Aku Bertajuk Susi
Oleh : Ria Jumriati
Aku adalah wanita yang terlahir dari deru nafsu, buasnya
birahi dan gulitanya malam dalam balutan pekat angkara murka serta aroma
neraka. Aku bertajuk Susi. Sebuah merk yang lekat dengan label prostitusi dan
seolah dipersiapkan untuk menjelang masa depan penuh caci maki. Aku bertumbuh
dalam rangka takdir pekat yang telah membayangi tapak kecilku hingga langkah
gemulaiku nan mengundang birahi liar para setan jalanan. Lenteraku adalah
lembar-lembar Rupiah, udaraku adalah tidur nyenyakku, senyumku adalah mimpi tak
tergapaiku. Aku adalah ilalang dalam injakan ganas binatang jalang. Saat semua
mengusung tinggi harga diri, aku hanyalah seonggok sampah bertabur lalat-lalat berbau taik Raga dan nafasku berpacu jauh diluar
peradaban manusia. Binatang-binatang yang melingkari garis nasibku adalah
mereka yang dengan terpaksa membiarkan tubuh ini berbentuk hingga menguatkan
jantungku yang mestinya dikoyak saja, hingga tak harus kukecap getirnya dunia
liar yang mereka cipta untukku.
Aku tak tahu berapa umurku kini. Tak tahu apa agama yang
kuanut dan tak pernah mengerti akan cerita mengenai kehangatan sebuah keluarga
atau kisah Cinderella yang bertemu pangeran impiannya. Yang terpapar
dihadapanku hanyalah pergumulan hidup yang begitu keras. Terhias pernik-pernik
dosa dalam warna-warna nista yang terlalu menjijikkan, namun memaksa jiwa dan
raga ini untuk terbiasa menghadapinya
dari detik ke detik hingga hitungan tahun tak terbilang. Aku adalah dosa, virus
dan segala macam hal menjijikkan bertebaran dari ujung kaki hingga rambutku. Namun
mereka membutuhkanku. Hukum alamkah ? Simbiosis Mutualisme selalu berlaku dimanapun.
Konon aku terlahir di sebuah rumah kardus dipinggiran
tempat pembuangan sampah orang-orang kota. Aku bermain dan menikmati masa kecil
bersama lalat-lalat, cacing-cacing tanah dan ribuan kuman dari hari kehari. Demam berdarah,
diare, thypus dan berbagai penyakit maut, pernah pula menyapa rongga-rongga
rapuh di tubuhku. Dan aku tetap hidup. Ketika vagina ini mulai mengeluarkan
darah rutinnya, dengan sepasang payudara yang kian membesar. Aku telah digauli
secara biadab oleh laki-laki yang setiap malam menindihi tubuh wanita yang
kukenal sebagai Ibuku di rumah kardus ini, tepat di samping pembaringanku. Lalu
begitulah hari-hariku selanjutnya, bergulir dan bergilir dari penis satu ke
penis lainnya. Dan ada Rupiah dari setiap penis yang sukses mengoyak dalamnya
lubang vaginaku. Ha..ha…ha…ternyata nikmat juga ! aku harus tertawa, harus
merasa bahagia dengan ‘berkah’ yang konon adalah rejeki dari Tuhan.
Ah ! persetan dengan Tuhan ! aku tak percaya dia ada
untuk orang-orang seperti ku. Aku tak percaya Dia Maha Pemurah. Kalau rejeki
ini datang darinya, mengapa pula aku harus bergumul dengan aroma nafas dan nafsu
para budak-budak seks dengan berbagai pola dan tingkah aneh yang terkadang
menyiksa. Berkahkah ? jika aku harus mengulum bau busuk mulut-mulut mereka atau menyedot air
mani mereka hingga masuk kedalam lambungku ? Tuhan, ampuni aku jika
keyakinanku akan kemurahanMu makin terkoreksi hingga pada titik dibawah nol.
Suatu pagi, seorang gadis seusiaku memberanikan diri
menyapaku, dan dengan penuh rasa percaya diri ia duduk di balai-balai tempatku
beristirahat. Ia tersenyum manis. Penampilannya begitu terpelajar dengan
potongan rambut pendek, ia terlihat begitu segar. Aku membalas dengan senyum
sinis.
“Mau apa ? tanyaku judes. Ia mengulurkan tangan halusnya.
“Kenalkan, saya Anissa. Saya mahasiswa jurusan psikology, dan saya mohon
bantuan Mbak untuk sedikit memberi masukan mengenai pernak-pernik dunia
pelacuran, sebagai bahan dalam skirpsi saya” Ujarnya panjang. Aku tetap sinis.
Lalu tertawa panjang sambil mengisap sebatang rokok ditanganku. “Skripsi ? Apa
itu ? Kenapa datang ke sini ? Asal tahu saja yach, tak ada yang menarik di
dunia pelacuran !”. Dia tetap tersenyum, sambil mulai mengeluarkan tape
recorder berukuran kecil dan bersiap merekam suaraku.
“Menurut sebagian orang memang tak menarik, tapi justru
disitu tantangannya buat saya” timpalnya sambil menggeser posisi duduknya
mendekatiku.
“Baiklah….sekarang apa yang kamu mau tanyakan ?”
Ia pun mulai mewawancaraiku dengan gaya yang santai. Entah
mengapa sikapnya yang ramah dan sorot matanya yang bersahabat seolah
menghipnotisku untuk bercerita sepenuhnya. Ada beban yang terasa terbagi saat
kisah hidupku terurai begitu saja. Kadang aku tertawa kemudian menangis, dan
Anissa ikut terlarut didalamnya. Matanya terlihat dipenuhi buliran-buliran
bening dengan desahan nafas tertahan. Hingga tak terasa, waktu berlalu begitu
cepat. Gadis itu pamit sambil memberiku selembar amplop putih.
“Bukan maksud membayar Mbak Susi, tapi ini untuk
mengganti waktu Mbak yang telah saya pakai tadi” Ujarnya ramah. Aku tercengang
menerimanya.
“Terima kasih….tapi”
“Kalau tak keberatan, kapan-kapan aku boleh khan datang
lagi ?”
“Oh..boleh..boleh” Sahutku sedikit bingung. Lalu Anissa
pun berlalu dengan senyum masih melekat diwajah mungilnya.
Sepeninggal gadis
itu, aku termenung sendiri. Masih terngiang ucapannya mengenai nasib
orang-orang sepertiku, yang katanya mestinya, menjadi tanggung jawab pemerintah
yang seharusnya membuat suatu lembaga penampungan dan rehabilitasi dengan
memberikan ketrampilan khusus, hingga ada mata pencaharian tetap dan tak lagi
mendekati dunia pelacuran seperti yang kugeluti selama ini. Karena menurutnya
lagi, dari tempat-tempat seperti ini lah akan banyak timbul banyak penyakit
kelamin dan juga penyakit kejiwaan yang berdampak sangat buruk bagi masa depan
seseorang dan juga bangsa ini tentunya. Pemerintah ? Jangan harap dech ? selama
aku hidup seperti ini, belum pernah ada satu pun orang yang mengaku datang dari
lembaga pemerintahan, lalu mengajakku keluar dari dunia gelap ini atau
memberiku uang untuk memulai hidup yang lebih baik. Mereka hanya datang
memberikan penyuluhan mengenai bahaya HIV AIDS dan pentingnya pemakaian kondom,
tapi tidak ada yang memberi uang. Memang ada yang datang dan memberiku uang
tapi dengan imbalan seks dan birahi sesat.
Pagi ini aku terbangun dengan sesuatu yang terasa
berbeda. Ada gerakan lain didalam perutku. Hah ? wajahku mendadak sepucat
mayat. Aku tak mungkin hamil. Aku terlalu rajin menelan pil-pil itu. Tapi
memang sudah sebulan ini darah rutin itu mendadak berhenti. Aku terduduk lemas.
Tak tahu apa yang harus kulakukan. Batinku menyiratkan, memang telah ada nyawa
didalam rahimku. Tidak…jangan ! aku tak mau ada seorang manusiapun lahir
ditempat seperti ini. Tidak lagi ! tak akan kubiarkan ia hidup dan berkembang
sepertiku. Perasaanku semakin kacau. Tak tahu siapa yang harus kuhubungi. Namun
tiba-tiba aku teringat Anissa. Yach ! bagaimana bila aku meminta bantuannya.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung menuju telpon umum terdekat.
“Kenapa Mbak ? Suara Mbak begitu gugup ditelpon tadi, ada
masalah apa ? tanyanya, masih dibalai-balai tempatku beristirahat. Aku hanya
terdiam lalu menangis tersedu. Anissa terlihat bingung seraya menepuk-nepuk
punggungku.
“Aku hamil…dan aku tak pernah menginginkan ini ! ” Sahutku
parau. Gadis itu tak terkejut. Ia mengibaskan anak rambut yang menutupi sebagian
wajahku. Sentuhannya begitu lembut hingga mampu memberi sedikit ketenangan
dibatinku.
“Kalau Mbak Susi
meminta saranku, aku lebih menganjurkan untuk meneruskan saja kehamilan Mbak”
Ujarnya tenang.
“Enak saja ! mana mampu aku membiayainya, dan setelah
besar pun anak ini pasti akan jadi pelacur seperti aku atau menjadi preman
jalanan !”
“Percayalah Mbak, pasti ada jalan keluar dari semua ini,
dan tak harus digugurkan”
“Tidak Anissa, kamu tak pernah merasakan kepedihan
menjadi seorang pelacur. Hidup ditempat seperti ini dan bergaul dengan
setan-setan malam ! Pokoknya, aku harus menggugurkan kandunganku ini !”
Anissa berusaha menenangkanku yang semakin panik dengan
tangisan ramai.
“Anissa, kamu pernah bercerita kalau Ibumu seorang dokter
kandungan,
bagaimana …kalau aku minta bantuannya untuk….”
Gadis itu menggeleng cepat. “Tidak Mbak, Mama tak pernah
mau melakukan aborsi illegal. Harus ada indikasi medis yang jelas untuk
mengeluarkan bayi yang belum cukup bulan dari kandungan Ibunya”
“Tolonglah mengerti Aku Nis, aku ini siapa ? Mana mungkin
aku bisa membesarkan seorang anak ? mengurusnya dan memberikan masa depan
buatnya ? coba pikir !”
“Mbak, aborsi memiliki resiko yang sangat tinggi dari
segi fisik dan mental. Jangan kira, setelah proses pengguguran kandungan
selesai. Lalu selesai pula masalahnya”
“Aku nggak peduli, yang penting aku tak mau perutku
gendut dan punya anak. Dan aku mohon bantuanmu Nis, sangat !
“Mbak bisa mati dan kalau hidup pun akan terus dihantui
perasaan bersalah hingga bisa mengakibatkan gangguan kejiwaan”
“Nissa, kamu nggak ngerti juga yach ! aku akan merasa
lebih bersalah jika membiarkan anak ini hidup tapi besarnya nanti tetap jadi lonte seperti ibunya !
Gadis itu terdiam dengan desahan panjang. Namun ia tetap
saja tak memberi kepastian atas permintaanku itu. Dan akupun semakin kacau.
Waktu pun berlalu. Sudah seminggu ini Anissa tak
mengunjungiku, entahlah mungkin ia sudah bosan atau telah cukup mendapatkan
data-data dariku untuk bahan skripsinya.
Seiring dengan itu aku tetap menjalankan profesi malamku seperti biasa, namun
terbatas hanya untuk pelanggan tetap saja, mengingat kondisiku ini. Tapi
ternyata, hari ini ia kembali dan duduk di balai-balai istirahatku seperti
biasa.
“Bagaimana ? Ibumu mau membantu ? tanyaku langsung.
“Aku belum bercerita apapun pada Mama”
“Yah sudah, pulang saja kamu ! usirku kesal. Gadis itu
kembali tersenyum seperti biasa.
“Mbak, bagaimana kalau aku bantu carikan Mbak pekerjaan
yang lebih terhormat, tapi Mbak harus janji untuk tetap menjaga kandungan ini”
Ujarnya serius. Aku terbahak geli.
“Anissa, aku saja Ibunya tak mau ia lahir. Kenapa kamu
repot-repot mau menyelamatkan anak ini ? Sahutku masih dengan tawa geli. “Lagi
pula pekerjaan apa ? paling juga jadi pembantu, iya khan ? lanjutku pesimis.
“Bukan Mbak, temanku punya restauran dan ia butuh
pramusaji. Kalau Mbak serius aku bisa bantu” Aku terenyuh melihat kesungguhan
dimatanya. Anissa seolah Bidadari yang diutus Tuhan untuk menerangi gulitanya
hidupku.
“Bagaimana Mbak ?”
“Kalau aku ketahuan hamil pasti akan dipecat, lalu aku
mau kerja apa lagi?”
“Aku bisa meyakinkan mereka, percaya dech”
“Ah, sudahlah Nis. Kalau kamu tak bisa bantu. Aku akan
berusaha sendiri, aku sudah dapat informasi kok mengenai bidan yang mau dibayar
untuk menggugurkan kandunganku”
“Jangan Mbak” sergahnya cepat.
“Kenapa ?”
“Begini saja dech, Mbak
mau khan aku bawa ke klinik
kandungan tempat Mama praktek ?”
“Katanya Mamamu nggak mau bantu”
“Memang, tapi setidaknya Mama bisa bantu menjelaskan
kepada Mbak mengenai bahaya aborsi”
“Ah sudahlah ! aku bosan Nis, kamu nggak ngerti juga ! Sahutku
kesal.
“Tolong Mbak, sekali ini saja. Bila perlu aku mau bayar
untuk waktu yang Mbak luangkan untuk bertemu Mamaku”
Aku kembali terenyuh. Gadis itu begitu tulusnya. Aku tak
mengerti apa yang ada dipikirannya, ia begitu bersemangat ingin menyelamatkan
kandunganku. Seumur hidupku baru kali ini aku mendapat perhatian yang begitu
tulus dari seseorang yang sebelumnya sama sekali asing dikehidupanku.
Wanita itu memiliki sorotan mata sehangat milik Anissa. Ia
tersenyum menyambut kehadiranku, sementara Anissa berdiri anggun disampingnya.
“Ini Mamaku Mbak” Wanita itu mengulurkan tangannya.
“Apa kabar ?” tanyanya ramah. Aku tersenyum kikuk, tak
tahu apa yang harus kulakukan. Aku merasa tengah berada di dunia yang begitu
asing namun bersahabat.
“Anissa sudah banyak bercerita tentang Susi”
Aku masih bungkam dalam kebingunganku sendiri. Lalu
terdengar desahan panjangnya.
“Berapa usia kandunganmu Susi ? tanyanya hati-hati. Aku
tersentak kikuk.
“Mungkin baru 2 bulan, Bu”
“Dia pasti bayi yang cantik karena tengah dikandung oleh
Ibu yang juga cantik” Ujarnya sambil menatap mataku dalam. Aku semakin kikuk,
tanpa sengaja mataku tertambat pada gambar janin yang meringkuk pasrah dalam
kandungan ibunya, tergantung didinding ruang prakteknya dalam ukuran lumayan
besar.
“Gambar itu tak jauh beda dengan anak cantik dalam
kandunganmu, bagian tubuhnya sudah mulai terbentuk” Ujarnya seolah dapat
membaca jalan pikirannku. Aku bergidik ngeri melihat bentuknya yang seperti
kuda laut.
“Tapi saya tak ingin memilikinya, saya hanya….” Kalimatku
terputus oleh tangis. Ia berdiri dan duduk disampingku seraya menepuk-nepuk
punggungku.
“Siapapun kamu, apapun
yang kamu lakukan. Bayi ini adalah anakmu dan ia punya hak untuk hidup. Kalau
selama ini kamu tak mempercayai keberadaan Tuhan. Cobalah mulai untuk sekedar
mengenal keagunganNya lewat detak-detak lembut di rahimmu kini. Dan kamu tahu
Susi ? Proses pengguguran kandungan untuk janin seusia kehamilanmu adalah
dengan cara menusuk-nusuk anak tersebut, selanjutnya bagian tubuhnya
dipotong-potong dengan menggunakan alat semacam tang khusus yang gunanya untuk
menarik bagian tubuh yang dapat dicapai
alat itu. bisa lambung, bahu, leher atau apa saja lalu ditusuk dan diremukkan
serta disobek-sobek menjadi serpihan kecil, tujuannya agar mudah dikeluarkan
dari rahimmu. Coba pikirkan sejenak, tegakah kamu melakukan itu untuk darah
dagingmu sendiri di usianya yang masih
sangat muda ?
Mendengar penuturan Ibu Anissa aku semakin tersedu. Ada
perasaan berdosa merambati benakku. Sementara Anissa terus memberiku
lembaran-lembaran tissue.
“Orang seperti saya, tak akan pernah bisa memberikan masa
depan buat seorang anak”
Sahutku terbata dalam isak. Wanita bijak itu membelai
rambutku lembut.
“Apa kamu mau terus seperti sekarang ini Susi ?” Tanyanya
seraya menatap mata sembabku. Aku menggeleng keras lalu kembali tersedu.
“Percayalah, jika hati kecilmu memiliki keinginan untuk
berubah pada arah yang lebih baik. Tuhan pun akan memberikan jalannya i”
“Saya tidak bisa apa-apa Bu, sekoah saya cuma sampai
kelas 3 SD” Ujarku pesimis.
“Tidak masalah, yang penting kamu punya niat untuk
berubah”
Wanita itu memeluk tubuhku. Aku masih menangis namun
setitik pencerahan tiba-tiba muncul didasar hatiku yang paling dalam. Ada cinta
yang perlahan merambati relung-relung hatiku untuk janin yang kukandung ini. Ia bergerak lembut
seolah menari menyambut lentera batinku yang hampir redup dan mati.
Batas antara hari ini dan hari kemarin hanya berkisar 24
jam. Tapi perubahan yang kini terjadi dihidupku seolah dapat menembus jutaan
kilometer kecepatan cahaya bahkan peradaban rendah yang pernah menyimbahi
hidupku. Aku memang bertajuk Susi. Seorang anak, gadis dan kini wanita yang
pernah terlahir dengan symbol prostitusi. Namun kini aku adalah seorang Susi,
seorang pramusaji dan yang lebih membanggakan dari semua itu, kini aku adalah
seorang Ibu bagi “Salma” putri kecilku
yang hampir saja kubunuh seandainya saja
Tuhan tak segera mengirimkan Bidadari bernama Anissa di gelapnya kehidupanku.
Lalu memberiku kesempatan menjadi manusia seutuhnya dengan harga diri yang
semestinya. Tuhan, ampuni dosaku. Kini harus kukoreksi habis-habisan mengenai
kemurahanMu yang pernah begitu tak kupercayai sepanjang masa gelap kehidupanku.
TAMAT
*Dimuat di Majalah GoodHouse Keeping 2009*
*Foto : from Google"