Tuesday, April 16, 2013

REALITA PASIR DOSA


REALITA PASIR DOSA
Oleh : Ria Jumriati



Kaki mungil Kania masih terlalu dini untuk menapak pasir dosa. Wajah bening itu bahkan terlalu suci untuk dibasuh tetes demi tetes angkara dari lelaki yang tiap malamnya gemar memasuki gerbang birahi Ibunya. Kania masih terlalu lugu untuk mengartikan belaian yang terasa aneh menyentuh kulit bayinya. Tapi gadis kecil itu selalu dipaksa untuk menapak pasir pasir dosa yang ditebar di hamparan sunyi hidup seorang Kania yang yatim tanpa perhatian dan kasih sayang utuh.


            Mama pergi dulu ya, sayang…” Bisik Ibunya sambil mengelus rambut panjangnya. Mata bulat itu hanya menatap sendu tubuh semampai Nina yang berjalan gemulai meninggalkannya. Ia mendesah pelan, dipandanginya boneka Barbie berambut pirang dipangkuannya. Celana dalam Barbie seksi itu tersingkap karena baju mini yang dikenakan. Dada Kania mendadak berdetak melihatnya. 

            “Buka ya sayang…”  Kata kata itu terus terngiang ditelinganya. Tangan kekar yang menjelajahi tubuh mungilnya dan…..Kania pun berlari kencang menuju kamarnya. Ia memejam matanya erat. Menyusup dikegelapan dan kedalaman selimut tidurnya. Jantungnya masih berdetak kencang. Ia berusaha tidur dan meraih mimpinya.
            “Pipin..!” Teriaknya kencang.  Sahabat kecilnya itu pun datang dengan senyum seperti biasa.
            “Kania ? Kenapa kau tenggelamkan dirimu ?”
            “Aku ingin membersihkan pasir pasir dosa ini…aku aku jijik !” Sahutnya dengan wajah duka. Pipin memandang wajah Kania dengan tatapan iba. Mimpi kanak kanak Kania pun semakin terkoyak menjadi serpihan kecil tanpa bentuk.

            “Jangan Kania, kamu akan mati Kania !” Seru Pipin sedih
            “Biar kan aku ! Aku tak mau terlihat…aku ingin tenggelam” 


Pipin memandangi tubuh Kania yang kian jauh terjerembab. Berusaha mengingkari realita pasir dosa. Hidup dalam bayang kesesakan setiap saat. Ia memang tak terlihat namun pasir pasir dosa itu masih melekat erat di setiap inci tubuhnya. Pipin pun tak tega dan  berusaha menarik Kania dari kedalaman yang gelap.

            “Jangan…Jangan…Jangan!!” Teriak Kania. Akhirnya ia pun terbangun seorang diri dengan keringat yang mengucuri segenap tubuhnya.  Mimpi itu masih terus membayangi hingga tubuh kecilnya beranjak dewasa kini. Lalu serpihan kenangan  buruk yang terus tertancap dalam di benak Kania hingga tercipta satu dendam penuh bara dan amarah. Pasir pasir dosa itu masih menyimbahi tubuh semampainya. Wajah bengis bernafsu binatang itu, masih jelas tergambar di benaknya yang terluka. Semua kejadian menjijikan itu kian menancap tajam di benaknya yang kerap berdarah. Dan tetap menyumbat bibir Kania untuk tak pernah menceritakan semua ‘kebengisan’ itu, bahkan pada Ibu kandungnya sendiri. Dan   Marvy – lelaki yang dinikahinya semata untuk menghilangkan kenangan buruk itu, tapi tak bisa ! Ia terus hadir dalam berbagai sosok menakutkan dalam kenangan dan mimpi buruknya. Lalu Pipin pun tumbuh, dalam imajinasi Kania. Memiliki dendam membara dan amarah sekelam jiwa Kania.

            “Kania….” Marvy mengambil jemarinya dan menaruh didada bidangnya. Gadis itu menoleh pelan dengan tatapan kosong.

            “Apa yang kau pikirkan sayang ? Cobalah nikmati kebersamaan kita” Bujuk Marvy penuh kasih.  Ketika dirasakannya Kania kerap menolak dan tak pernah menikmati ‘kebersamaan’ mereka sebagai pengantin baru. Meski Marvy adalah lelaki terbaik dan terlembut yang telah dipilih Kania diantara lusinan sosok yang mencoba menaklukkan hatinya. Dan Marvy memang telah berhasil membawa Kania ke permukaan. Ia tak lagi menenggelamkan diri seperti saat lalu. Tapi pasir pasir dosa itu ? Ternyata kehadiran Marvy tak mampu membersih kan setiap bulir yang pernah ditebar ayah tirinya. Gadis itu bahkan menemukan seringai srigala lelaki bejat itu di desah birahi suaminya. Dan Kania benci itu ! ia pun kembali menyerusuk dalam kepekatan dan kegelapan selimut tidurnya.

            “Kania, berceritalah padaku…apa yang membuatnya sering  bermimpi buruk ?”  Bujuk Marvy seraya memeluk tubuh istrinya erat.
            “Aku benci wajah itu.....” Bisiknya pelan. Perlahan air mata menetes dipipinya.
            “Siapa Kania ?”
            “Lelaki yang memaksaku untuk menapak pasir pasir dosa”

Marvy menatap mata istrinya dengan pandangan tak mengerti.  Ia pun mendesah pelan. Sejak mengenal gadis itu, memang banyak hal misterius yang menyimbahi hidupnya. Tapi Marvy tak peduli, sejak melihat mata sendu itu keinginan untuk melindungi dan memilikinya semakin kuat. Sorot mata Kania ibarat kumparan magnet berkekuatan besar yang kerap menarik Marvy untuk menyelami kedalaman kelam yang hingga kini tak pernah bisa diterjemahkannya.  Tapi ia begitu mencintai Kania yang terkadang terlihat rapuh namun memiliki ketegaran tersendiri.

            Malam pun semakin merangkak menuju pagi. Kania tertidur gelisah dalam pelukan suaminya. Namun wajah berseringai srigala itu kembali datang lagi. Kania berlari lelah di antara lorong lorong pekat mimpi buruknya.

            “Pipin ! Pipin ….tolong aku !” jeritnya.
Dalam sekejap bayang  Pipin hadir dengan senyum lembut seperti biasa. Baju putih longgar yang dikenakannya berkibar pelan tertiup angin. Ia mengulurkan jemarinya untuk menolong Kania.
            “Dia datang lagi..!” Bisiknya ketakutan sambil bersembunyi dibalik tubuh Pipin. Sementara nafas laki laki itu semakin memburu menebar aroma nafsu busuk. Kania mendadak mual. Ia benci bau itu !.
            “Kania, jangan biarkan ia memburu hidupmu terus” Ujar Pipin pelan seraya menatap tajam ke arah bayang laki laki itu.
            “Aku tak bisa melawannya, ia terlalu besar dan kuat”
            “Bagaimana kamu bisa tahu ? selama ini kamu tak pernah mencoba untuk melawannya “
            “Aku takut…” Isaknya pelan.
            “Lihat Kania ! semakin kamu ketakutan binatang jalang itu kian berani mencabik cabik hidupmu..Lawan !”  Seru Pipin memberi semangat.
            “Tapi…aku..aku” Kania melangkah ragu.
            “Balas tatapan tajam, hantam cabik dahsyatnya, jangan mundur Kania !.
            “Pipin…! Tolong aku…!”  Jeritnya. Kania kini tengah berada dilingkar sempurna nafsu binatang itu.
            “Lawan Kania…! Lawan..!” Seru Pipin. Ia pun melemparkan kepada sahabatnya sebilah pisau dengan kilatan tajam.
            Robek jantungnya..! “  

Sejenak Kania terlihat bingung dengan benda di tangannya. Sementara mata wajah bengis itu semakin berkilat dengan julur penuh nafsu. Kania memberanikan diri untuk semakin mendekat. Dibalasnya tatapan tajam itu. Pergumulan seru pun terjadi. Dengan penuh dendam dan kebencian yang membludak, dada itu pun di hujam dengan tusukan pisau berkali kali hingga darah segar pun tersemburat deras. Tubuh tinggi dan kuat itu pun roboh. Kania tertawa keras penuh kepuasan. Dengan segera ia pun membersihkan pasir pasir dosa ditubuhnya dengan simbahan darah segar itu. Kania terus tertawa. Ia pun berenang kian kemari dengan gelak ceria. Kadang tenggelam dan menyembul kembali dengan riangnya. Pasir itu tak ada lagi kini, Kania baru saja membasuhnya dengan kuyup darah segar ayah tirinya.  Sementara Pipin tersenyum puas lalu pergi meninggalkan Kania yang tengah asyik bermandikan darah dendamnya.

Pagi ini pun disambut Kania dengan nuansa hati yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Ia menatap sekeliling taman dibelakang rumahnya dengan wajah sesegar bayi. Marvy bahkan tak lagi melihat tatapan kosong itu di mata istrinya. Bahkan saat terbangun tadi, Marvy mendapatkan kecupan mesra Kania yang sangat berbeda dari sebelumnya.  Ada apa ? pertanyaan itu menyembul juga dibenak Marvy. Baru tadi malam ia meminta istrinya untuk menceritakan tentang mimpi buruk dan perilaku tak biasanya. Tapi pagi ini, mendadak semuanya berubah. Hingga telpon itu berdering dan Marvy tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

            “Mana mungkin, Ma ? .Kania bersama saya semalaman ini!” Ujarnya kaget dan tak percaya.
            “Tapi suamiku terbunuh begitu keji, dengan beberapa tusukan di dadanya. Dan….sidik jari Kania ada disemua sudut ruangan dimana ia terbunuh !” Tutur Ibu Kania dengan isak pilu, sementara Marvy semakin tak mempercayai ucapan Ibu mertuanya.
            “Marvy, sekarang polisi tengah menuju rumah mu dan ingin menangkap Kania!”
            “Mustahil, Bu ! alibi Kania terlalu kuat untuk dituduh sebagai pembunuh. Aku bersamanya semalaman ini. Tidak mungkin !” Bela Marvy. Namun sebelum pembicaraan itu berakhir, Terdengar suara ribut diruang tengah, Marvy pun segera menemui  Kania  yang tengah  berhadapan dengan beberapa polisi. Dengan sigap ia pun segera mengambil alih posisi Kania dari beberapa pertanyaan polisi sambil terus memeluk tubuh istrinya yang mendadak sedingin es.

            “Kalau memang sidik jari Kania ada di TKP. Lalu bagaimana dengan sidik jarinya di tempat tidur yang kami tempati berdua di saat yang sama ? Silahkan Bapak memeriksa semua sudut dirumah ini, terutama di kamar kami “ Tantang Marvy. Pemeriksaanpun dilakukan. Sementara Kania tak berkata sepatah pun. Sebagian raganya seolah masih berada di ambang mimpi. Ia bahkan masih merasakan lengket dan bau amis darah segar itu.. Tapi polisi yang lalu lalang dan sesekali menginterograsinya, perlahan memberi kesadaran di benaknya tentang realita pasir dosa yang sesungguhnya.

            Hampir setengah hari rumah mereka di obrak abrik Polisi. Dan memang harus diakui, Marvy adalah alibi terkuat Kania, dan pastinya bukti sidik jarinya yang memang ada diruang tidur, dapur, kamar mandi bahkan kursi halaman belakang. Semua meyakinkan penyidik bahwa Kania berada dirumah ini disaat Ayah tirinya terbunuh secara mengenaskan di waktu yang sama. Siapakah pembunuh sadis itu ? Pemeriksaan masih terus dilakukan, namun Kania sama sekali tak bisa di tempat kan sebagai pelaku. Lalu siapa yang membunuh laki laki bejat itu ? Tak ada jawaban yang pasti. Mungkin hanya jiwa Kania yang mampu menjawabnya. Bertahun tahun ia menyimpan dendam hingga mencipta sosok seperti dirinya dan berharap penuh doa dan amarah, bila  suatu saat bisa merobek jantung ayah tirinya secara biadab, sama seperti saat laki laki itu dengan tega merobek keperawananya dan memberi warna teramat kelam disebagian perjalanan hidupnya.  

TAMAT



Note :

Dalam ilmu psikologi, double personality bisa saja terjadi dan di sebut ”Lompatan Psikologi Transpersonal”


Ada tanggapan, sangkalan, atau pendapat ? Sangat di persilahkan untuk menambah wawasan. Terima kasih ^__^
             
           

Saturday, April 13, 2013

KEPUTUSAN





Semua panca indera yang kita miliki, punya fungsinya masing masing.  Misalnya telinga. Ada banyak sekali hal yang kita dengar setiap harinya. Untuk itu kita punya hati untuk menyaring, mana yang baik untuk di cerna naluri,  dan mana yang hanya membuat lubang di hati. Keputusan mutlak berada di tangan kita. Orang lain, boleh berkata apapun dan mau tak mau di dengar oleh telinga kita. Tapi kita tak hidup dari apa yang mereka omongkan. Entah itu perkataan baik apalagi buruk. 

            Saya tinggal di komplek dengan ukuran cluster yang terbilang kecil di banding cluster lainnya yang ada. Setiap hari, ada saja omongan tetangga usil yang membuat kerja hati kita semakin berat. Sayangnya, saya memang tak menyediakan energy untuk hal semacam itu. Meski kadang harus bersitegang dengan ego dan harga diri, yang selalu tak rela saat memproses apa yang di dengar oleh telinga. Belum lagi, pergaulan di kantor yang masing masing orang memiliki emosi dan masalahnya sendiri. Sebenarnya terlalu banyak, hal yang membuat hati kita berlubang.  Tapi untuk apa ? Baiklah, kita memang hanya manusia biasa yang bisa sakit hati atau punya batas kesabaran pada satu tekanan tertentu. 


            Salah satu orang terbaik yang saya kenal dan  saya beri istilah “Perpanjangan Tangan Tuhan” pernah berkata. “Semua tergantung keputusan” Seseorang bisa lulus sarjana atau memilih untuk menjadi wirausaha selalu berawal dari  keputusan yang mereka buat. Hal itu berlaku pula di seluruh lini hidup ini. “Keputusan” . Akankah kita memutuskan untuk hidup dari perkataan orang lain, yang kebanyakan hanya menghanguskan energy positif milik kita. Atau  memutuskan untuk hanya mendengar dan berkolaborasi dengan hati, ego dan harga diri, untuk mencernanya menjadi sampah tak berguna yang tak perlu mendapat ruang sedikit pun. Lalu jalani hidup dengan segala konsekwensi logis dan realistis untuk mencapai tujuan – tujuan mulia menurut takaran hidup yang kita punya.


            Mari kita putuskan hanya yang keberpihakannya bisa menciptakan energy positif bagi kehidupan kita !