SURAT DARI SURGA
Ria Jumriati
(Dimuat di Majalah Goodhouse
Keeping Edisi Oktober)
Sejak Letisha terlahir dan melihat semua keajaiban
yang bertumbuh dan terpancar pada putri kecilnya, Marla seakan memiliki
pemandangan surga. Pada mata bening Letisha ia menemukan kedamaian, digelak
tawanya ada keceriaan yang dapat mengganti semua kerumitan hidup dan kelelahan
di tempatnya bekerja. Letisha pun semakin tumbuh menjadi gadis kecil harapan
satu satunya. Marla hanya mau meninggalkan anaknya untuk urusan kerja,
selebihnya ia selalu menghabiskan waktunya bersama Letisha.
Meski kehadiran anak merupakan anugerah.
Tapi proses kelahiran Letisha menggurat sesuatu yang terkadang membuat dada
Marla sesak berhari hari. Bila mau diakui dengan jujur, terlalu banyak airmata
dan rasa sakit yang harus dibayarnya dibanding kenikmatan bercinta dengan
lelaki yang telah menyumbang benih pada kehadiran Letisha. Ia bisa saja memikul
semua tanggung jawab yang di abaikan Irwan, tapi ketika proses Akte Kelahiran
Letisha menuntut kartu keluarga dan
surat nikah yang harus di tanda tangani Irwan, namun kerap ditolak dengan
alasan dan perkataan yang semakin membuatnya menderita.
“’Dua tahun lagi Letisha masuk TK, dia harus
punya akte” Pinta Marla pada Irwan yang tak pernah mau menikahinya.
“Pake Akte tembak saja, nggak usah buat alasan
macam macam lah! Bentaknya selalu sengit setiap
kali Marla menuntut hal yang sama.
“Aku hanya minta
semacam, Akte Kelahiran anakmu! Dan itu perlu surat nikah yang kita tanda
tangani bersama”
“Pokoknya tidak pernah
ada surat nikah untukmu, apapun alasannya !
“Tapi Letisha anakmu
Ir, sebejat apapun kamu tolong pikirkan masa depannya. Dia anak perempuan,
sesekali pakai otakmu jangan nafsumu terus! Timpal Marla emosi.
“Heh! Apa yang kita
lakukan berdasarkan suka sama suka, kamunya saja bodoh! Harusnya cuma cari enak
malah di bikin anak! Rasakan sendiri akibatnya, jangan bawa bawa aku dalam
masalahmu” Serangnya tak mau kalah.
Begitulah Irwan, lelaki yang tak pernah mengenal arti cinta sejati.
Pemburu sensasi dan penjerat kenikmatan sesaat. Wajah ganteng dan kemampuan
merayu tingkat tinggi yang dimilikinya, menjadi modal yang sangat vital untuk
menjaring mangsa dari kalangan manapun. Marla adalah korban pertamanya. Dan
sama sekali tak pernah disadarinya, jika ternyata laki laki yang telah merengut
harga diri dan masa depannya, justru lelaki yang dipercaya menjadi ayah buah hatinya.
Nasi memang telah menjadi bubur. Tapi bubur pun bisa dimodifikasi menjadi
makanan yang lezat. Sejak Irwan semakin memperlihatkan watak bejatnya, Marla
memang tak mau lagi mempedulikan itu. Entah berapa banyak korban perempuan berjatuhan akibat rayuan gombalnya. Bahkan
ada yang sampai depresi dan nyaris bunuh diri. Toh, Irwan tetap melenggang
bebas dengan alasan suka sama suka. Dan semakin sibuk mencari sensasi cinta
kepada wanita manapun yang ia suka dan bisa terjerat dengan mudah. Tapi ketika
Marla dihadapkan pada kebutuhan yang menyangkut jati diri anaknya, siapa lagi
yang bisa dituntutnya selain mengejar lelaki yang hanya memiliki kandungan
birahi dalam dirinya.
“Sudahlah Mar, toh
masih dua tahun lagi Tisha masuk TK. Mungkin bulan depan atau bahkan besok ada
terbuka jalan bagi masalahmu” Nasehat Nadia – kakaknya. Saat mereka
berkesempatan bertemu di satu cafe.
“Tapi itu persyaratan
mutlak masuk sekolah Nad. Jika aku tunda terus sementara si biadab itu semakin
tidak peduli. Apa jadinya nasib Letisha nanti ?”
“Berdoa sajalah,
semoga ada azab Tuhan yang bisa membuat dia sadar” Jawab Nadia dengan wajah
geram. Membayangkan Irwan selalu menyulut kebencian yang tak termaafkan sampai
kapanpun. Entah karma apa yang telah diperbuat adiknya, hingga bisa
terperangkap jaring sesatnya. Nasib Marla yang memiliki anak tanpa menikah,
tentu menjadi pukulan maha berat bagi Ibunya yang sejak petaka itu
terjadi, harus sering sering menginap
dirumah sakit.
“Aku memang bodoh !”
Seru Marla tiba tiba sambil menjambak rambutnya pelan.
“Bukan bodoh hanya
korban, sudahlah tidak usah memikirkan hal yang sudah lewat. Ingat, ada Letisha
yang membutuhkan banyak energi positifmu”
Marla hanya terdiam dengan pandangan kosong. Dibenaknya terbayang vonis
dokter akan kanker leher rahim yang ternyata telah lama dideritanya. Ia
berusaha untuk tidak menangis.Tapi ketika wajah mungil Letisha menyembul
dibenaknya. Tiba tiba tangisnya pun meledak. Nadia membisu dengan mata berkaca
kaca. Dipeluknya tubuh adiknya dengan iba. Sebagai kakak, dulu ia sangat mengenal Marla sebagai wanita
yang begitu menikmati hidup, karir mapan, wajah cantik dan penganut gaya hidup
metropolitan. Sayangnya dikomunitas metropolitan itu lah ia bertemu Irwan, dan
memang banyak species sejenis Irwan berkeliaran di setiap lorong kehidupan
metropolitan kelas atas. Tapi, Marla telah banyak berubah terlebih setelah
kelahiran Letisha. Ia tetap bekerja dan menabung dengan giat. Tak ada lagi
kegiatan dugem dan pesta pora yang di ikuti sejak ada manusia kecil dihidupnya.
Bahkan kebiasaan merokok yang sempat membuat kedua orang tuanya frustasi,
ternyata mampu berhenti seketika karena kehadiran anak. Letisha telah memberi
begitu banyak hal positif dihidup Marla. Hingga keluarga besarnya pun, tak lagi
mempermasalahkan kebodohan dan kecerobohannya masa lalunya.Malah berbalik
mengasihaninya.
“Marla, menurutku
kalau cuma soal akte kelahiran Tisha yang menjadi tujuan utamamu mengejar
Irwan, untuk apa sih buang energi untuk manusia bejat itu ? Ini cuma masalah
administrasi yang diminta pihak kelurahan kan ? Untuk sementara masukkan saja
nama Tisha di kartu keluargaku dengan predikat sebagai anak ke 3 ku. Seminggu
pasti deh aktenya Tisha keluar” Tutur Nadia memberi solusi.
“Bukan hanya itu Nad,
Aku....aku ingin, aku ingin di akte kelahiran Tisha akulah yang tertulis
sebagai ibu kandungnya dan Irwan sebagai ayahnya. Kalau pakai kartu keluargamu, pasti
namamu dan Mas Poer yang tercantum”
“Ini kan hanya solusi
sementara, mudah mudahan 2 atau 3 tahun lagi akte Tisha bisa di ubah sesuai
keinginanmu. Dokumen apa sih yang nggak bisa dibayar di negeri ini ?” Imbuh
Nadia santai, namun mendadak disambut oleh ledakan tangis Marla.
“Loh, Marla ?! Kok
nangis sih ? Ini kan sementara saja, kalau kamu tidak setuju, kita cari jalan keluar yang lain, ok ?” Bujuk Nadia bingung
sambil memeluk adiknya.
“Karena umurku tidak
akan selama itu Nad...!” Bisik Marla sambil terus terisak pedih.
“Apa ??? Jangan putus
asa Mar, ingat kamu masih punya keluarga yang sangat menyayangimu dan Letisha”
Marla berusaha
menenangkan diri sambil menyeka airmata yang terus mengalir dengan tissue.
Beruntung posisi duduk mereka ada dipojok, hingga hanya menarik perhatian
beberapa orang waiters dan bukan pengunjung cafe.
“Dua bulan lalu,
aku....aku...divonis positif menderita kanker serviks stadium lanjut. Dan
menurut perhitungan dokter, umurku tidak sampai satu tahun. Untuk itulah Nad,
sebelum aku benar benar di panggil Tuhan. Aku mau urusan jati diri Letisha
beres, hingga ia bisa mengingatku sebagai ibu kandungnya. Dan akte itu adalah
bukti seumur hidup yang akan dipergunakanya terus sampai dewasa” Tuturnya penuh
isak. Nadia tak sanggup berkata kata, airmata yang sama deras akhirnya bobol
juga. Ia kembali memeluk tubuh Marla. Tak ada lagi kalimat yang mampu terluncur
dari keduanya. Mereka hanya saling berpelukan dan menangis.
***
Hari berjalan dalam
derap takdir yang pasti. Marla berusaha tetap tenang menghitung hari. Ia
terduduk di meja kerjanya sambil menulis beberapa surat yang dimasukkan dalam beberapa
amplop terpisah. Kertas surat dan amplop yang di beri ornamen dan hiasan kartun
kesukaan putrinya. Di ujung pembaringan Letisha tengah tertidur dengan damai.
Marla berusaha untuk tidak menangis lagi, dihampirinya buah hatinya sambil
mengelus pipi gembilnya. Semakin dekat dengan hari yang ditentukan dokter,
Marla berusaha berdamai dengan nasibnya. Ia tak lagi memiliki semangat mengejar
Irwan. Meski kabar terakhir yang ia dengar, Irwan masuk penjara karena kasus
Narkoba. Ia pun berhenti mengeluh dan lebih banyak berdoa, berharap ada
keajaiban di hidupnya, meski berbanding terbalik dengan kenyataan yang
dirasakannya kini. Rasa sakit akibat penyakit yang dideritanya, seolah menjadi
sinyal bahwa ia pun tak lagi sanggup menahannya terlalu lama. Dan bila Tuhan
memanggilnya lebih cepat, itu semata karena Tuhan tak ingin membuatnya
menderita terlalu lama.
“Hai, lagi ngapain ?
Aku bawakan schottel macaroni keju kesukaan Tisha loh” Tiba tiba Nadia muncul
di depan pintu kamarnya. Marla tersenyum girang menyambutnya.
“Wah, aku juga suka
tuh!” Serunya senang seraya mengambil bungkusan di tangan kakaknya.
“Mar, bagaimana
kondisi mu? Tadi aku telpon kekantormu, katanya kamu cuti seminggu, makanya aku
langsung kemari”
“Aku hanya ingin
menghabiskan waktu lebih banyak bersama Tisha”
“Aku punya teman yang
bisa sembuh dengan pengobatan alternatif. Kalau kamu mau, lusa aku mau
mengajakmu kesana”
“Tidak usah Nad,
terima kasih. Sudah cukup aku merepotkan hidupmu. Aku hanya minta tolong,
jangan pernah beritahu Ibu tentang penyakitku ini ya, kasihan dia” Tuturnya
mulai sedih lagi.
“Tapi Mar…kau adikku,
dan aku tak mau kehilanganmu!”
“Nad, aku hanya minta
tolong satu hal padamu” Pinta Marla seraya berdiri mengambil beberapa amplop
yang telah disiapkannya tadi, dan menyerahkan pada Nadia yang termangu bingung.
“Surat surat untuk
Letisha ?? Sebanyak ini, untuk apa Mar ?”
“Ada 23 surat yang aku
tulis sejak aku divonis penyakit ini.
Aku mohon, kirimkan kepada Letisha setiap hari ulang tahunnya, anggap saja itu
surat yang aku kirim dari surga untuk memberinya ucapan selamat dan meyakinkan
dirinya, bahwa aku selalu sayang dan mengingatnya”
“Jangan berkata begitu
Marla, kamu akan terus hidup sampai Tisha dewasa!” Seru Nadia terisak. Marla
hanya tersenyum gamang. Ditangannya masih tersisa satu amplop namun dengan
ornamen putri dan pangeran yang tengah menikah.
“Oya, masih ada satu
surat lagi. Aku selalu berdoa Letisha mendapatkan jodoh dan pria terbaik di
usianya yang ke 26. Mohon kirimkan surat
ini padanya ya. Ada beberapa nasehat yang aku tulis untuk hari pernikahannya
kelak. Ya Tuhan ! Dia pasti akan sangat cantik dihari bahagianya itu” Tutur
Marla dengan mata terpejam dalam senyum,
namun hanya mengundang ledakan tangis Nadia, yang langsung memeluk adiknya erat.
***
Enam bulan kemudian,
kondisi Marla semakin kritis. Ia terbaring lemah di rumah sakit namun dengan
wajah yang tetap di sinari semangat. Letisha ikut berbaring disampingnya,
seolah tahu waktu kebersamaan dengan Ibu hanya tersisa sedikit lagi. Beberapa
keluarga telah berkumpul dengan wajah yang menyiratkan kesedihan yang sama.
Hanya Nadia yang tak terlihat. Sejak kondisi Marla kian buruk, ia lah yang mati
matian mengejar Irwan untuk mendapatkan akte Letisha, dan ternyata tak terlalu
sulit karena akhirnya Irwan begitu gampang di temui di ruang sel nya yang kotor
dan dingin. Hampir sore menjelang, Nadia pun datang dengan selembar Akte
ditangannya. Ia langsung menghampiri adiknya yang sudah dalam keadaan setengah
sadar.
“Marla…Marla…aku
berhasil mengurus akte Tisha. Lihat ! tercantum namamu dan Irwan sebagai orang
tuanya”
Marla yang kian lemah hanya melirik akte yang memang tercantum namanya
dan Irwan. Ia tersenyum bahagia. Semenit kemudian, detak kehidupan Marla pun
terhenti dan berganti dengan tangis pilu yang menyayat hati.
***
Letisha Permata hatiku......
Disurga memang hanya ada kebahagiaan dan kesempurnaan.
Dan dihari pernikahanmu yang indah ini, Mama mengirimkan surat ini untukmu dan
menitipkan doa kebahagiaan dan kesempurnaan dari surga untuk kehidupan
pernikahanmu kini dan nanti. Siapapun pria yang berhasil mendapatkan hatimu,
Mama yakin dia lah yang terbaik yang telah di pilih Tuhan untuk menjaga
hidupmu. Salinglah menjaga senantiasa, hadirkan hanya kebahagiaan dan
kebersamaan di hidup kalian.
Doa penuh kasih dan cinta dari Mama di surga
Letisha menyeka airmatanya sambil menutup amplop berwarna merah muda
dengan ornamen wedding party yang diberikan Nadia di hari pernikahannya. Nadia
memang telah menjalankan amanahnya membesarkan Letisha dan membawanya ke
gerbang pernikahan bersama pria terbaik sesuai harapan Marla.
“Itu adalah surat
terakhir yang dikirim Mamamu dari surga”
Letisha menatap Nadia dengan mata basah. Sejujurnya, surat surat itu
adalah wujud lain dari kehadiran Marla
di kehidupan Letisha selama ini. Setiap kali membacanya, Letisha seolah
mendengar langsung suara lembut Ibunya.
“Mamamu pasti tahu,
hidupmu akan lebih berwarna, indah dan bahagia setelah menikah. Dan tante
yakin, kini Mamamu hanya perlu mengirimkan doa untukmu dari surga”
Letisha memeluk Nadia yang telah dianggap sebagai Ibu kandungnya. Surat Marla memang tak pernah datang lagi. Namun semua surat yang
bertanda tangan Marla disimpan dan di jaga oleh Letisha melebihi harta paling
berharga yang dimiliki dalam hidupnya, dan tetap ia yakini datang dari surga.
Ia bahkan tak terlalu menggubris akte kelahiran itu. Surat surat dari surga itu
telah menjadi bukti yang memberi keyakinan dalam pada Letisha akan kebesaran cinta Ibunya yang tiada dua.
TAMAT