REALITA PASIR DOSA
Oleh : Ria
Jumriati
Kaki mungil Kania masih terlalu dini untuk menapak
pasir dosa. Wajah bening itu bahkan terlalu suci untuk dibasuh tetes demi tetes
angkara dari lelaki yang tiap malamnya gemar memasuki gerbang birahi Ibunya.
Kania masih terlalu lugu untuk mengartikan belaian yang terasa aneh menyentuh
kulit bayinya. Tapi gadis kecil itu selalu dipaksa untuk menapak pasir pasir
dosa yang ditebar di hamparan sunyi hidup seorang Kania yang yatim tanpa
perhatian dan kasih sayang utuh.
“Mama pergi dulu ya, sayang…”
Bisik Ibunya sambil mengelus rambut
panjangnya. Mata bulat itu hanya menatap sendu tubuh semampai Nina yang
berjalan gemulai meninggalkannya. Ia mendesah pelan, dipandanginya boneka
Barbie berambut pirang dipangkuannya. Celana dalam Barbie seksi itu tersingkap
karena baju mini yang dikenakan. Dada Kania mendadak berdetak melihatnya.
“Buka
ya sayang…” Kata kata itu terus
terngiang ditelinganya. Tangan kekar yang menjelajahi tubuh mungilnya
dan…..Kania pun berlari kencang menuju kamarnya. Ia memejam matanya erat.
Menyusup dikegelapan dan kedalaman selimut tidurnya. Jantungnya masih berdetak
kencang. Ia berusaha tidur dan meraih mimpinya.
“Pipin..!”
Teriaknya kencang. Sahabat kecilnya itu
pun datang dengan senyum seperti biasa.
“Kania
? Kenapa kau tenggelamkan dirimu ?”
“Aku
ingin membersihkan pasir pasir dosa ini…aku aku jijik !” Sahutnya dengan wajah
duka. Pipin memandang wajah Kania dengan tatapan iba. Mimpi kanak kanak Kania
pun semakin terkoyak menjadi serpihan kecil tanpa bentuk.
“Jangan
Kania, kamu akan mati Kania !” Seru Pipin sedih
“Biar
kan aku ! Aku
tak mau terlihat…aku ingin tenggelam”
Pipin memandangi tubuh Kania yang kian jauh
terjerembab. Berusaha mengingkari realita pasir dosa. Hidup dalam bayang
kesesakan setiap saat. Ia memang tak terlihat namun pasir pasir dosa itu masih
melekat erat di setiap inci tubuhnya. Pipin pun tak tega dan berusaha menarik Kania dari kedalaman yang
gelap.
“Jangan…Jangan…Jangan!!” Teriak Kania. Akhirnya ia
pun terbangun seorang diri dengan keringat yang mengucuri segenap tubuhnya. Mimpi itu masih terus membayangi hingga tubuh
kecilnya beranjak dewasa kini. Lalu serpihan kenangan buruk yang terus tertancap dalam di benak
Kania hingga tercipta satu dendam penuh bara dan amarah. Pasir pasir dosa itu
masih menyimbahi tubuh semampainya. Wajah bengis bernafsu binatang itu, masih
jelas tergambar di benaknya yang terluka. Semua kejadian menjijikan itu kian
menancap tajam di benaknya yang kerap berdarah. Dan tetap menyumbat bibir Kania
untuk tak pernah menceritakan semua ‘kebengisan’ itu, bahkan pada Ibu
kandungnya sendiri. Dan Marvy – lelaki
yang dinikahinya semata untuk menghilangkan kenangan buruk itu, tapi tak bisa !
Ia terus hadir dalam berbagai sosok menakutkan dalam kenangan dan mimpi
buruknya. Lalu Pipin pun tumbuh, dalam imajinasi Kania. Memiliki dendam membara
dan amarah sekelam jiwa Kania.
“Kania….”
Marvy mengambil jemarinya dan menaruh didada bidangnya. Gadis itu menoleh pelan
dengan tatapan kosong.
“Apa
yang kau pikirkan sayang ? Cobalah nikmati kebersamaan kita” Bujuk Marvy penuh
kasih. Ketika dirasakannya Kania kerap
menolak dan tak pernah menikmati ‘kebersamaan’ mereka sebagai pengantin baru.
Meski Marvy adalah lelaki terbaik dan terlembut yang telah dipilih Kania
diantara lusinan sosok yang mencoba menaklukkan hatinya. Dan Marvy memang telah
berhasil membawa Kania ke permukaan. Ia tak lagi menenggelamkan diri seperti
saat lalu. Tapi pasir pasir dosa itu ? Ternyata kehadiran Marvy tak mampu
membersih kan
setiap bulir yang pernah ditebar ayah tirinya. Gadis itu bahkan menemukan
seringai srigala lelaki bejat itu di desah birahi suaminya. Dan Kania benci itu
! ia pun kembali menyerusuk dalam kepekatan dan kegelapan selimut tidurnya.
“Kania,
berceritalah padaku…apa yang membuatnya sering
bermimpi buruk ?” Bujuk Marvy
seraya memeluk tubuh istrinya erat.
“Aku
benci wajah itu.....” Bisiknya pelan. Perlahan air mata menetes dipipinya.
“Siapa
Kania ?”
“Lelaki
yang memaksaku untuk menapak pasir pasir dosa”
Marvy menatap mata istrinya dengan pandangan tak
mengerti. Ia pun mendesah pelan. Sejak
mengenal gadis itu, memang banyak hal misterius yang menyimbahi hidupnya. Tapi
Marvy tak peduli, sejak melihat mata sendu itu keinginan untuk melindungi dan
memilikinya semakin kuat. Sorot mata Kania ibarat kumparan magnet berkekuatan besar yang kerap menarik Marvy untuk menyelami kedalaman kelam yang
hingga kini tak pernah bisa diterjemahkannya. Tapi ia begitu mencintai Kania yang terkadang
terlihat rapuh namun memiliki ketegaran tersendiri.
Malam
pun semakin merangkak menuju pagi. Kania tertidur gelisah dalam pelukan suaminya. Namun wajah berseringai
srigala itu kembali datang lagi. Kania berlari lelah di antara lorong lorong
pekat mimpi buruknya.
“Pipin
! Pipin ….tolong aku !” jeritnya.
Dalam sekejap bayang Pipin hadir dengan senyum lembut seperti
biasa. Baju putih longgar yang dikenakannya berkibar pelan tertiup angin. Ia
mengulurkan jemarinya untuk menolong Kania.
“Dia
datang lagi..!” Bisiknya ketakutan sambil bersembunyi dibalik tubuh Pipin.
Sementara nafas laki laki itu semakin memburu menebar aroma nafsu busuk. Kania
mendadak mual. Ia benci bau itu !.
“Kania,
jangan biarkan ia memburu hidupmu terus” Ujar Pipin pelan seraya menatap tajam ke arah bayang laki laki itu.
“Aku
tak bisa melawannya, ia terlalu besar dan kuat”
“Bagaimana
kamu bisa tahu ? selama ini kamu tak pernah mencoba untuk melawannya “
“Aku
takut…” Isaknya pelan.
“Lihat
Kania ! semakin kamu ketakutan binatang jalang itu kian berani mencabik cabik
hidupmu..Lawan !” Seru Pipin memberi
semangat.
“Tapi…aku..aku”
Kania melangkah ragu.
“Balas
tatapan tajam, hantam cabik dahsyatnya, jangan mundur Kania !.
“Pipin…!
Tolong aku…!” Jeritnya. Kania kini
tengah berada dilingkar sempurna nafsu binatang itu.
“Lawan
Kania…! Lawan..!” Seru Pipin. Ia pun melemparkan kepada sahabatnya sebilah
pisau dengan kilatan tajam.
“Robek jantungnya..! “
Sejenak Kania terlihat bingung dengan benda di
tangannya. Sementara mata wajah bengis itu semakin berkilat dengan julur penuh
nafsu. Kania memberanikan diri untuk semakin mendekat. Dibalasnya tatapan tajam
itu. Pergumulan seru pun terjadi. Dengan penuh dendam dan kebencian yang
membludak, dada itu pun di hujam dengan tusukan pisau berkali kali hingga darah segar pun tersemburat deras. Tubuh
tinggi dan kuat itu pun roboh. Kania tertawa keras penuh kepuasan. Dengan
segera ia pun membersihkan pasir pasir dosa ditubuhnya dengan simbahan darah
segar itu. Kania terus tertawa. Ia pun berenang kian kemari dengan gelak ceria.
Kadang tenggelam dan menyembul kembali dengan riangnya. Pasir itu tak ada lagi
kini, Kania baru saja membasuhnya dengan kuyup darah segar ayah tirinya. Sementara Pipin tersenyum puas lalu pergi
meninggalkan Kania yang tengah asyik bermandikan darah dendamnya.
Pagi ini pun disambut
Kania dengan nuansa hati yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Ia menatap sekeliling taman dibelakang rumahnya
dengan wajah sesegar bayi. Marvy bahkan tak lagi melihat tatapan kosong itu di
mata istrinya. Bahkan saat terbangun tadi, Marvy mendapatkan kecupan mesra
Kania yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Ada apa
? pertanyaan itu menyembul juga dibenak Marvy. Baru tadi malam ia meminta
istrinya untuk menceritakan tentang mimpi buruk dan perilaku tak biasanya. Tapi
pagi ini, mendadak semuanya berubah. Hingga telpon itu berdering dan Marvy tak
bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
“Mana mungkin, Ma ?
.Kania bersama saya semalaman ini!” Ujarnya kaget
dan tak percaya.
“Tapi
suamiku terbunuh begitu keji, dengan beberapa tusukan di dadanya. Dan….sidik
jari Kania ada disemua sudut ruangan dimana ia terbunuh !” Tutur Ibu Kania
dengan isak pilu, sementara Marvy semakin tak mempercayai ucapan
Ibu mertuanya.
“Marvy, sekarang polisi tengah menuju rumah mu dan
ingin menangkap Kania!”
“Mustahil,
Bu ! alibi Kania terlalu kuat untuk dituduh sebagai pembunuh. Aku bersamanya
semalaman ini. Tidak mungkin !” Bela Marvy. Namun sebelum pembicaraan itu
berakhir, Terdengar suara ribut diruang tengah, Marvy pun segera menemui Kania yang tengah berhadapan dengan beberapa polisi. Dengan sigap ia pun segera mengambil alih posisi Kania
dari beberapa pertanyaan polisi sambil terus memeluk tubuh istrinya yang
mendadak sedingin es.
“Kalau memang sidik jari Kania ada di TKP. Lalu
bagaimana dengan sidik jarinya di tempat tidur yang kami tempati berdua di saat
yang sama ? Silahkan Bapak memeriksa semua sudut dirumah ini, terutama di kamar
kami “ Tantang Marvy. Pemeriksaanpun dilakukan. Sementara Kania tak berkata
sepatah pun. Sebagian raganya seolah masih berada di ambang mimpi. Ia
bahkan masih merasakan lengket dan bau amis darah segar itu.. Tapi polisi yang lalu
lalang dan sesekali menginterograsinya, perlahan memberi kesadaran di
benaknya tentang realita pasir dosa yang sesungguhnya.
Hampir
setengah hari rumah mereka di obrak abrik Polisi. Dan memang harus diakui, Marvy adalah alibi terkuat Kania, dan pastinya
bukti sidik
jarinya yang memang ada diruang tidur, dapur, kamar mandi bahkan kursi halaman
belakang. Semua meyakinkan penyidik bahwa Kania berada dirumah ini disaat Ayah
tirinya terbunuh secara mengenaskan di waktu yang sama. Siapakah
pembunuh sadis itu ? Pemeriksaan masih terus
dilakukan, namun Kania sama sekali tak bisa di tempat kan sebagai pelaku. Lalu siapa yang membunuh
laki laki bejat itu ? Tak ada jawaban yang pasti. Mungkin hanya jiwa Kania yang mampu menjawabnya. Bertahun tahun
ia menyimpan dendam hingga mencipta sosok seperti dirinya dan berharap penuh
doa dan amarah, bila suatu saat bisa
merobek jantung ayah tirinya secara biadab, sama seperti saat laki laki itu
dengan tega merobek keperawananya dan memberi warna teramat kelam disebagian
perjalanan hidupnya.
TAMAT
Note :
Dalam ilmu psikologi, double personality bisa saja
terjadi dan di sebut ”Lompatan Psikologi Transpersonal”
Ada tanggapan, sangkalan, atau pendapat ? Sangat di persilahkan untuk menambah wawasan. Terima kasih ^__^
No comments:
Post a Comment