Sperma Buat Ratri
Oleh : Ria Jumriati
Dokter muda itu memandang wajah Ratri penuh tanya. Berkali-kali dibacanya medical record pasiennya itu. Terdengar desahan panjangnya.
“Apa yang membuat Nona mengambil keputusan ini ?” selidiknya. Ratri mengangkat wajahnya tegang.
“Tidak ada. Saya cuma mau punya anak, dan itu bukan tindakan yang melanggar hukum kan Dok ? Ada kesan tersinggung di irama suara Ratri. Sejenak Bimo pun tersenyum mencairkan suasana.
“Memang tidak melanggar hukum, tapi menjalani inseminasi buatan dengan cara injeksi sperma dari donor bank sperma adalah hal yang patut saya pertanyakan untuk orang seperti Nona. Berstatus single dengan usia yang masih terbilang muda“
“Sekali lagi saya tegaskan, Dok. Tidak ada alasan apapun kecuali kehadiran seorang anak di kehidupan saya. Dan saya merasa tak perlu memberikan alasan detail mengenai hal lainnya. Toh, saya membutuhkan dokter hanya sebagai orang yang tepat untuk prosedur dan tindakan medis yang diharuskan untuk hal ini” Jelasnya masih tegang. Sekali lagi dokter muda itu hanya tersenyum.
“Ok, Nona Ratri. Saya hargai apapun keputusan anda. Selamat menjadi Ibu semoga usahamu ini tidak menemui halangan yang berarti” Ujar Bimo akhirnya, seraya memberikan surat referensi pada Ratri untuk menjalani serangkaian test.
Ratri tersenyum gembira membuka 1 set dokumen yang baru saja diterimanya dari New England Cryogenic Center, salah satu Bank Sperma terbesar di Inggris. Ratri memang sejak satu tahun lalu mengantri sebagai penerima donor dari jenis sperma yang di inginkannya. Serta merta ia tertegun melihat detail riwayat hidup ayah calon bayinya kelak. Ia bernama James Wilson. Dari fotonya cukup tampan dengan catatan kesehatan keluarga untuk 3 generasi, resume, nilai akademis dan tingkatan nilai rata-rata serta tiga lembar pertanyaan mengenai tujuan hidup, hobi, film dan T.V favorite, warna kesukaan bahkan rasa es krim yang disukai. Semua lengkap. Meski menurut salah satu staff di bank sperma tersebut bahwa kecerdasan dan figure kekuasaan adalah faktor terbanyak yang dicari oleh para pembeli, namun pada saat wawancara lalu Ratri tidak terlalu mengharuskan type sperma yang diinginkannya harus spesifik seperti itu, atau sejenis sperma Brad Pitt dan Matt Damon yang katanya sudah jaminan berkwalitas tinggi hingga tak perlu lagi kartu garansi. Saat itu Ratri malah terbahak spontan. Brad Pitt ? Matt Damon ? Toh mereka tetap saja manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan. Lagi pula setiap manusia yang lahir tetap saja membawa masing-masing 23 kromosom sumbangan dari Ayah –Ibunya, jadi buat apa bersikukuh mendapatkan sperma dari orang-orang jempolan itu. Kwalitas manusia pada akhirnya tak hanya bisa dipatok dari sperma yang di semayamkan pada sebuah indung telur, tetap saja peran pendidikan dan pola asuh menjadi sumbangan terbesar bagi terbentuknya manusia yang baik pada umumnya. Lagi pula buat apa berwajah Brad Pitt tapi bermoral sandal jepit.
Ratri merebahkan tubuhnya di pembaringan. Di benaknya tiba-tiba berseliweran wajah orang-orang yang tak sepaham dengan keputusannya itu. Ada wajah Ibunya, memang wajah perempuan itulah yang paling dominan mempengaruhi jiwa Ratri.
“Mengapa kamu melakukan ini, Ratri ? Itu haram hukumnya, karena sperma itu bukan berasal dari suamimu, sama saja berzina!” Protes Ibunya keras, saat Ratri semakin terang-terangan menjalankan niat kontroversinya itu.
“Tentu saja beda dengan berzina, Bu. Toh aku tidak melakukan hubungan biologis dengan laki-laki pendonor itu. Dosa itu adalah kenikmatan yang tidak direstui Tuhan kan ? Sedangkan aku tidak merasakan kenikmatan apa-apa dari kehadiran anak ini kelak, malah rasa sakit yang akan aku derita saat melahirkan nanti” Jelasnya tak mau kalah.
“Eling Nak..Eling, kamu itu masih muda. Berlaku lah normal seperti layaknya gadis seusiamu. Banyak laki-laki baik yang bersedia menjadi suamimu. Kenapa kamu harus memilih jalan ini ?”
“Laki-laki baik yang mana, Bu ? Tiga laki-laki yang pernah hadir di kehidupanku cuma menebar luka. Hanya meninggalkan derita dan trauma yang menyakitkan. Aku yakin Tuhan memang sengaja memberi jalan ini untukku. Lagipula, seumur hidupku laki-laki yang baik hanyalah almarhum Bapak, tak ada yang lain!” Sahutnya dengan derai air mata seperti biasanya.
Wanita tua itu pun tak kalah pedihnya. Sejak Ratri beranjak dewasa, bungsu itu selalu membuatnya tertekan. Bahkan dengan jengkel – Riana kakak sulungnya sering mencemooh Ratri menderita phobia “Complex Electra” karena terlalu memuja dan mencintai Bapak namun begitu membenci Ibu. Seumur hidup Ratri, dukungan penuh memang selalu ia dapatkan dari Bapak. Dan ketika ia harus kehilangan sosok itu untuk selamanya. Lalu berkali-kali mengalami patah hati, Ratri menjadi semakin menjauhi lawan jenisnya.
“Masih bagus cuma Complex Electra dan bukan lesbian !” Tantang Ratri saat Riana terus mengecam tabiatnya terhadap Ibu.
“Apapun alasanmu, keduanya tetap tidak normal!”
“ Itu kan menurutmu. Lagi pula aku punya hak untuk mengatur masa depanku sendiri” Bantahnya keras.
“Aku kakakmu Rat, wajar khan kalau aku menasehatimu”
“Terima kasih, Kak. Tapi aku merasa sudah cukup dewasa untuk menentukan mana yang terbaik untuk diriku sendiri”
Lagi-lagi hanya helaan nafas panjang. Begitulah Ratri. Meski ia tumbuh menjadi gadis cantik, mandiri dan penuh percaya diri. Namun sifat kerasnya kadang membuat orang-orang terdekatnya kerap merasa tak nyaman.
Diantara semua yang mencemooh keputusannya itu. Hanya Mr. Murry Thomson yang mendukung. Bos Ratri dimana ia bekerja sebagai Assistant Purchasing Manager di sebuah perusahaan farmasi milik asing. Bahkan Ia mengacungkan dua Ibu jarinya atas tindakan Ratri. Ia sama sekali tak mempermasalahkan status Ratri yang belum menikah namun kelak akan mengandung anak hasil Inseminasi buatan. Dan Ratri memang telah mempersiapkan batinnya untuk memasang wajah setebal mungkin, menulikan telinga serta berjalan setegar yang ia mampu seandainya kenyataan itu harus terjadi.
Mendadak jantung Bimo berdetak tak normal, saat kiriman sperma untuk Ratri telah tiba dan tersimpan aman di ruang penyimpanan khusus. Hari Minggu, tanggal 29 bulan ini tepat pukul 7 pagi, adalah hari yang dipilih Ratri untuk melakukan Inseminasi intrauterin dengan cara penaburan spermatozoa pendonornya yang telah terpilih dan tersaring melalui proses di laboratorium untuk di suntikan ke dalam rongga rahim Ratri.. Ada kegalauan yang mengganggu batinnya. Selama sebulan ia menangani Ratri. Sesuatu rasa yang lain kerap menyelinapi benaknya. Ia jadi sering melamun dan isinya adalah Ratri. Namun sumpahnya sebagai Dokter selalu mengembalikannya pada pijakan semula. Ratri tetaplah pasien seperti yang lain. Namun tidak dengan Dr. Farhan, ia kerap memeregoki rekan sejawatnya yang masih lajang itu tengah memperhatikan foto Ratri yang tertempel pada medical recordnya.
Akhirnya hari besar Ratri pun tiba. Injeksi sperma itu pun dilakukan. Untuk usia Ratri yang terbilang muda dan masih sangat productive, Ratri hanya membutuhkan 2 botol sperma ukuran kecil yang masing-masing berharga US$ 200 atau kurang lebih Dua Juta Rupiah. Dan Ratri menikmatinya. Ia terlihat begitu santai dan tersenyum lega setelah proses bersejarah dihidupnya itu selesai dilakukan. Tapi tidak dengan Bimo. Meski diruang ber AC, keringat deras mengucuri segenap tubuhnya. Wajahnya mendadak pucat. Tak ada satu kalimat pun yang meluncur dari bibirnya. Dokter Farhan yang juga terlibat secara medis dan tentunya menjadi saksi hidup peristiwa tersebut hanya menghela nafas berkali-kali dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Hari dan bulan pun berlalu. Ratri begitu menikmati peran barunya sebagai Ibu hamil. Perubahan drastis segera saja terlihat di tubuh mungilnya. Meski banyak yang mencemooh tapi tak sedikit pula yang berdecak kagum atas kenekatannya itu. Namun bagi Ratri semua menjadi begitu mudah saat ia terus membayangkan wajah anaknya yang kelak akan berwajah bule dan bermata biru seperti pendonornya. Apalagi dengan penanganan yang luar biasa khusus dari Bimo. Entah karena hatinya yang telah begitu tertutup pada laki-laki atau karena keluguannya. Ratri sama sekali tak menangkap maksud lain dari perhatian-perhatian yang diberikan Bimo. Bahkan ketika dua kali berturut-turut ia mengidamkan makanan tertentu dan selalu Bimo yang mengantarkan makanan itu untuknya meski tak pernah ia ceritakan sebelumnya. Dokter itu seolah selalu tahu apa yang diinginkan janinnya. Tak hanya itu, Bimo bahkan dengan setia selalu membelikan Ratri buku-buku mengenai kehamilan, makanan sampai baju-baju hamil namun hampir semuanya ditolak Ratri. Ratri juga kerap merasakan sentuhan kasih sayang dari jari jemari Bimo saat tengah memeriksa kandungannya. Ada “detakan” lain yang jujur dirasakan Ratri saat sorot mata Bimo kerap menatapnya dalam. Tapi bukan Ratri namanya, bila semudah itu bisa ditaklukan “Untuk apa aku susah payah membeli sperma ini, kalau kenyataannya harus jatuh cinta lagi” Pikirnya menepis. Seperti malam ini, saat Ratri tengah merajut sendiri kaos kaki kecil untuk buah hatinya. Tiba-tiba sosok Bimo telah berdiri didepan pagar rumahnya.
“Malam Ratri “ Ratri tertegun mendengar sapa itu. Tiba-tiba ada aliran aneh yang serta merta mencairkan kebekuan hatinya. Janin dirahimnya bergerak seolah menari. Ratri memang kerap merindukan suara itu. Spontan ia tersenyum riang namun tak lama ia pun kembali cemberut.
“Mau apa kemari ?” Tanyanya judes seperti biasa. Bimo tertawa kecil menanggapi.
“Cuma mau melihat kondisimu, kalau tidak ada halangan seminggu lagi kamu akan menjadi Ibu” Sahutnya santai seraya mengambil tempat di sisi Ratri.
“Besok juga aku control, ngapain repot-repot kemari, Dok”
“Panggil aku Bimo, aku lebih suka itu” Mendadak Ratri tergelak panjang.
“Kamu kan dokter kandunganku, apa pantes aku panggil nama saja”
“Kenapa tidak, kalau aku suka ?
“Ok deh, hm…Bimo” Sahutnya dengan gelak. Bimo pun menyambutnya dengan senyum. Serta merta ia langsung menggeser posisi duduknya hampir tak berjarak dengan Ratri. Mengelus kandungannya bahkan menciumnya dengan lembut. Ratri seolah terhipnotis, ia hanya tertegun tanpa reaksi. Sifat judesnya spontan terkunci. Namun detak dijantung dan gerakan janinnya tiba-tiba menyulut emosinya dan ia pun menangis. Entahlah, mungkin hormon yang tak stabil karena kehamilannya atau kerinduan tersembunyi yang selalu diharapkan Ratri dari seorang laki-laki. Semua membaur dalam isaknya. Bimo tak mau membuang kesempatan ini. Ia memeluk erat tubuh Ratri. Mencium keningnya dengan kasih.
“Menikahlah denganku, Ratri” Kalimat itu terluncur begitu mulus dan tulus dari bibir Bimo. Ratri masih terisak.
“Biarkan aku menjadi ayah anakmu, percayalah Ratri” Pinta Bimo seraya berlutut dihadapan Ratri. Dan Ratri tetap tak memberikan jawabannya. Sambil terus terisak, ia pun berlari meninggalkan Bimo bersama sejuta harap cemasnya.
Menjelang waktu subuh. Bimo dikagetkan oleh suara dering ponselnya. Tertera nama Dokter Farhan.
“Ratri sudah pembukaan lima, cepat kemari ya “
“Hah ?! oh iya..iya”
Tanpa berkemas sedikitpun, dokter muda itu segera meluncur ke rumah sakit. Beribu perasaan bercampur dibenaknya. “Kenapa ia tak menelponku ? Marahkah ?. Sesampai di rumah sakit wajah tegangnya segera disambut oleh Dr. Farhan.
“Ratri tak mau ditemui olehmu, dan ia minta akulah yang membantu proses persalinannya. Tenang saja, mudah-mudahan semua berjalan lancar” Ujar Dr Farhan seraya mengedipkan sebelah matanya. Bimo hanya mengangguk lemas. Ia terduduk pasrah di depan ruang bersalin. Keringat dingin dan berbagai rasa bercampur aduk tak karuan. Kegelisahannya tak beda dengan seorang Ayah yang menanti kelahiran anaknya.
Tepat pukul delapan pagi, bayi laki laki mungil berbobot 3.3 kg terlahir normal dari rahim Ratri. Keduanya sehat. Tapi Ratri masih terlalu lemah untuk melihat ketampanan bayinya. Hingga baru siang harinya bayi itu diantar ke kamarnya.
“Ini bayinya, Bu. Silahkan diberi ASI pertama Ibu ya” Ujar seorang suster sambil menyerahkan tubuh mungil itu kedalam pelukannya. Ratri menerimanya dengan senyum bahagia namun hanya sesaat. Mendadak wajahnya menegang.
“Suster ! yakin ini anak saya ? Ujarnya panik dan tak percaya.
“Tentu saja, Bu.Gelang biru yang digunakan Ibu dan bayi ini bernama sama kan ?
Ratri membaca nama di pergelangan tangan kecil itu “Bayi Ny Ratri”.
“Tapi..tidak mungkin anak saya seperti ini !”
“Maksud Ibu ?”
“Anak saya…Ayah anak saya….Hhhhh! Dokter, tolong…tolong panggil Dokter Farhan ! Teriak Ratri semakin panik. Suster segera berlari keluar, namun beberapa detik kemudian Bimo telah tampak dihadapannya.
“Kamu! kenapa anakku berwajah melayu seperti ini ? Tidak mungkin! dan golongan darahnya seharusnya AB atau A dan bukan O, Ini pasti bukan anakku”! Ujar Ratri semakin histeris. Bimo menghela nafas dalam seraya menghampiri Ratri dan mengambil bayi itu dari gendongannya.
“Ini anakmu Ratri…….anak kita “
“Anak kita ?!! Apa maksudmu ?!!
“Akulah ayah bayi ini, aku telah mengganti sperma donormu itu dengan spermaku”
“Apa?!! Ratri terkejut bukan kepalang. Saking kagetnya, ia seolah merasakan bekas jahitan bersalinnya terbongkar satu persatu.
“Ratri, Aku melakukan itu karena aku mencintaimu. Mengganti sperma itu adalah tindakan gila dan keputusan terberat yang pernah aku lakukan seumur hidupku. Tapi aku mau ! Aku mau hidup denganmu Ratri !” Ujar Bimo dengan nafas memburu.
Mendengar itu, mendadak Ratri kehilangan sepatah kata pun. Pandangannya langsung berputar-putar sampai akhirnya ia pun terkulai pingsan. Bimo berusaha tenang, di serahkannya bayi mungil itu kepada seorang suster. Lalu kembali ke kamar Ratri. Berjuta perasaan berkecamuk di benaknya. Jauh di lubuk hatinya, ia yakin Ratri pun memiliki rasa yang sama dengannya. Tapi kejudesan Ratri kerap membuatnya tak percaya diri. Namun semua telah terjadi. Ratri adalah Ibu dari benih yang dimilikinya. Meski Bimo telah mempersiapkan diri untuk hal-hal yang paling buruk sekalipun, tak urung kecemasan masih begitu membelenggunya. Dipandanginya wajah gadis itu penuh kasih sampai beberapa menit lamanya. Dan terkejut saat Ratri membuka matanya pelan, pandangannya masih kabur. Namun samar-samar ia langsung mengenali wajah cemas Bimo. Ratri hanya terdiam dengan mata berkaca-kaca, sementara Bimo terus menggenggam jari – jemarinya. Juga tak ada kata-kata.
Meski Bimo tak pernah mampu menebak apa yang tersirat dibenak Ratri. Namun jauh dilubuk hatinya, akhirnya Ratri harus mengakui bahwa laki-laki dihadapannya ini lah yang perlahan menghapus trauma dan ketakutan masa lalunya. Laki-laki seperti ini lah yang selalu hadir di angan-angannya dan ia pun harus jujur mengakui, ia pernah memiliki do’a untuk bisa merajut hidup dengannya. Dan ketika Tuhan mentakdirkan ia untuk menjadi ayah anaknya, ia merasa Tuhan begitu menyayanginya. Dendam, benci dan ketakutan itu mendadak lebur entah kemana. Ratri pun hanya tersedu pelan, ketika Bimo meraih tubuhnya kedalam pelukannya. Tak ada kata, hanya isak, pelukan, kecupan dan rasa bahagia yang tak ada tandingannya.
TAMAT
* Dimuat di Majalah Goodhouse Keeping - Edisi Maret 2008
* Dimuat di "Kumpulan Cerpen" SPERMA BUAT RATRI - Penerbit Citra Aditya Bakti - 2008