Sunday, March 17, 2013

Aku Bertajuk Susi


Aku Bertajuk Susi

Oleh : Ria Jumriati


Aku adalah wanita yang terlahir dari deru nafsu, buasnya birahi dan gulitanya malam dalam balutan pekat angkara murka serta aroma neraka. Aku bertajuk Susi. Sebuah merk yang lekat dengan label prostitusi dan seolah dipersiapkan untuk menjelang masa depan penuh caci maki. Aku bertumbuh dalam rangka takdir pekat yang telah membayangi tapak kecilku hingga langkah gemulaiku nan mengundang birahi liar para setan jalanan. Lenteraku adalah lembar-lembar Rupiah, udaraku adalah tidur nyenyakku, senyumku adalah mimpi tak tergapaiku. Aku adalah ilalang dalam injakan ganas binatang jalang. Saat semua mengusung tinggi harga diri, aku hanyalah seonggok sampah bertabur  lalat-lalat berbau taik  Raga dan nafasku berpacu jauh diluar peradaban manusia. Binatang-binatang yang melingkari garis nasibku adalah mereka yang dengan terpaksa membiarkan tubuh ini berbentuk hingga menguatkan jantungku yang mestinya dikoyak saja, hingga tak harus kukecap getirnya dunia liar yang mereka cipta untukku.

Aku tak tahu berapa umurku kini. Tak tahu apa agama yang kuanut dan tak pernah mengerti akan cerita mengenai kehangatan sebuah keluarga atau kisah Cinderella yang bertemu pangeran impiannya. Yang terpapar dihadapanku hanyalah pergumulan hidup yang begitu keras. Terhias pernik-pernik dosa dalam warna-warna nista yang terlalu menjijikkan, namun memaksa jiwa dan raga ini  untuk terbiasa menghadapinya dari detik ke detik hingga hitungan tahun tak terbilang. Aku adalah dosa, virus dan segala macam hal menjijikkan bertebaran dari ujung kaki hingga rambutku. Namun mereka membutuhkanku. Hukum alamkah ? Simbiosis Mutualisme selalu berlaku dimanapun.

Konon aku terlahir di sebuah rumah kardus dipinggiran tempat pembuangan sampah orang-orang kota. Aku bermain dan menikmati masa kecil bersama lalat-lalat,  cacing-cacing tanah dan ribuan kuman dari hari kehari. Demam berdarah, diare, thypus dan berbagai penyakit maut, pernah pula menyapa rongga-rongga rapuh di tubuhku. Dan aku tetap hidup. Ketika vagina ini mulai mengeluarkan darah rutinnya, dengan sepasang payudara yang kian membesar. Aku telah digauli secara biadab oleh laki-laki yang setiap malam menindihi tubuh wanita yang kukenal sebagai Ibuku di rumah kardus ini, tepat di samping pembaringanku. Lalu begitulah hari-hariku selanjutnya, bergulir dan bergilir dari penis satu ke penis lainnya. Dan ada Rupiah dari setiap penis yang sukses mengoyak dalamnya lubang vaginaku. Ha..ha…ha…ternyata nikmat juga ! aku harus tertawa, harus merasa bahagia dengan ‘berkah’ yang konon adalah rejeki dari Tuhan. 

Ah ! persetan dengan Tuhan ! aku tak percaya dia ada untuk orang-orang seperti ku. Aku tak percaya Dia Maha Pemurah. Kalau rejeki ini datang darinya, mengapa pula aku harus bergumul dengan aroma nafas dan nafsu para budak-budak seks dengan berbagai pola dan tingkah aneh yang terkadang menyiksa. Berkahkah ? jika aku harus mengulum bau busuk  mulut-mulut mereka atau menyedot air mani  mereka hingga masuk kedalam  lambungku ? Tuhan, ampuni aku jika keyakinanku akan kemurahanMu makin terkoreksi hingga pada titik dibawah nol.

Suatu pagi, seorang gadis seusiaku memberanikan diri menyapaku, dan dengan penuh rasa percaya diri ia duduk di balai-balai tempatku beristirahat. Ia tersenyum manis. Penampilannya begitu terpelajar dengan potongan rambut pendek, ia terlihat begitu segar. Aku membalas dengan senyum sinis.
“Mau apa ? tanyaku judes. Ia mengulurkan tangan halusnya. “Kenalkan, saya Anissa. Saya mahasiswa jurusan psikology, dan saya mohon bantuan Mbak untuk sedikit memberi masukan mengenai pernak-pernik dunia pelacuran, sebagai bahan dalam skirpsi saya” Ujarnya panjang. Aku tetap sinis. Lalu tertawa panjang sambil mengisap sebatang rokok ditanganku. “Skripsi ? Apa itu ? Kenapa datang ke sini ? Asal tahu saja yach, tak ada yang menarik di dunia pelacuran !”. Dia tetap tersenyum, sambil mulai mengeluarkan tape recorder berukuran kecil dan bersiap merekam suaraku.
“Menurut sebagian orang memang tak menarik, tapi justru disitu tantangannya buat saya” timpalnya sambil menggeser posisi duduknya mendekatiku.
“Baiklah….sekarang apa yang kamu mau tanyakan ?”

Ia pun mulai mewawancaraiku dengan gaya yang santai. Entah mengapa sikapnya yang ramah dan sorot matanya yang bersahabat seolah menghipnotisku untuk bercerita sepenuhnya. Ada beban yang terasa terbagi saat kisah hidupku terurai begitu saja. Kadang aku tertawa kemudian menangis, dan Anissa ikut terlarut didalamnya. Matanya terlihat dipenuhi buliran-buliran bening dengan desahan nafas tertahan. Hingga tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Gadis itu pamit sambil memberiku selembar amplop putih.

“Bukan maksud membayar Mbak Susi, tapi ini untuk mengganti waktu Mbak yang telah saya pakai tadi” Ujarnya ramah. Aku tercengang menerimanya.
“Terima kasih….tapi”
“Kalau tak keberatan, kapan-kapan aku boleh khan datang lagi ?”
“Oh..boleh..boleh” Sahutku sedikit bingung. Lalu Anissa pun berlalu dengan senyum masih melekat diwajah mungilnya.

Sepeninggal gadis itu, aku termenung sendiri. Masih terngiang ucapannya mengenai nasib orang-orang sepertiku, yang katanya mestinya, menjadi tanggung jawab pemerintah yang seharusnya membuat suatu lembaga penampungan dan rehabilitasi dengan memberikan ketrampilan khusus, hingga ada mata pencaharian tetap dan tak lagi mendekati dunia pelacuran seperti yang kugeluti selama ini. Karena menurutnya lagi, dari tempat-tempat seperti ini lah akan banyak timbul banyak penyakit kelamin dan juga penyakit kejiwaan yang berdampak sangat buruk bagi masa depan seseorang dan juga bangsa ini tentunya. Pemerintah ? Jangan harap dech ? selama aku hidup seperti ini, belum pernah ada satu pun orang yang mengaku datang dari lembaga pemerintahan, lalu mengajakku keluar dari dunia gelap ini atau memberiku uang untuk memulai hidup yang lebih baik. Mereka hanya datang memberikan penyuluhan mengenai bahaya HIV AIDS dan pentingnya pemakaian kondom, tapi tidak ada yang memberi uang. Memang ada yang datang dan memberiku uang tapi dengan imbalan seks dan birahi sesat.

Pagi ini aku terbangun dengan sesuatu yang terasa berbeda. Ada gerakan lain didalam perutku. Hah ? wajahku mendadak sepucat mayat. Aku tak mungkin hamil. Aku terlalu rajin menelan pil-pil itu. Tapi memang sudah sebulan ini darah rutin itu mendadak berhenti. Aku terduduk lemas. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Batinku menyiratkan, memang telah ada nyawa didalam rahimku. Tidak…jangan ! aku tak mau ada seorang manusiapun lahir ditempat seperti ini. Tidak lagi ! tak akan kubiarkan ia hidup dan berkembang sepertiku. Perasaanku semakin kacau. Tak tahu siapa yang harus kuhubungi. Namun tiba-tiba aku teringat Anissa. Yach ! bagaimana bila aku meminta bantuannya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menuju telpon umum terdekat.

“Kenapa Mbak ? Suara Mbak begitu gugup ditelpon tadi, ada masalah apa ? tanyanya, masih dibalai-balai tempatku beristirahat. Aku hanya terdiam lalu menangis tersedu. Anissa terlihat bingung seraya menepuk-nepuk punggungku.
“Aku hamil…dan aku tak pernah menginginkan ini ! ” Sahutku parau. Gadis itu tak terkejut. Ia mengibaskan anak rambut yang menutupi sebagian wajahku. Sentuhannya begitu lembut hingga mampu memberi sedikit ketenangan dibatinku.
 “Kalau Mbak Susi meminta saranku, aku lebih menganjurkan untuk meneruskan saja kehamilan Mbak” Ujarnya tenang.
“Enak saja ! mana mampu aku membiayainya, dan setelah besar pun anak ini pasti akan jadi pelacur seperti aku atau menjadi preman jalanan !”
“Percayalah Mbak, pasti ada jalan keluar dari semua ini, dan tak harus digugurkan”
“Tidak Anissa, kamu tak pernah merasakan kepedihan menjadi seorang pelacur. Hidup ditempat seperti ini dan bergaul dengan setan-setan malam ! Pokoknya, aku harus menggugurkan kandunganku ini !”
Anissa berusaha menenangkanku yang semakin panik dengan tangisan ramai.
“Anissa, kamu pernah bercerita kalau Ibumu seorang dokter kandungan,
bagaimana …kalau aku minta bantuannya untuk….”

Gadis itu menggeleng cepat. “Tidak Mbak, Mama tak pernah mau melakukan aborsi illegal. Harus ada indikasi medis yang jelas untuk mengeluarkan bayi yang belum cukup bulan dari kandungan Ibunya”
“Tolonglah mengerti Aku Nis, aku ini siapa ? Mana mungkin aku bisa membesarkan seorang anak ? mengurusnya dan memberikan masa depan buatnya ? coba pikir !”
“Mbak, aborsi memiliki resiko yang sangat tinggi dari segi fisik dan mental. Jangan kira, setelah proses pengguguran kandungan selesai. Lalu selesai pula masalahnya”
“Aku nggak peduli, yang penting aku tak mau perutku gendut dan punya anak. Dan aku mohon bantuanmu Nis, sangat !
“Mbak bisa mati dan kalau hidup pun akan terus dihantui perasaan bersalah hingga bisa mengakibatkan gangguan kejiwaan”
“Nissa, kamu nggak ngerti juga yach ! aku akan merasa lebih bersalah jika membiarkan anak ini hidup tapi besarnya nanti tetap jadi lonte seperti ibunya !
Gadis itu terdiam dengan desahan panjang. Namun ia tetap saja tak memberi kepastian atas permintaanku itu. Dan akupun semakin kacau.

Waktu pun berlalu. Sudah seminggu ini Anissa tak mengunjungiku, entahlah mungkin ia sudah bosan atau telah cukup mendapatkan data-data dariku untuk  bahan skripsinya. Seiring dengan itu aku tetap menjalankan profesi malamku seperti biasa, namun terbatas hanya untuk pelanggan tetap saja, mengingat kondisiku ini. Tapi ternyata, hari ini ia kembali dan duduk di balai-balai istirahatku seperti biasa.
“Bagaimana ? Ibumu mau membantu ? tanyaku langsung.
“Aku belum bercerita apapun pada Mama”
“Yah sudah, pulang saja kamu ! usirku kesal. Gadis itu kembali tersenyum seperti biasa.
“Mbak, bagaimana kalau aku bantu carikan Mbak pekerjaan yang lebih terhormat, tapi Mbak harus janji untuk tetap menjaga kandungan ini” Ujarnya serius. Aku terbahak geli.
“Anissa, aku saja Ibunya tak mau ia lahir. Kenapa kamu repot-repot mau menyelamatkan anak ini ? Sahutku masih dengan tawa geli. “Lagi pula pekerjaan apa ? paling juga jadi pembantu, iya khan ? lanjutku pesimis.
“Bukan Mbak, temanku punya restauran dan ia butuh pramusaji. Kalau Mbak serius aku bisa bantu” Aku terenyuh melihat kesungguhan dimatanya. Anissa seolah Bidadari yang diutus Tuhan untuk menerangi gulitanya hidupku.
“Bagaimana Mbak ?”
“Kalau aku ketahuan hamil pasti akan dipecat, lalu aku mau kerja apa lagi?”
“Aku bisa meyakinkan mereka, percaya dech”
“Ah, sudahlah Nis. Kalau kamu tak bisa bantu. Aku akan berusaha sendiri, aku sudah dapat informasi kok mengenai bidan yang mau dibayar untuk menggugurkan kandunganku”
“Jangan Mbak” sergahnya cepat.
“Kenapa ?”
“Begini saja dech, Mbak  mau khan  aku bawa ke klinik kandungan tempat Mama praktek ?”
“Katanya Mamamu nggak mau bantu”
“Memang, tapi setidaknya Mama bisa bantu menjelaskan kepada Mbak mengenai bahaya aborsi”
“Ah sudahlah ! aku bosan Nis, kamu nggak ngerti juga ! Sahutku kesal.
“Tolong Mbak, sekali ini saja. Bila perlu aku mau bayar untuk waktu yang Mbak luangkan untuk bertemu Mamaku”

Aku kembali terenyuh. Gadis itu begitu tulusnya. Aku tak mengerti apa yang ada dipikirannya, ia begitu bersemangat ingin menyelamatkan kandunganku. Seumur hidupku baru kali ini aku mendapat perhatian yang begitu tulus dari seseorang yang sebelumnya sama sekali asing dikehidupanku.

Wanita itu memiliki sorotan mata sehangat milik Anissa. Ia tersenyum menyambut kehadiranku, sementara Anissa berdiri anggun disampingnya.
“Ini Mamaku Mbak” Wanita itu mengulurkan tangannya.
“Apa kabar ?” tanyanya ramah. Aku tersenyum kikuk, tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku merasa tengah berada di dunia yang begitu asing namun bersahabat.
“Anissa sudah banyak bercerita tentang Susi”
Aku masih bungkam dalam kebingunganku sendiri. Lalu terdengar desahan panjangnya.
“Berapa usia kandunganmu Susi ? tanyanya hati-hati. Aku tersentak kikuk.
“Mungkin baru 2 bulan, Bu”
“Dia pasti bayi yang cantik karena tengah dikandung oleh Ibu yang juga cantik” Ujarnya sambil menatap mataku dalam. Aku semakin kikuk, tanpa sengaja mataku tertambat pada gambar janin yang meringkuk pasrah dalam kandungan ibunya, tergantung didinding ruang prakteknya dalam ukuran lumayan besar.
“Gambar itu tak jauh beda dengan anak cantik dalam kandunganmu, bagian tubuhnya sudah mulai terbentuk” Ujarnya seolah dapat membaca jalan pikirannku. Aku bergidik ngeri melihat bentuknya yang seperti kuda laut.

“Tapi saya tak ingin memilikinya, saya hanya….” Kalimatku terputus oleh tangis. Ia berdiri dan duduk disampingku seraya menepuk-nepuk punggungku.
“Siapapun kamu, apapun  yang kamu lakukan. Bayi ini adalah anakmu dan ia punya hak untuk hidup. Kalau selama ini kamu tak mempercayai keberadaan Tuhan. Cobalah mulai untuk sekedar mengenal keagunganNya lewat detak-detak lembut di rahimmu kini. Dan kamu tahu Susi ? Proses pengguguran kandungan untuk janin seusia kehamilanmu adalah dengan cara menusuk-nusuk anak tersebut, selanjutnya bagian tubuhnya dipotong-potong dengan menggunakan alat semacam tang khusus yang gunanya untuk menarik bagian tubuh  yang dapat dicapai alat itu. bisa lambung, bahu, leher atau apa saja lalu ditusuk dan diremukkan serta disobek-sobek menjadi serpihan kecil, tujuannya agar mudah dikeluarkan dari rahimmu. Coba pikirkan sejenak, tegakah kamu melakukan itu untuk darah dagingmu sendiri  di usianya yang masih sangat muda ?

Mendengar penuturan Ibu Anissa aku semakin tersedu. Ada perasaan berdosa merambati benakku. Sementara Anissa terus memberiku lembaran-lembaran tissue.
“Orang seperti saya, tak akan pernah bisa memberikan masa depan buat seorang anak”
Sahutku terbata dalam isak. Wanita bijak itu membelai rambutku lembut.
“Apa kamu mau terus seperti sekarang ini Susi ?” Tanyanya seraya menatap mata sembabku. Aku menggeleng keras lalu kembali tersedu.
“Percayalah, jika hati kecilmu memiliki keinginan untuk berubah pada arah yang lebih baik. Tuhan pun akan memberikan jalannya i”
“Saya tidak bisa apa-apa Bu, sekoah saya cuma sampai kelas 3 SD” Ujarku pesimis.
“Tidak masalah, yang penting kamu punya niat untuk berubah”
Wanita itu memeluk tubuhku. Aku masih menangis namun setitik pencerahan tiba-tiba muncul didasar hatiku yang paling dalam. Ada cinta yang perlahan merambati  relung-relung hatiku untuk janin yang kukandung ini. Ia bergerak lembut seolah menari menyambut lentera batinku yang hampir redup dan mati.

Batas antara hari ini dan hari kemarin hanya berkisar 24 jam. Tapi perubahan yang kini terjadi dihidupku seolah dapat menembus jutaan kilometer kecepatan cahaya bahkan peradaban rendah yang pernah menyimbahi hidupku. Aku memang bertajuk Susi. Seorang anak, gadis dan kini wanita yang pernah terlahir dengan symbol prostitusi. Namun kini aku adalah seorang Susi, seorang pramusaji dan yang lebih membanggakan dari semua itu, kini aku adalah seorang Ibu bagi  “Salma” putri kecilku yang hampir saja kubunuh seandainya saja  Tuhan tak segera mengirimkan Bidadari bernama Anissa di gelapnya kehidupanku. Lalu memberiku kesempatan menjadi manusia seutuhnya dengan harga diri yang semestinya. Tuhan, ampuni dosaku. Kini harus kukoreksi habis-habisan mengenai kemurahanMu yang pernah begitu tak kupercayai sepanjang masa gelap kehidupanku.

TAMAT

*Dimuat di Majalah GoodHouse Keeping 2009*
*Foto : from Google"