JALAN SETAPAK SURGAWI
Oleh : Ria Jumriati
Milyaran
partikel yang bertebaran di jagat ini. Ada yang kasat mata hingga tak tercapai mata logika.
Dan mereka ada, menjadi bagian dari hidup kita, berdampingan bersama
menjelajahi setiap sel yang tercipta. Kadang terjadi keselarasan, tak jarang
mengguncang keseimbangan. Dan semua berpulang pada hukum sebab akibat. Lalu
berakhir pada satu bentang waktu, dimana keharmonisan terjadi di semua sisi,
sendi dan keseluruhan partikel terkecil sekalipun. Ada sebab akibat, tapi tak
bisa di terjemahkan logika atau sesuatu yang menuntut penjelasan akal sehat.
Terpapar sempurna, mengikuti satu arus mirip kehidupan dengan detak keabadian.
Akankah hukum sebab akibat berakhir di sini ? Pada jalan setapak menuju pintu surgawi..........
Pagi
ini aku terbangun dalam sengatan mentari yang tak biasa. Pada suara suara asing
yang menyeruak gendang telinga. Samar masih terasa kesedihan mendalam pada
kepergian Bunda. Meski semua mengatakan, Bunda telah tenang di surga. Siapa
yang menjamin semua itu benar adanya. Aku tidak bisa hidup tanpa Bunda. Aku
menyesal telah menyetir semberono dan menyebakan kematian Bunda, aku mau bunuh
diri saja!. Tenggorokanku masih terasa sakit, hatiku masih sesak terhimpit duka,
dan aku makin tak mengerti dengan keadaan yang terpapar di sekelilingku. Tempat
apa ini ??? Ada kerimbunan yang bergerombol pada satu jalan setapak yang
terbalur warna hijau lumut segar, beratap lazuardi putih yang membentuk tubuh
burung burung dan para bidadari kecil. Sementara jalan setapak lainnya,
menyajikan hanya bebatuan berkerikil, tak ada keteduhan awan, matahari pun
menyengat panas. Lalu hamparan jalan lurus yang perlahan mendaki, licin, gelap
dan tak tahu berakhir dimana. Aku tertegun, melihat pemandangan tak biasa ini.
Tak juga ada keinginan untuk mencari tahu, dimana aku ? Apa yang sedang terjadi
dengan hidupku ? Hanya kesedihan atas
kematian Bunda yang membuat nafasku masih terasa sesak. Aku tak sendiri, ada
beberapa orang yang entah siapa berdiri termangu, dan seolah tenggelam dalam
pikiran masing-masing. Apakah mereka sama bingungnya denganku ? Tak ada juga keinginan untuk mencari tahu
apalagi bertegur sapa dengan mereka. Sebagian wajah mereka dingin dan kaku,
sebagian lagi terdiam dalam senyum, sisanya berwajah cerah dan sumigrah, dan
semuanya tetap tanpa kata apalagi obrolan sesama. Aku turut termangu, tenggelam dalam
pikiran simpang siur. Sampai seseorang menepuk pundakku.
“Hai, mana jalan setapakmu ?” Tanyanya tanpa ada terlihat gerakan di
bibirnya. Aku terkesima dan tak tahu harus menjawab apa.
“Oh,
aku tahu...aku tahu….” Ujarnya lagi sambil memperhatikan wujudku dari ujung
kaki hingga kembali ke biji mataku.
“Kau masih belum di putuskan, masih
di ambang perbatasan”
“Perbatasan ? maksudmu ?” Tanyaku bingung pada lelaki dengan wujud yang
nyaris seperti bayangan tipis.
“Ya,
karena aku tidak melihat tanda itu di dahi mu ?”
Aku mengernyit seraya meraba dahiku. Terasa
dingin.
“Tanda
apa ?”
“Saat
ini kau berdiri di celah perbatasan. Antara detak kehidupan fana dan abadi. Energi
seseorang telah membawa kemari, kini dia
berada di barisan orang orang tersebut”
“Oh…! Siapa dia ? Tolong bantu aku
mengenalnya ?”
“Ha ha ha….” Ia terbahak namun terdengar hanya seperti gema yang nuh jauh
di balik gunung. “Tak mungkin energinya bisa membawamu kemari, jika kau tidak
mengenalnya”. Aku masih termangu bingung.
“Dia
Ibumu” Ujarnya dengan pandangan yang menuntun mataku tepat ke wujud Bunda. Aku
terhenyak, rasa sakit karena duka perlahan berganti senyum. Oh, Bunda....begitu
cantiknya ! Ia terlihat tampak muda, tak ada satu kerutanpun di pipi tuanya.
Tapi aku sangat mengenali wajah dan senyum itu. Wanita cantik itu adalah
Bundaku !
“Tolong...tolong
izinkan aku mendekatinya” Pintaku penuh harap.
“Sebentar ya” Ujar lelaki itu lalu melesat terbang ke arah barisan orang
orang, dimana terdapat Bundaku. Sekejap ia pun sudah berada di dekatku.
“Bisakah
?” Tanyaku cemas, lelaki itu hanya
mengangguk kaku.
“Kapan
?”
Belum lagi aku mendapat jawaban. Sekejap sesuatu telah menyeruak masuk kedalam tubuhku.
Semacam kekuatan dalam bentuk energi, entah datang dari mana. Tapi aku tak
peduli, pun ketika tubuhku terasa ringan dan melayang menuju satu tempat yang
belum pernah kubayangkan sama sekali. Tiba tiba aku sudah bersisian dengan
Bunda dan beberapa orang yang rata rata berwajah sesegar dan secantik Bunda,
raut muka mereka rata rata hampir sama. Bersih, putih, murni seperti gambaran
kulit dan wajah bidadari dalam cerita dongeng, tapi aku tetap mengenali
Bundaku. Ia tersenyum mendekat lalu menggenggam lembut jemariku. Ohh! Terima
kasih Tuhan, ternyata Bunda selamat dari kecelakaan itu, pikirku tenang.
“Shenna,
Bunda akan menuntunmu lewat energi Bunda. Pejamkan matamu, dan hanya dengarkan
suara Bunda di hatimu. Lalu ikuti cahaya
yang akan menuntunmu nanti”.
Aku menurut, meski masih enggan terpejam. Wajah
Bunda begitu damai untuk di nikmati. Tiba tiba aku merindukannya, ingin
memeluknya. Namun mataku memberi isyarat lain. Alam bawah sadarku langsung
terfokus pada satu titik cahaya yang perlahan menuntunku pada satu tempat.
Ada dua jalan setapak, seperti yang aku lihat sebelumnya. Tapi lebih banyak
di penuhi manusia dengan wajah beraneka, tak semuanya bersih, putih dan damai
seperti Bunda. Terlihat ada pula yang begitu berduka, menangis hingga mengeluarkan
darah. Suasana begitu ramai, saling silang, riuh redah, ada yang tertawa, ada
yang menangis, berjalan pelan, tertatih tatih, berlari bahkan ada yang
berkendaraan mewah. Tapi semua bisa berpindah begitu cepat. Seorang wanita
seumur Bunda yang tertatih lelah meniti jalan setapak penu kerikil tajam hingga
mengeluarkan keringat darah, bisa
berpindah ke jalan setapak yang rimbun, hijau dan berkendara mewah. Atau
sebaliknya, seorang lelaki yang tengah asyik menikmati perjalanannya yang
begitu damai, tiba tiba terhentak memasuki jalan setapak yang panas dan
menyiksa. Itu terjadi di semua manusia yang jumlahnya tak bisa di hitung oleh
mata manusiaku. Ku tatap Bunda dengan pandangan sedih dan bingung. Suaranya
lalu menggema di batinku.
“Mereka
adalah roh manusia yang telah terlepas dari dunia fana. Ada 2 jalan setapak
yang harus di lalui. Dalam waktu ratusan, ribuan bahkan jutaan tahun. Tak
pernah ada kepastian kapan akan berakhir”
“Dimana
jalan setapak Bunda ?” Tanyaku kian cemas. Ia tersenyum penuh kedamian.
Menatap lurus ke 2 jalan setapak yang terhampar.
“Shenna, Anakku….Hukum sebab akibat
belum berakhir di sini. Semua
tindakan dan prilakumu sangat berpengaruh pada jalan setapak yang akan Bunda
lalui”
“Oh...!!
Aku terhenyak dalam tangis.
“Kau lihat roh yang tertatih tatih,
dengan tubuh penuh peluh nanah itu ? Ia tak pernah sekali pun berpindah pada
jalan setapak yang rimbun dan teduh, karena ia memilih bunuh diri untuk
mengakhiri hidupnya” Ujar Bunda. Aku kembali tergugu pilu. Masih hidupkah aku ??
Apakah racun serangga itu bekerja
dengan baik dan mengantarku pada alam ini ?? Tiba tiba aku sangat
ketakutan. Jalan setapak itu tak hanya
berkerikil, tapi berduri dan penuh penyiksaan yang luar biasa.
“Jangan
bunuh diri, Anakku....Kau akan selamanya berpisah jalan setapak menuju surga,
jika jalan itu yang kau pilih. Akan tiba masanya, dimana kita berjalan
bersisian untuk menuju sesuatu yang murni dan abadi”
“Ampuni
aku Bunda..! Apa yang harus kulakukan agar Bunda tetap berada pada jalan
setapak rimbun dan teduh itu ?” Tanyaku masih dalam tangis. Kembali ia
tersenyum.
“Doa
dan prilaku baikmu, Sayangku. Bunda akan senantiasa menantimu di jalan setapak
menuju surgawi”
“Oh...!”
Aku mendekat ingin memeluknya. Tapi angin kencang tiba tiba bertiup, menghempas
tubuh Bunda dan menghilang tanpa bekas dari pandanganku. Tubuhku pun menggigil, perutku mual dan mataku
mendadak panas. Aku mengenali suara Ayah yang berteriak memanggil namaku. Shen
– Kakakku dan beberapa orang keluarga dekat.
“Shenna...Shenna
! Bangun Nak...!
“Oh..Syukurlah,
racunnya bisa di netralisir!”
“Shenna
masih hidup ! Oh, terima kasih Tuhan !
Suara suara itu masih berseliweran di benakku. Mataku
masih tertutup. Wajah Bunda dan 2 jalan setapak itu tak lagi terlihat. Dan aku
menyesali tindakan bodoh ini sekaligus mensyukuri kesempatan kedua untuk tiba
saatnya nanti, bagiku menapaki jalan
setapak menuju surga bersama Bundaku.
TAMAT
No comments:
Post a Comment