan roh halus. Dan bisa dipastikan, Nuri tak akan datang lagi.
            ”Bagaimana Eyang ? Apa Dahayu sudah terbebas dari semua hal yang mengganggunya ?” Tanya Mbah Kijah penuh harap. Eyang Karso membuka matanya pelan, ada desahnya yang masih terdengar resah.
            ”Mata rantai karma masih belum bisa terputus seluruhnya dari kehidupan Dahayu” Tuturnya pelan.
            ”Maksudmu, cucuku masih akan didatangi roh Ibunya ?”
            ”Nuri tak akan datang lagi, dendamnya telah terlampiaskan. Lelaki itu telah mati dengan cara yang memang di inginkannya”
            ”Lalu ?”
            ”Dahayu telah menyelesaikan ”Karma Getih”nya sebagai anak Nuri. Namun ia tetap memiliki satu mata rantai ”Karma Putih” yang akan di jalaninya. Masih ada seseorang yang menunggunya pada kemisteriusan  poros waktu. Tapi..........”
            ”Tapi apa Eyang ?! Tanya Mbah Kijah ketakutan
            ”Ini bukanlah hal yang menakutkan, bahkan bisa jadi permulaan yang memberi kebahagiaan hakiki pada cucumu”
Mbah Kijah tak mau lagi bertanya lebih jauh. Ia sudah cukup tenang mendengar kalimat membahagiakan itu. Karena memang itulah harapan terdalamnya untuk Dahayu. Meski rangkaian masa depan  Dahayu masih begitu abstrak dan misterius, terbalut banyak karma. Namun nalurinya terus berkata. Suatu saat nanti, entah kapan, Dahayu akan bersanding dengan seseorang yang memiliki derajat dan hati yang sama mulianya. Entah dimana, di sinikah ? atau kembali pada kemisteriusan poros waktu yang memang masih terantai kuat di jalinan karmanya.



TAMAT
            Daftar pustaka :
  1. Mistik Kejawen karangan Suwardi Endraswara
  2. www.kasundaan.org
  3. ”Menyelami Anak Anak Punya Indra Keenam” FEMINA edisi Juli No. 26 XXXVIII – Thn 2010



Wednesday, March 15, 2017

KARMA GETIH - Bab Empat "Roh Wasilah" #Cerbung

BAB IV
ROH WASILAH
(Ria Jumriati)

Image : ekspresionlinedotcom

            Diiringi dengan lambaian tangan dan derasnya airmata Mbah Kijah. Dahayupun memulai babak baru perjalanan nasibnya. Tak ada gambaran pasti mengenai seperti apa Malaysia, kuala lumpur, serawak dan kota kota besar lainnya di negeri Jiran. Tapi Dahayu merasakan gelora semangat yang menggunduk semakin tinggi di seluruh relung jiwa, batin bahkan alam bawah sadarnya. Timbunan semangat itu pun mulai mengeluarkan buncahnya, bak gunung api yang suatu saat siap menumpahkan lava yang maha panas.  Terlebih ketika, sepasang kaki Dahayu menapak pertama kali di bumi Malaysia. Diantara kebingungan sebagai Dahayu dan Deja Vu yang terus menguasai batinnya. Gadis bermata lentik itu hanya mengikuti apa yang diperintahkan kepala rombongan para TKI asal Indonesia. Puluhan remaja putri dan belasan wanita dewasa dengan wajah lugu dan pengharapan yang sama pada sebuah cita cita untuk meraih penghidupan yang lebih baik dan layak, berbondong bondong menuju satu gerbang yang akan merubah nasib mereka yang masih samar adanya. Mengapa harus kesana ? Karena tak pernah bisa diberikan oleh pengelola bangsa ini, hingga mereka harus mengadu dan mempertaruhkan segenap jiwa raga ke negeri tetangga. Meninggalkan segenap orang yang dicintai demi sebongkah harapan yang sangat mendasar sebagai manusia. Dapat hidup layak dan terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Dan sekali lagi, semua itu terlalu mahal di negeri mereka sendiri. Semahal bahkan semustahil kata ’amanah’ yang bisa diharapkan pada penguasa negeri ini.

            Dahayu menyapu pandangannya ke sekeliling. Ia dan rombongan TKW kini telah berada di tempat penampungan sementara. Suara bising orang yang lalu lalang. Diantara hiruk pikuk, beberapa transaksi  busuk pun terjadi. Perlakuan tak sopan terhadap para TKW hingga pelecehan seksual dari beberapa oknum, terpampang jelas dimatanya. Lalu lalang setiap orang yang masing masing dibuntuti beberapa mahluk. Ada seorang Bapak yang sedari tadi di ikuti mahluk serba hitam, ketika ia akan menyebrang sebuah truk langsung menghantam tubuhnya. Mahluk serba hitam itu pun tertawa dan segera melahap rohnya. Lalu seorang bayi yang terus di dampingi perempuan cantik penuh cahaya. Bidadarikah ? Semua mahluk dari berbagai dimensi dan waktu, kini terlihat kasat di mata Dahayu. Hingga tiba tiba ia merasakan tubuhnya seringan kapas, lalu angin kencang menderu hingga mendatangkan badai. Semua orang masih sibuk berkutat dengan kegiatannya. Tapi mengapa hanya ia yang merasakan besarnya hempasan badai ? Tubuh ringannya pun semakin terbawa pusaran angin. Gelap......sunyi....Dahayu terbawa poros waktu yang menyeret jiwanya pada satu bentang kehidupan ratusan tahun lalu. Ia pun terjerembab jatuh di sebuah peraduan dengan ornamen dan nuansa keraton keningratan Kerajaan Jawa kelas tinggi. Dahayu tak lagi melihat dirinya yang dulu, pakaian kemben dan rambut tertata rapi bak putri keraton, serta lingkungan  istana yang di jaga prajurit dan para dayang dayang.

”Kanjeng Putri Dahayu Janitra!” Seru seorang dayang saat melihatnya jalan menelusuri lorong lorong keraton. Dahayu menoleh bingung. Sementara beberapa dayang lainnya pun berseru  gembira melihatnya.
            ”Putri Dahayu sudah bangun, cepat panggil Raden Mas Ganendra!” Seru seorang dayang dan tergopoh berlari menuju pendopo Istana. Tak lama beberapa orang prajurit dan seorang pria tampan dan gagah datang dengan langkah cepat.
            ”Dahayu ? Kau sudah bangun ? Syukurlah! Ujarnya sambil memeluk tubuhnya. Dahayu langsung terkoneksi dengan energi di tubuh lelaki itu. Batinnya segera saja terisi banyak potongan kisah yang akhirnya memberi pandangan jelas tentang jati dirinya kini.
            ”Raden Mas Ganendra ? Apa yang telah terjadi ?” Tanyanya bingung.
            ”Ceritanya panjang, istirahatlah dulu. Kita masih banyak waktu untuk itu” Ujarnya dengan senyum yang sangat di kenal Dahayu. Dia lah laki laki yang selama ini selalu datang di setiap mimpinya. Sosok yang selalu di rindukannya. Tapi siapa dia ? Dua jiwa di raga Dahayu masih membutuhkan waktu untuk saling menyatu. Deja Vu terus berlanjut di benaknya. Taman di pendopo, pahatan di dinding keraton, gelas antik berornamen gajah. Hampir semua yang tertangkap di matanya, serasa tak asing lagi. Ia pernah menjadi bagian dari semua ini. Bahkan Mbok Tumijah yang sedari tadi terus memandangnya dengan senyum. Ia kenal betul senyum itu, dia adalah salah satu dayang yang sering menata rambut panjangnya, memakaikan kemben dan memberi air mandinya dengan serangkaian bunga bunga segar.
            ”Hari ini,  Kerajaan akan kedatangan tamu dari negeri Pasundan. Istirahat lalu bersiaplah untuk menyambutnya. Aku ingin, kamu menjadi bagian dari perayaan besar nanti.
            ”Perayaan besar apa, Kang Mas ?
            ”Maharaja Hayam Wuruk, akan meminang Putri Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pasundan, semua telah dipersiapkan. Aku ingin kau tampil cantik nanti” Tuturnya lembut. Perlahan jiwa Dahayu menangkap satu pesan di relung rohnya. Ia memejamkan matanya sekejap. Ada beberapa kelebat bayang yang tergambar di benaknya. Seorang s pria, wajah Nuri dan.....tiba tiba dadanya sesak, saat menyeruak bayang laki laki yang menjadi target dendam Ibunya.
            ”Kenapa Dahayu ? Istirahatlah, kamu baru saja mengalami tidur panjang yang membuat khawatir banyak orang termasuk Sang Raja” Ujarnya Raden Mas Ganendra seraya memapah tubuh Dahayu menuju peraduannya.
            ”Banyak sekali sosok yang berseliweran di benakku, dan tak semuanya aku kenal. Aku seperti orang asing”
            ”Tenanglah Dahayu. Saat jiwamu tertidur, tabib yang merawatmu mengatakan, jiwamu memang tengah di pinjam ’seseorang’ untuk mengembara ke tempat lain”
            ”Tempat lain apa maksudnya, Kang Mas ?”
            ”Aku juga tidak tahu, tapi ia meyakinkan, seseorang yang datang menjemput rohmu itu, bukanlah orang lain. Ia masih memiliki pertalian batin yang kuat dengan dirimu. Dan ia yakin, kau pasti kembali dengan selamat. Karena seseorang itu pasti akan menjagamu dengan baik” Ujarnya dengan senyum.
            ”Lalu....hmmm, Kang Mas sendiri siapanya aku ?” Tanyanya ragu. Raden Mas Ganendra tersenyum dan membelai rambut Dahayu,
            ”Aku calon suamimu, kita akan segera menikah setelah Raja Hayam Wuruk dan Putri Dyah Pitaloka meresmikan ikatan pernikahan mereka. Besok adalah waktunya, dan setelahnya adalah milik kita. Maha Patih Gajah Mada tak mengizinkan aku sebagai perwira perangnya mendahului Sang Maha Raja” Tuturnya tegas.
Dahayu hanya terdiam, ia teringat mimpinya yang sering terjebak dalam perang dahsyat bersama Sang Patih Gajah Mada . Sekonyong gejolak dibatinnya pun berbuncah hebat. Beberapa bayang itu semakin memperebutkan energinya. Dahayu pun tertidur. Namun rohnya tetap terperangkap diantara dua dimensi ruang dan waktu. Malam semakin pekat. Beberapa roh, tengah bernegoisasi untuk satu tujuan tertentu yang terbalut erat ’Karma Getih” – ”Karma berdarah” yang pengaruhnya tengah merasuki segenap relung Dahayu.

@@@

            Sejak subuh seluruh penghuni Istana telah disibukan oleh persiapan untuk menyambut rombongan keluarga besar kerajaan Pasundan dan Putri Dyah Pitaloka. Menurut desas desus yang sempat di tangkap Dahayu, kedatangan Putri Dyah Pitaloka adalah untuk menyerahkan diri sebagai mempelai putri yang akan dinikahi oleh Sang Maha Raja Hayam Wuruk. Dahayu sendiri, tengah menjalani ritual ’ratus’ dengan bermandikan bunga dan rempah rempah yang konon harumnya tak akan hilang hingga hari ke-7.
            ”Raden Mas Ganendra, sangat beruntung mendapatkan Kanjeng Putri” Ujar Mbah Tumijah sambil mengguyur pelan rambutnya dengan air rempah yang menyengat wangi.
            ”Apakah wajah tampannya juga sebaik hatinya, Mbah ?” Dahayu bertanya ragu.
            ”Tentu saja, Bukankah Kanjeng Putri rela melepaskan pertunangan dengan Raden Mas Raditya Javas Nararya yang telah di jodohkan orang tua Kanjeng Putri”
            ”Apa, Raden Mas Raditya Javas Nararya ? Aku belum pernah melihatnya, Mbah. Seperti apa rupanya ?” Dahayu semakin penasaran. Sambil meneruskan pekerjaannya, Mbah Tumijah memaklumi kebingungan Dahayu. Sebagai dayang sepuh, ia mengerti betul, bagaimana reaksi seseorang yang jiwanya pernah di bawa pergi oleh ’seseorang’ dari dimensi ruang dan waktu yang berbeda.
            ”Raden Mas Ganendra memang bukan anak raja, atau memiliki keluarga yang dekat dengan lingkungan kerajaan manapun. Ia hanya anak seorang abdi dalem, tapi Raden Mas Ganendra adalah perwira perang Sang Maha Patih Gajah Mada yang sangat tangkas, jujur dan rendah hati. Kharismanya mirip Sang Maha Patih, tapi ia tak serakah dan selalu berlaku adil. Kerendahan hati itu lah yang tak di miliki Raden Mas Raditya Javas Nararya. Ia telah dibutakan oleh keangkuhan karena merasa menjadi kerabat dekat kerajaan Pasundan. Bahkan konon, kematian Ayah Ibu mu adalah karena dibunuh oleh orang suruhan Raden Mas Raditya”
            ”Ayah Ibuku, telah meninggal ? Dahayu semakin bingung ”Aku sama sekali tak bisa mengingatnya Mbah”
            ”Sudahlah, sebaiknya tak usah di ungkit lagi masalah ini. Karena bisa berbahaya terutama buat dirimu sendiri” Tukas Mbah Tumijah seraya menyelesaikan pekerjaannya.
            ”Mbah, Sebentar lagi rombongan Putri Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pasundan akan datang. Apakah dia juga ada dalam rombongan itu ??”
            Mbah Tumijah menggeleng lemah. Di benaknya ada sedikit sesal telah membocorkan rahasia itu kepada Dahayu.
            ”Berdoa saja Kanjeng Putri, Mbah sendiri tidak tahu” Ujarnya seraya berlalu.


            Iring iringan rombongan Kerajaan Pasundan telah sampai di gerbang Istana. Sementara persiapan di dalamnya pun tak kalah megah. Sang Prabu Hayam Wuruk terlihat sumigrah dengan pakaian kebesarannya. Beberapa petinggi istana telah siap dengan tugasnya masing masing untuk memberi sambutan pada kedatangan Maharaja Linggabuana dan Kanjeng Gusti Putri Dyah Pitaloka yang akan dipersunting Sang Raja. Dahayu memperhatikan sekelilingnya. Tapi ia tak menemui sosok calon suaminya. Ia pun berjalan pelan, keluar menyusuri pendopo istana hingga akhirnya menemui Raden Ganendra dan beberapa prajurit perang Maha Patih Gajah mada di Pesanggrahan Bubat, lengkap dengan senjata dan pakaian perang masing masing. Sama sekali tak terlihat senyum dan keramahan diwajah mereka, hampir semua menampakan wajah keras dan energi siap tempur. Raden Mas Garendra berdiri tepat beberapa langkah dari Sang Maha Patih Gajah Mada yang tengah berbicara serius dengan utusan Maharaja Linggabuana. Mata Dahayu terus menelusuri beberapa orang yang terlihat di hadapannya, hingga singgah pada wajah seorang laki laki yang membuat dadanya terasa terbakar tiba tiba. Ada gemuruh hebat yang serta merta menyulut keseluruhan dendam di hatinya demi melihat gambaran wajah seseorang yang menjadi target dendam Nuri selama ini. Bayang wajah Nuri dan kelebat amarahnya pun semakin menguasainya.
            ”Bunuh dia, Dahayu...Bunuh Dia !” Suara Nuri semakin jelas terdengar di benaknya. Dahayu berusaha menepi, sementara perselisihan mulai terjadi antara Maha Patih Gajah Mada dan utusan Maharaja Linggabuana. Beberapa prajurit perang Sang Patih mendadak bermunculan dari berbagai arah. Terjadilah pertempuran hebat yang tak berimbang antara pasukan dari Kerajaan Pasundan dan bala tentara Maha Patih Gajah Mada yang berjumlah ribuan. Dahayu pun menyeruak diantara perang yang tengah terjadi. Serta merta ia menghampiri Raden Mas Ganendra yang tengah berperang sengit dengan salah satu prajurit kerajaan Pasundan, yang ternyata adalah target dendam Nuri. Saat kegentingan tengah berlangsung, Dahayu pun langsung menusukkan keris tajam yang ke perut dan dada lelaki itu. Darah bercucuran, wajah laki laki itu memucat. Ia memandang Dahayu sejenak dan mendesiskan namanya. Seolah digerakkan oleh kekuatan lain, Dahayu kembali menusukkannya ke arah dadanya, hingga berakhir tragis.
            ”Dahayu, cukup Dahayu ! Dia sudah mati !” Seru Raden Mas Ganendra berusaha menenangkannya.
            ”Dia memang pantas mati ditanganmu, karena dia lah yang telah mengutus orang untuk membunuh Ayah – Ibumu” Ujar Raden Mas Ganendra seraya memapah tubuhnya.
            ”Apa ?! Jadi lelaki ini adalah Raden Mas Raditya Javas Nararya ? Bekas tunanganku ? Tapi...tapi mengapa wajahnya sama dengan....Akhhhhh!”
            ”Sama dengan siapa ?” Tanya Raden Mas Ganendra tak mengerti.
            ”Tidak, Dia pasti orang yang telah......dan aku telah membunuhnya.....Akhhhhhhhhhh, kepalaku !”
  Tiba tiba Dahayu merasakan pening yang luar biasa di kepalanya. Raden Mas Ganendra membawanya menepi. Perang masih berlangsung. Bahkan Kanjeng Gusti Putri Dyah Pitaloka ikut dalam pertempuran itu. Ia terlihat begitu agresif menyerang Patih Gajah Mada, terlebih ketika melihat Ayahnya tewas dalam pertempuaran itu. Sampai akhirnya, ia sendiri pun gugur setelah berhasil memberi luka yang sangat parah di tubuh sang Maha Patih. Perang masih berlangsung, namun pening di kepala Dahayu membuatnya semakin melayang jauh. Terdengar tawa puas berkepanjangan milik Nuri, lalu darah yang berceceran di tubuh lelaki yang telah menodainya. Suara bising, orang lalu lalang begitu cepat lalu angin kencang dan pusaran angin yang memburu tubuh Dahayu. Wajah Mbah Kijah, Eyang Karso.......Dahayu merasakan tubuhnya seringan kapas. Terlepas, terbang dan terbawa hempasan poros waktu yang begitu cepat.

(Bersambung Bab V)


Monday, March 13, 2017

KARMA GETIH - Bab Tiga "Sedulur Papat Kelima Pancer" #Cerbung

BAB III
SEDULUR PAPAT KELIMA PANCER
(Ria Jumriati)

Image from Google

Pak Abdil tersenyum girang mendengar penuturan Mbah Kijah yang telah menyetujui keberangkatan cucunya untuk di bawa ke Malaysia. Berkali kali ia meyakinkan Mbah Kijah, bahwa Dahayu akan ditempatkan pada majikan yang baik dan dijamin tidak akan bernasib sama seperti Lastri dan Hanum. Meski janji itu sama juga diucapakan pada orang orang yang pulang dengan petaka luar biasa yang kurang lebih sama.
            “Ndak usah khawatir Mbah, Dahayu pasti akan selamat. Doa kan saja”
            “Dia milikku satu satunya Pak, jadi tolong jangan berikan pada orang yang salah. Kamu toh pasti sudah tahu apa yang menimpa almarhum Ibu
nya. Aku tidak mau kehilangan cucuku tersayangku dengan cara itu lagi”
            “Tuhan itu adil Mbah, mosok sih Gusti Allah sampe tega sama nasib sampean”
Mbah Kijah hanya mengangguk kecil. Sementara Dahayu masih berada di ambang kebimbangan sebagai sosok Dahayu yang sesungguhnya dan dibawah pengaruh arwah Ibunya yang kini berpindah lekatnya dari Mbah Kijah menuju dirinya. Bedanya,Mbah Kijah kerap menolak ruh Nuri yang jika ia mau jujur, sudah tak terhitung cara ia mengatasinya, sayangnya ia tak bisa menghalangi keinginan kuat Nuri untuk menyambangi anaknya. Hingga kian hari banyak hal aneh yang dirasakan Dahayu kini. Saat ia berbicara, berjalan, bahkan berkaca. Dahayu seolah selalu melihat sosok lain yang membayangi. Namun ia tak bisa mengungkapkannya secara lisan. Entahlah, hanya terkadang ia merasa kepalanya mendadak berat dan pusing. Ketika jatuh tertidur, ia seakan dibawa kesuatu jalan, tempat dan sebuah rumah megah yang seperti pernah ditinggali sebelumnya. Lalu senyum seringai seorang lelaki yang wajahnya tak asing lagi. Lalu ada kemarahan yang tak bisa dibendungnya, hingga Dahayu selalu terbangun dalam mimpi buruk dengan nafas terengah ketakutan. Sebenarnya mimpi didatangi almarhum Nuri, bukan hal yang baru di hidup Dahayu. Tapi Mimpi yang melewati ambang batas sadarnya dan bukan lagi sekedar bunga tidur, makin sering dialaminya kini. Makin dekat hari keberangkatannya ke negeri Jiran, makin kuat pula tekad pada suatu niatan yang tak bisa di artikan Dahayu secara gamblang. Bahkan ia seolah terlupa bahwa tujuan utamanya ke Malaysia adalah menjadi TKW.
            ”Dua hari lagi kamu sudah harus berangkat Nduk ” Bisik Mbah Kijah di sisi  Dahayu sambil mengelus rambut sebahu cucu kesayangannya.
            ”Aku tidak akan lama Mbah dan uang hasil dari kalung Ibuku pasti cukup untuk Mbah makan sehari hari sampai aku mengirimi dari gajiku bekerja disana nanti. Lagi pula Mbah juga tak perlu jualan sayur keliling lagi kan, wong jualan dirumah juga sudah laku kok” Sahut Dahayu meyakinkan dan memeluk tubuh tua neneknya. Satu satunya tubuh yang ia kenal sejak lahir dan memberinya kehangatan dan ketenangan yang tak tergantikan.
            ”Bukan itu yang Mbah khawatirkan” Mata Mbah Kijah kembali berkaca dengan tatapan sedih menerawang.
            ”Percayalah Mbah, nasibku tidak akan seburuk Hanum dan Lasmi...apalagi Ibuku”
            ”Bukan Nduk.....Bukan itu !” Tiba tiba Mbah Kijah menangis sesegukan. Dahayu segera merangkul tubuh Mbah Kijah yang terguncang tangis.
            ”Aku akan selamat Mbah...percayalah!
            ”Ibumu....arwah Ibumu, Nduk! Itu yang Mbah takutkan”
Mendengar itu, Dahayu hanya menghela nafas panjang. Bongkahan berat itu semakin terasa menindih batinnya.
            ”Tiga hari yang lalu bertepatan 35 hari setelah weton hari kelahiranmu, Mbah mendatangi Eyang Karso”
            ”Eyang Karso ? Yang tinggal di atas gunung itu ? Mbah bisa sampai ke sana  sendirian ? Untuk apa sih Mbah ?”
            ”Mbah memintanya untuk melakukan ruwat atas dirimu agar terbebas dari ruh almarhum Ibumu, dan yang lainnya tapi........”
            ”Tapi apa Mbah ? Aku tidak takut dengan ruh Ibuku...malah aku ingin sekali ia datang dalam wujud apapun, aku tidak takut...aku bahkan sangat merindukannya”
            ”Nduk, Ibu ternyata masih terombang ambing antara alam nyata dan ghaib. Ia akan terus ada di setiap langkahmu sampai niatan dendamnya tercapai. Padahal sudah banyak doa yang Mbah kirimkan agar Ibumu tenang di alam sana, tapi  ia selalu saja hadir dan meminta Mbah untuk mewujudkan dendamnya. Tapi Mbah selalu menolak, dan kini ia telah ada di dirimu Nduk. Hal  itu tak mungkin bisa kau tolak karena sebelum ia meninggal, ternyata sebagian ari ari mu yang terpotong telah di makannya. Alasan itu lah yang membuat Eyang Karso kesulitan melepaskan ruh Nuri dari dirimu. Dan.....Mbah sangat takut...takut sekali terjadi hal buruk pada dirimu Nduk” Tutur Mbah Kijah semakin sesegukan.
            ”Aku tidak akan mengorbankan Dahayu !” Tiba tiba sosok Dahayu berdiri tegap dengan kilatan amarah di matanya. Mbah Kijah tersentak kaget, tapi hanya sebentar. Ia tak takut, ini bukan pertama kalinya roh Nuri merasuki seseorang bahkan benda benda di dalam rumah. Dulu ketika Dahayu bayi, arwah Nuri bahkan pernah berwujud bakul sayurannya, bantal guling  bahkan daun jendela yang terhempas keras berkali kali.
            ”Kembalilah kepada Gusti Allah Nduk....biarkan anakmu tenang . Jangan bebani ia dengan dendammu yang terlalu berat untuk di pikulnya ” Pinta Mbah Kijah seraya tertunduk. Ia tak berani menatap langsung mata itu karena setiap kali ia menatapnya, maka keesokan harinya ia akan jatuh sakit hingga tiga hari lamanya, dan tak akan sembuh sebelum memasuki hari ketiga. Meski Nuri darah dagingnya sendiri, namun  perbedaan alam tetap saja membuatnya gemetar.
            ”Dahayu akan kuat dan menang.....Ia akan pergi mewujudkan dendamku!”
Setelah itu Dahayu pun roboh dengan tubuh lunglai. Matanya menerawang kosong. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
            ”Ibu datang lagi Mbah ?” Tanyanya lemah. Mbah Kijah tak sanggup menjawab. Perasaannya semakin teriris pedih melihat penderitaan cucunya. Segera di ambilnya daun sirih yang  di rendam dalam air dingin, lalu di semburkan ke wajah cucunya bersamaan serangkaian doa dalam bahasa kejawen. Hingga Dahayupun tertidur nyenyak.
            Pagi sekali Mbah Kijah sudah terjaga, karena sejak malam memang matanya tidak bisa terpejam sama sekali. Ia sengaja meninggalkan Dahayu yang masih tertidur. Setelah berkemas ia pun berjalan melewati jalan setapak desa, titian sawah hingga akhirnya bertemu dengan Pak Turno – Supir delman di desa tetangga.
            ”Mau kemana Mbah, masih pagi kok sudah jalan jalan ?”
            ”Anter aku ke desa Welas di atas gunung sana ya ?”
            ”Oalaaaa Mbah...ada keperluan opo toh di atas gunung sana?” 
            ”Akh sudah lah, jangan banyak tanya” Timpal Mbah Kijah mengalihkan keingin tahuan Pak Turno. Semalamam ia memang sudah merencanakan untuk menemui Eyang Karso kembali – Guru spiritual peganut paham Kejawen yang tahu betul permasalahan hidupnya. Tak banyak memang orang desa yang masih memegang kepercayaan yang terbalut kental kebudayaan, tradisi sekaligus mistis itu. Namun ia terlanjur mengimaninya dan mempercayai banyak simbol sebagai perantara bagi keyakinan yang dianutnya. Di pagi buta ini pun Ia telah mempersiapkan beberapa sesajen untuk tujuan tertentu yang akan di bicarakannya pada Eyang Karso.

            ”Tadi malam, Nuri datang lagi ?”Tanya Eyang Karso seolah memiliki indra keenam atas kejadian yang menimpa Mbah Kijah dan Dahayu. Mbah Kijah hanya terduduk sedih di hadapan. Suasana di atas gunung yang dingin serta suara angin yang mendesahkan kemistisan tersendiri semakin membuat bulu kuduk berdiri, apalagi dilengkapi dengan wangi wangian bunga sesajen yang di bawa oleh Mbah Kijah yang merupakan  penganut paham kejawen yang sangat taat. Ia patuh pada keseimbangan, pada simbol simbol kehidupan yang telah ditentukan oleh Gusti Ingkang  Maha Kuaso. Mbah Kijah tak pernah meninggalkan ritual ritual suci yang telah ajarkan pendahulunya. Peristiwa pedih yang terjadi pada diri anaknya, telah lama di pahaminya sebagai karma atas ketidak seimbangan yang mungkin dulu pernah dilakukan dirinya atau suaminya bahkan leluhur penduhulunya, entahlah. Meski kadang terbantahkan oleh logika dan akal sehat, namun Mbah Kijah telah terlanjur terdoktrin untuk menjalani kehidupannya pada rel kepercayaan yang di yakininya bisa membawanya  mencapai tujuan hakiki kehidupan selanjutnya yang bersih dari segala karma duniawi. Agar dalam penghidupannya ia senantiasa selalu bisa mengamalkan kebersihan hati agar tercapai harmonisasi antara ia sebagai Kawulo dan Gusti Hyang Sukma.
            ”Kedatanganku kemari, karena aku makin bingung Eyang, semakin dekat Dahayu berangkat ke Malaysia justru rohnya semakin sering  menggentayangi Dahayu, aku takut cucuku tidak sekuat aku menerima ini”
            ”Dahayu sama sekali tidak lemah, justru terlalu kuat”
            ”Maksud koe opo toh Eyang ?” Tanya Mbah Kijah khawatir
            ”Beberapa ritual ruwatan pernah aku lakukan untuk membawa Dahayu keluar dari pengaruh gaib yang melingkari jiwa nya sejak lahir. Tapi kenyatanya terlalu sulit” Ujar Eyang Karso seraya berdiri menghadap jendela ruang tengah yang langsung memaparkan hamparan hutan basah yang luas.
            ”Tolonglah cucuku Eyang, aku hanya ingin ia hidup normal dan tidak diganggu oleh mahluk halus manapun, termasuk arwah Ibunya !”
            ”Jiwa Nuri terlalu sakit dan menderita hingga sulit menyatu dengan alam kematian yang sebenarnya. Ia akan terus membayangi Dahayu bahkan menjadi bagian dari jiwanya, terlebih Dahayu memang memiliki energi yang mudah menyatu dengan roh Ibunya. Aku bisa membantu namun ikatan batin antara Nuri dengan Dahayu sangat kuat, dan tak ada hubungan yang begitu kuat di dunia ini selain antara Ibu dan anak. Ditambah adi ari ari Dahayu yang telah di makannya sebelum wafat dan terus dipelihara Nuri untuk menuntut dendam kesumatnya itu”
            ”Maksud Eyang, apakah Dahayu akan bernasib sama dengan Ibunya ? Oooohhhh, Gusti..aku lebih baik mati lebih dulu jika harus menerima takdir buruk itu lagi ! Tolong aku Eyang ” Tutur Mbah Kijah dengan tangis tertahan. Eyang Karso menghampiri wanita tua itu. Di ambilnya beberapa tangkai bunga sesajen yang dibawanya. Lalu memperhatikan dengan seksama. Matanya yang tajam dengan sorotan mistis seolah tengah menerawang sesuatu lewat kembang sesajen berwarna merah darah itu.
            ”Tidak seburuk itu Mbah. Karena sejak lahir salah satu ”Sedulur Papat Kelima Pancer1” akan selalumenjadi penjaganya,  tapi juga bisa merubahnya menjadi seseorang........seseorang yang.....” Kalimat Eyang Karso terhenti
dengan mata terpicing. Tiba tiba ia berteriak pelan. Ada darah segar mengalir dari bunga sesajen  yang di pegangnya. Mbah Kijah ikut terkejut. Bunga itu terjatuh dilantai kayu rumah panggung Eyang Karso. Keduanya menatap bunga itu tak percaya. Darah segar masih mengalir di tengah kelopaknya. Mbah Kijah tak berani menuntut penjelasan rinci demi melihat Eyang Karso yang langsung terduduk dengan posisi semedi dan mata terpejam rapat, sementara dadanya seolah tengah menghimpun energi mistis di sekitarnya. Mbah Kijah pun, melakukan hal yang sama dan spontan mengikuti ritual menyatu dengan alam roh yang tengah di masuki Eyang Karso.
Dalam kepekatan ruang dan waktu, arah yang tak tentu dan bayang bayang serba hitam serta suara suara tak jelas antara rintihan, tangis bahkan tawa bergema danderita. Eyang Karso berusaha memasuki kegetiran alam roh yang di huni Nuri. Ada kelebat bayang Mbah Kijah yang berusaha mengikuti, namun Eyang Karso segera memberi isyarat.
            ”Jangan Mbah Kijah, hal ini masih terlalu berat untuk dirimu” Begitu suara batin yang di tujukan pada Mbah Kijah dan langsung dimengerti olehnya. Ritual seperti ini, sudah sering dilakukannya bersama Eyang Karso yang telah memiliki ’ngelmu2hampir sempurna . Dan Mbah Kijah akan sangat paham dengan semua itu. Tak mudah mencapai penghayatan ngelmu seperti Eyang Karso. Terkadang ada hal special yang dimiliki Eyang Karso namun tak pernah dipelajarinya atau bisa diajarkan kepada pengikutnya. Karena beberapa diantaranya adalah warisan dari sang leluhur yang telah memilihnya. Mbah Kijah pun menuruti meski ada jiwa anaknya yang masih kesakitan dan terperangkap di dunia arwah gentayangan.
Eyang Karso masih berusaha menghimpun energi dan menciptakan komunikasi telepati dengan memanggil arwah Nuri. Wajahnya yang tenang mendadak bergetar dan memerah. Jari jemarinya mengepal dalam getaran seolah tengah mempertahan sesuatu dengan sangat kuatnya agar tak terlepas. Mbah Kijah pun membantu dengan membakar dupa sesajen yang dibawanya. Hal ini konon dipercaya bisa menghantar doa ke alam arwah. Dan ritual ini memang cukup membantu, Eyang Karso perlahan terlihat tenang namun bibirnya mulai mendesiskan sesuatu dalam bahasa Jawa kuno, pertanda komunikasi telepati dengan sang arwah telah terjadi.  Beberapa menit berselang, ia pun tersadar. Mbah Kijah langsung memberinya segelas air putih dan memintanya untuk segera membasuh wajahnya dengan genangan air kembang yang telah disiapkan dalam krendengan sesajennya.  
            ”Apa yang telah terjadi Eyang ? Dapat kah ia membebaskan cucu semata wayangku ?” Tanya Mbah Kijah penasaran. Eyang Karso mendesah pelan dengan tatapan kosong.
            ”Nuri terlalu sakit, terlalu menderita. Apa yang telah dilakukan laki laki itu sangat menyakitkan dan hanya menyisakan  jejak jejak darah di jiwanya yang marah dan terluka. Aku bahkan menjadi tak berdaya demi menyelami deritanya.....ehhh, kasihan sekali nasibmu, Nduk” Desah Eyang Karso seolah mengerti derita dan dendam Nuri.
            ”Lalu, bagaimana nasib Dahayu jika ia ternyata tidak kuat menahan semua beban dendam itu, Eyang? Aku tak mau kehilangannya !
            ”Tenanglah Mbah, aku yakin Dahayu akan mendapat perlindungan dari Gusti Allah. Yakinlah, doa doamu akan menghalau semua kemalangan dan angkara murka bagi Dahayu” Eyang Karso berusaha meyakinkan kegalauan Mbah Kijah. Namun di mata tua itu ada tersirat sebersit harapan. Ia memang yakin, doa bisa menyelamatkan segalanya. Karena terus berdoa maka ia masih bisa kuat bertahan di antara derasnya arus derita di kehidupannya. Doa, bagi Mbah Kijah tak sekedar kandil kemerlap di keremangan hidupnya, bahkan telah menjadi tiang maha kokoh diantara kerapuhan yang melingkupi kegetiran nasibnya. Dengan cara, kepercayaan dan keimanan dalam bentuk yang sangat ia yakini bisa membawa pintanya pada kejernihan jawaban suara Hyang Sukma atas segala pinta dan pengharapannya.
            ”Sebenarnya ada hal lain lagi yang semakin membuatku khawatir Eyang” Tutur Mbah Kijah semakin galau. Eyang Karso menyimak serius.
            ”Koe kan sudah tahu kalau Dahayu itu bisa berbicara dengan mahluk halus. Bahkan sedari kecil ia pernah beberapa kali menghilang, yang menurut sampean di ’pinjam’ oleh leluhurnya. Yaa...seperti yang sering aku kuceritakan. Kedatangan nenek berambut putih, bercakap cakap dengan mahluk halus dan meramal dengan tepat kematian Pak Bagio yang sakit keras. Untungnya, tak ada orang desa yang tahu kelebihannya tersebut”
            ”Dahayu merupakan titisan, dan itu takdir yang terlalu sulit untuk kau ubah Kijah” Timpal Eyang Karso tenang
            ”Tapi Eyang...mengapa harus Dahayu ?”
            ”Karena dalam tubuhnya mengalir darah keturunan seorang Raja, ada mata rantai karma yang harus di selesaikannya. Hal itu yang harus kau mengerti Kijah” Tutur Eyang Karso seraya menatap wajah pucat Mbah Kijah.
            ”Keturunan Raja ? Mana mungkin Eyang, sejak dulu sampean sudah tahu siapa keluarga kami. Orang miskin seperti kami mana mungkin memiliki darah biru”
            ”Kau sadari atau tidak,  yang pasti Dahayu memiliki darah, aura dan roh leluhurnya yang agung”
            ”Apa...apa memang benar yang dikatakan Nuri bahwa  lelaki yang telah menghancurkan hidupnya itu adalah benar keturunan Raja ? Orang biadab seperti itu ? Tidak mungkin !” Sangkalnya tak percaya.
            ”Pada dasarnya, kesucian serta kesakralan keturunan para Raja  yang memang benar benar suci dan luhur harus tetap dijaga sampai kapanpun. Dan, jika ada salah satu keturunannya yang menodai kesucian dan kesakralan itu, maka akan diutus satu orang keturunan berikutnya untuk membersihkannya dan memutus mata rantai yang pernah ternoda itu dengan cara apapun”
            ”Aku bingung Eyang. Aku benar benar bingung!”
            ”Pasrahkan saja semuanya pada Gusti Allah. Jangan pernah paksakan keinginanmu untuk merubah Dahayu tumbuh layaknya gadis normal. Sejak lahir, ia memang telah memiliki perbedaan itu. Ia memiliki tugas dari leluhurnya yang harus di selesaikan”
            ”Lalu apa kaitannya dengan arwah Nuri yang juga sering mendatanginya ?” Eyang Karso mendesah pelan. Matanya menerawang kesekeliling ruang. Ia langsung merasakan ada roh lain yang duduk bersamanya kini.
            ”Itulah yang kumaksud, bahwa Dahayu terlalu kuat. Ia mengemban tugas dan dendam yang di wariskan dari Ibu kandung yang juga memiliki pertalian kuat dengan Ki Kusumacitra, serta leluhur suci yang mengalir deras di aliran darah serta denyut nadinya”
            ”Ki Kusumacitra ? Bagaimana mungkin Eyang ? Keturunan kami tidak setinggi itu!”
            ”Sewaktu Lasirun masih hidup, aku pernah mengatakan ini padanya. Tapi ia terus melakukan penolakan dan tak pernah percaya akan hal itu. Aku tidak memaksa, tapi Lasirun dan keturunannya juga tidak bisa memungkiri takdir yang ada”

            ”Semenjak Dahayu mendapat menstruasi, ia memang tak lagi sering didatangi mahluk mahluk menyeramkan. Tapi....tapi...seorang pangerang tampan yang menurut pengakuannya adalah salah satu prajurit Patih Gajah Mada. Aku lupa namanya....Emmm...sopo sih yaa?” Mbah Kijah berusaha mengingat nama yang pernah di desiskan Dahayu saat tengah meracau dalam mimpinya.
            ”Raden Mas Ganendra” Ujar Eyang Karso.  
            ”Iya, betul ! nama itu yang sering di desiskan Dahayu, Koe....Koe  bisa tahu ?”
Eyang Karso menghela nafas berat. Matanya terpicing seolah memikirkan sesuatu. Ia mencoba menerawang lebih jauh lagi. Dan ia melihat sesuatu hal besar dan tak biasa akan segera di alami Dahayu.
            ”Besok pagi sekali, bawa lah Dahayu kemari. Aku akan kembali melakukan serangkaian ’ruwatan’ lengkap untuknya” Ujar Eyang Karso tegas. Mbah Kijah hanya menggangguk dengan tatapan yang berharap mendapatkan penjelasan rinci tentang siapakah Raden Mas Ganendra tersebut. Tapi Eyang Karso langsung terduduk dalam posisi semedi. Melihat hal tersebut Mbah Kijah pun langsung mengerti, pria tua sakti itu tengah merambah ilmu untuk tujuan tertentu. Ia pun beringsut pamit.
            ”Terima kasih, Eyang. Saya pamit dulu”
            ”Siapkanlah beberapa perlengkapan yang sesuai dengan weton kelahiran Dahayu, apa yang harus dipantang dan apa yang harus dipakai. Koe pasti sudah tahu, bawa semua besok pagi sebelum fajar” Ujarnya dengan mata tetap terpejam.
Mbah Kijah hanya mengangguk lemah sambil menyeka air matanya pelan dan bangkit . Lelaki berjanggut putih itu masih dalam posisi semedi dengan mata rapat terpejam. Dalam terawang batinnya, banyak sekali hal yang yang diluar kemampuan keilmuannya. Ia pun langsung  melakukan ’olah kanuragan’, salah satu instrumen supranatural dalam praktek ke ilmuan yang di yakininya.  Jauh sebelum Dahayu lahir, ia memang sudah meramalkan, bahwa Mbah Kijah akan memiliki keturunan yang masih memiliki pertalian kuat dengan leluhur para bangsawan Jawa masa lalu. Bahkan jauh sebelum Nuri lahir ia selalu menyuruh Mbah Kijah dan almarhum suaminya untuk sering melakukan ritual ’slametan’ yang sangat di percaya oleh penganut kepercayaan kejawen sebagai jalan lurus menuju Tuhan. Namun karena ada benturan keyakinan antara Mbah Kijah dan suaminya, maka tak semua ritual mistik dalam kepercayaan Mbah Kijah yang diamalkan dengan tulus. Meski Mbah Lasirun tetap menjalankan beberapa ritual Kejawen yang erat dan tersamar dalam bingkai budaya Jawa namun sangat lentur dan akomodatif bagi dirinya yang memegang teguh rukun Islam.
Sore itu, Mbah Kijah pun pulang dengan perasaan nelangsa namun tetap dengan keyakinan yang diberikan oleh Eyang Karso. Naluri keibuannya memang telah mengisyaratkan hal tersebut. Dahayu akan selamat dimana pun ia berada selama doa tetap terpanjat untuknya. Meski kekhawatiran akan kehilangan Dahayu atau hal hal lain yang membuatnya menderita terus saja membayangi segenap langkah hidupnya. Itu tak terpungkiri, terlebih tinggal tersisa 3 hari lagi menjelang keberangkatan Dahayu ke Malaysia. Banyak hal yang harus di persiapkan, terutama ketegaran dan keikhalasan hatinya.
            Kelelahan Mbah Kijah disambut oleh senyum manis cucunya.
            "Si Mbah dari mana sih ? Kok lama sekali" Tanyanya dengan suara manja. Mbah Kijah hanya tersenyum kecil sambil mengelus rambut sebahu Dahayu. Rambut legam dengan aroma khas yang selalu membawanya pada masa lalu, dan rasa sakit atas kehilangan menyakitkan yang mengikutinya.
            "Dari tempat Eyang Karso, Nduk"
            "Yang diatas gunung itu ? Tanyanya dengan mata membulat "Untuk apa Mbah kesana lagi ? sudah jauh, serem dan selalu membuat Mbah jadi sangat lelah" Ujar Dahayu sambil menyodorkan segelas teh manis hangat.
            "Banyak yang harus Mbah dan Eyang Karso persiapkan untuk mu, Nduk"
Mendengar itu, Dahayu menghela nafas panjang sambil memeluk neneknya.
            "Mbah, tak perlu khawatir. Aku akan baik baik saja disana, percayalah Mbah"
            "Mbah tidak mau hal buruk itu terjadi lagi" Timpalnya mulai sedih.
            "Tidak akan Mbah, aku yakin akan selalu mendapat perlindungan Gusti Allah"
            "Tentu Nduk, Mbah akan selalu berdoa untukmu"
            "Lalu apa lagi yang Mbah takutkan ?"
            "Besok, pagi pagi sekali Mbah akan membawamu ketempat Eyang Karso untuk menjalani ruwatan lengkap"
            Ada protes di mata Dahayu, namun urung demi melihat kesedihan dimata neneknya.
            "Bukankah waktu itu aku sudah pernah di ruwat, Mbah ?"
            "Koe belum terlalu kuat, Nduk. Ini demi keselamatanmu"
            "Baiklah, Mbah" Ujar Dahayu akhirnya. Meski ada pertentangan kecil di hatinya. Karena proses ruwatan selalu menghadirkan 2 energi yang berusaha menyeruak di tubuhnya, tentu saja tak enak. Tubuh yang terasa sangat berat dan  pusing yang hebat. Ada hal yang tak bisa dijelaskan secara logika dan akal sehat. Namun nyata dirasakannya. Seolah ada kekuatan lain yang berusaha menyatu di sanubari dan semakin mempertajam nalurinya. Apalagi setelahnya,  ia, Mbah Kijah dan Eyang karso serta beberapa pengikut di paguyubannya melakukan serangkaian ziarah  ke makam para leluhur sambil melakukan semedi di atas makam tersebut. Konsentrasi batin tinggi yang dilakukan Eyang Karso, Mbah Kijah dan beberapa pengikutnya selalu menghadirkan pemandangan mistis yang memaksa Dahayu untuk lebur bersamanya.  Seperti kemampuan berkomunikasi dengan roh para leluhur lewat pembacaan kidung kidung tertentu dalam bahasa Jawa Krama untuk memanggil roh para leluhur, yang nyata selalu hadir lewat desiran angin yang tak biasa, atau padamnya lampu secara tiba tiba. Namun kedatangannya sangat diharapkan dalam setiap ritual mistik kejawen yang dipercaya bisa memberi wangsit atau tanda tanda gaib. Tak jarang Dahayu mengalami penolakan alami disisi lain batinnya. Selalu ada pergolakan emosi yang tak pernah bisa di mengerti oleh keluguannya. Namun doktrin kejawen yang telah di tanamkan Mbah Kijah sejak kecil selalu mempermudah hal tersebut. Bahwa, ada jarak kedekatan manusia dengan Tuhan yang bisa sangat dicapai dengan konsentrasi batin yang tinggi.  Perlahan Dahayu harus menerima bahwa hal hal mistik yang diturunkan untuknya, telah menjadi satu paket tindakan luhur dalam sebuah laku spiritual Jawa yang dilandasi oleh cinta dan pengalaman nyata.
            Sejak bayi hingga menjelang tujuh belas tahun umurnya. Dahayu telah akrab dengan segala ritual dan benda benda yang di keramatkan dalam kepercayaan yang dianut neneknya. Bahkan konon, leluhur Mbah Kijah masih memiliki pertalian darah dan batin dengan Ki Kusumacitra, yang ajarannya termaktub dalam Kawruh Kasunyatan Gaib dalam kepercayaan mistik kejawen. Tak heran, Eyang Karso yang merupakan pendiri salah satu paguyuban kejawen,  yang memegang teguh buku ajaran beliau yaitu ”Kusuma Gusti” dan ”Wigati”. Seolah mempunyai tanggung jawab moral yang sangat tinggi dalam menjaga keturunannya. Lewat laku penyucian batin, Eyang Karso kerap melakukan ”Tapa Brata”  seperti mutih, yaitu hanya makan nasi putih tanpa garam dan lauk pauk. Tujuannya untuk mensucikan batin agar mudah menerima wangsit atau petunjuk dari roh para leluhur.
            Ada hal yang merupakan mata rantai yang membuat Nuri mengalami nasib buruk seperti itu, ada karma yang harus dibayar Nuri sebagai akibat dari ketidak patuhan dan pelanggaran yang di lakukan oleh pendahulunya. Eyang Karso telah lama merasakan hal itu, namun ia tak bisa menuntut pengakuan jujur dari Mbah Kijah. Ia telah mendapat titah berupa wangsit yang diterima melalui beberapa semedinya. Bahwa, ia lah dan Dahayu yang harus memutus mata rantai karma itu.
            Dan di pagi buta, sebelum ayam berkokok dan diselimuti ketebalan kabut dan udara dingin. Dahayu pun merelakan tubuhnya di guyur air kembang di tengah pepohonan raksasa yang mirip hutan basah dan sulit dijamah manusia. Tak banyak orang yang tinggal disana, hanya beberapa saja yang rata rata memiliki ciri yang sama  memancarkan aura mistis yang sangat kental lewat tatapan mata mereka. Ditambah perjalanan yang serba terjal, licin, mendaki dan tanpa tertera tanda penunjuk jalan yang pasti. Memang agak tak masuk diakal, jika Mbah Kijah bisa dengan mudahnya menuju kesana. Karena pernah ada beberapa team ekspedisi dari Jakarta yang berusaha mengexplore daerah tersebut. Dan selalu gagal mencapai kesana. Bahkan tersesat tak tentu arah dan kembali di titik mereka memulai perjalanan. Meski mereka telah cukup dibekali oleh berbagai macam teknologi canggih penunjuk jalan. Namun tak pernah bisa terdeteksi bahkan oleh  peta secanggih google earth dan provider map lainnya.

(Bersambung BAB IV - "Roh Wasilah")





2 Ngelmu : Pengertian ilmu dalam kepercayaan kejawen yang bersifat supranatural dan biasanya di dapatkan dari indra ke-6 atau melalui laku batin seperti semedi, telepati dan ngraga sukma


1 Sedulur Papat Kalima Pancer : Kepercayaan budaya Jawa bahwa setiap bayi yang lahir memiliki 4 saudara kembar yang tidak terlihat dan menetap didunia pararel yang berbeda