Semasa remaja, terus terang Aku
tidak pernah merasa bangga memiliki Ibu seperti yang setiap hari Ku panggil “Emak”.
Tubuh gembur, selalu lelah, terkadang sering marah tanpa sebab dan sering ikut
campur urusanku sebagai remaja yang sedang bersemangat mencari jati diri. Dari
semua yang di tampilkan Emak, satu kesimpulan ku. Ia adalah Ibu rumah tangga
yang tidak bahagia. Pernah Aku begitu membencinya, karena melarangku ikutan
hiking bersama teman sekelasku. Alasannya konyol sekali, takut Aku di gigit
ular. Dari sekian banyak siswa yang ikut, apakah tiba tiba hanya aku yang di
pilih Si Ular sebagai mangsa utama ?
Marah dan kecewa, Akupun nekat kabur dan tetap ikut hiking tanpa menghiraukan
jeritan pilu Emak.
Sesama teman se-gank, hanya Aku
yang tak pernah membanggakan keberadaan Emak. Sita selalu aktif memposting
foto-foto Mommy nya di social media, yang langganan menjadi pembicara di berbagai
kelas motivasi. Diana, rutin dan begitu antusias membedah novel – novel best
seller tulisan Bundanya. Sedang aku ? hanya punya Emak yang cuma bisa memasak,
mencuci, setrika dan selalu terlihat lelah. Apa yang bisa di banggakan ? Bukankah
itu mirip mirip pembantu rumah tangga ? Kelebihannya cuma karena dia adalah Ibu yang
melahirkanku. Bertahun tahun aku di siksa dengan perbedaan itu. Bertahun tahun
aku mengutuki nasib, kenapa punya Emak yang tak punya prestasi membanggakan
seperti Mommy Sita dan Bunda Diana. Aroma kedua wanita itu pun semerbak wangi
parfume bermerek, sementara Emak ? terkadang bau bawang atau minyak angin. Tidak
pantas untuk di pamerkan !
Tahun pun berlalu, Aku memilih
kost dan jarang bertemu Emak. Semakin hari, Emak terlihat lebih tua dibanding
wanita sebayanya. Ada perasaan kosong saat berjauhan dengan Emak. Tak ada lagi
rendang lezat buatannya, suara cemprengnya saat membangunkan Aku untuk sholat
shubuh, dan sarapan nasi uduk yang selalu sempat dibuat untuk keluarganya meski
harus bangun pukul 4 pagi setiap hari. Tiba tiba aku kangen bau bawang dan
minyak angin Emak.
Entah karena apa, sekonyong
banyak hal salah yang telah aku lakukan pada Emak. Seorang Ibu, yang tak pernah
Ku akui prestasinya. Namun, membuat Sita dan Diana serta temanku yang lain selalu
memilih rumahku sebagai tempat belajar, karena satu alasan. Bisa merasakan “Rujak
Tumbuk” ala Emak yang kelezatan bumbunya tak bisa di temui di resto manapun.
Atau Pisang Goreng Kremesnya yang tak harus memakai borax tapi tetap garing
hingga berjam jam. Emak Ku yang selalu memohon hingga memaksaku menjual nasi
uduk buatannya sebagai tambahan belanja dapur, tapi sering ku tolak meski
selalu laku keras ketika dengan terpaksa aku pernah membantu menjualnya. Dan
semua itu, tak pernah kuanggap sebagai prestasi. Aku tak pernah menyadari,
karena jerih payah Emak Aku bisa meraih semua ini !
“ Emak, lagi ngapain ?” Tanyaku melalui telpon.
Geruduk sesal menyeruak ramai di hatiku.
Tak biasanya, suara Emak
terdengan pelan bahkan hampir merintih. Tak ada sepatah kata yang terucapan,
hanya desahan nafasnya yang terdengar melalui handphoneku.
“Emak..Emak
kenapa ? Kok tidak ada suaranya ? Jawaban yang terdengar adalah suara Bapak.
“Emak
sakit Nak. Kalau kamu tidak sibuk, pulanglah” Pinta Bapak pelan.
“Kenapa
aku tidak di beritahu dari awal Pak!” Protesku sedih.
“Emak
tidak mau mengganggumu, karena takut kamu marah”
Marah ? Sedurhaka itukah Aku Tuhan
? Aku terhenyak pedih. Geruduk sesal itu semakin kencang menghujam dadaku. Perjalanan menuju rumah dan bertemu Emak,
serasa begitu panjang. Aku ingin bertemu Emak, ingin memeluk Emak, ingin
bersujud dikakinya dan memohon ampun !. Waktu seakan menghantuiku, waktu menyeringai
tajam mengejekku dan waktu pasti menghukumku sebagai anak yang tak pernah menghargai
jasa Ibunya.
Sesampai di rumah, hanya ada
kelenggangan. Ku buka pintu rumah yang tak terkunci. Kamar tidur Emak sudah di
penuhi beberapa orang. Wajah duka dan tangisan pilu. Aku tersungkur lunglai.
Emak.....jangan pergi ! Dan semua
terasa melayang dan gelap.
“Emak, meski kata maaf ini tak
sempat kau dengar terucap dari bibirku yang terlalu angkuh mengakui
kehebatanmu. Tetaplah ampuni Aku, pada gundukan tanah liat tempat jasadmu
tersemayam. Ku panjat dan kumohon doa, agar waktu tak menghujatku karena tak
pernah menghargai jerihmu.
Emak, pada taburan bunga
kematianmu. Izinkan aku menitipkan sepanjat doa meski berhias sesal yang tak
selesai hingga Tuhan kini menggenggammu dalam keindahan hidayah dan amalan
hidupmu.
“Emak, biarkan dan izinkan aku
tetap mengenangmu dalam gaungan doa di batinku...
Istirahatlah Emak, Izinkanlah doaku menemani setiap langkah panjangmu
menuju Surga Illahi Rabbi”
Kututup hari dengan jutaan
bayangan wajah lugu, sedih, ceria dan lelah yang tergurat silih berganti di
wajah Emak. Kepiluan bertabur sesal mungkin tak pernah hilang, sampai karma
menyapa dan mungkin bisa menyapu semua dosaku.