Thursday, December 15, 2016

Surat Dari Surga - #Cerpen





SURAT DARI SURGA
Ria Jumriati
(Dimuat di Majalah Goodhouse Keeping Edisi Oktober)


Sejak Letisha terlahir dan melihat semua keajaiban yang bertumbuh dan terpancar pada putri kecilnya, Marla seakan memiliki pemandangan surga. Pada mata bening Letisha ia menemukan kedamaian, digelak tawanya ada keceriaan yang dapat mengganti semua kerumitan hidup dan kelelahan di tempatnya bekerja. Letisha pun semakin tumbuh menjadi gadis kecil harapan satu satunya. Marla hanya mau meninggalkan anaknya untuk urusan kerja, selebihnya ia selalu menghabiskan waktunya bersama Letisha.

 Meski kehadiran anak merupakan anugerah. Tapi proses kelahiran Letisha menggurat sesuatu yang terkadang membuat dada Marla sesak berhari hari. Bila mau diakui dengan jujur, terlalu banyak airmata dan rasa sakit yang harus dibayarnya dibanding kenikmatan bercinta dengan lelaki yang telah menyumbang benih pada kehadiran Letisha. Ia bisa saja memikul semua tanggung jawab yang di abaikan Irwan, tapi ketika proses Akte Kelahiran Letisha menuntut kartu keluarga dan  surat nikah yang harus di tanda tangani Irwan, namun kerap ditolak dengan alasan dan perkataan yang semakin membuatnya menderita.


“’Dua tahun lagi Letisha masuk TK, dia harus punya akte” Pinta Marla pada Irwan yang tak pernah mau menikahinya.
“Pake Akte tembak saja, nggak usah buat alasan macam macam lah! Bentaknya selalu sengit setiap kali Marla menuntut hal yang sama.
            “Aku hanya minta semacam, Akte Kelahiran anakmu! Dan itu perlu surat nikah yang kita tanda tangani bersama”
            “Pokoknya tidak pernah ada surat nikah untukmu, apapun alasannya !
            “Tapi Letisha anakmu Ir, sebejat apapun kamu tolong pikirkan masa depannya. Dia anak perempuan, sesekali pakai otakmu jangan nafsumu terus! Timpal Marla emosi.
             
            “Heh! Apa yang kita lakukan berdasarkan suka sama suka, kamunya saja bodoh! Harusnya cuma cari enak malah di bikin anak! Rasakan sendiri akibatnya, jangan bawa bawa aku dalam masalahmu” Serangnya tak mau kalah.

Begitulah Irwan, lelaki yang tak pernah mengenal arti cinta sejati. Pemburu sensasi dan penjerat kenikmatan sesaat. Wajah ganteng dan kemampuan merayu tingkat tinggi yang dimilikinya, menjadi modal yang sangat vital untuk menjaring mangsa dari kalangan manapun. Marla adalah korban pertamanya. Dan sama sekali tak pernah disadarinya, jika ternyata laki laki yang telah merengut harga diri dan masa depannya, justru lelaki yang dipercaya menjadi ayah buah hatinya. Nasi memang telah menjadi bubur. Tapi bubur pun bisa dimodifikasi menjadi makanan yang lezat. Sejak Irwan semakin memperlihatkan watak bejatnya, Marla memang tak mau lagi mempedulikan itu. Entah berapa banyak korban perempuan  berjatuhan akibat rayuan gombalnya. Bahkan ada yang sampai depresi dan nyaris bunuh diri. Toh, Irwan tetap melenggang bebas dengan alasan suka sama suka. Dan semakin sibuk mencari sensasi cinta kepada wanita manapun yang ia suka dan bisa terjerat dengan mudah. Tapi ketika Marla dihadapkan pada kebutuhan yang menyangkut jati diri anaknya, siapa lagi yang bisa dituntutnya selain mengejar lelaki yang hanya memiliki kandungan birahi dalam dirinya.
             
            “Sudahlah Mar, toh masih dua tahun lagi Tisha masuk TK. Mungkin bulan depan atau bahkan besok ada terbuka jalan bagi masalahmu” Nasehat Nadia – kakaknya. Saat mereka berkesempatan bertemu di satu cafe.
             
            “Tapi itu persyaratan mutlak masuk sekolah Nad. Jika aku tunda terus sementara si biadab itu semakin tidak peduli. Apa jadinya nasib Letisha nanti ?”
             
            “Berdoa sajalah, semoga ada azab Tuhan yang bisa membuat dia sadar” Jawab Nadia dengan wajah geram. Membayangkan Irwan selalu menyulut kebencian yang tak termaafkan sampai kapanpun. Entah karma apa yang telah diperbuat adiknya, hingga bisa terperangkap jaring sesatnya. Nasib Marla yang memiliki anak tanpa menikah, tentu menjadi pukulan maha berat bagi Ibunya yang sejak petaka itu terjadi,  harus sering sering menginap dirumah sakit.
             
            “Aku memang bodoh !” Seru Marla tiba tiba sambil menjambak rambutnya pelan.
            “Bukan bodoh hanya korban, sudahlah tidak usah memikirkan hal yang sudah lewat. Ingat, ada Letisha yang membutuhkan banyak energi positifmu”


Marla hanya terdiam dengan pandangan kosong. Dibenaknya terbayang vonis dokter akan kanker leher rahim yang ternyata telah lama dideritanya. Ia berusaha untuk tidak menangis.Tapi ketika wajah mungil Letisha menyembul dibenaknya. Tiba tiba tangisnya pun meledak. Nadia membisu dengan mata berkaca kaca. Dipeluknya tubuh adiknya dengan iba. Sebagai kakak,  dulu ia sangat mengenal Marla sebagai wanita yang begitu menikmati hidup, karir mapan, wajah cantik dan penganut gaya hidup metropolitan. Sayangnya dikomunitas metropolitan itu lah ia bertemu Irwan, dan memang banyak species sejenis Irwan berkeliaran di setiap lorong kehidupan metropolitan kelas atas. Tapi, Marla telah banyak berubah terlebih setelah kelahiran Letisha. Ia tetap bekerja dan menabung dengan giat. Tak ada lagi kegiatan dugem dan pesta pora yang di ikuti sejak ada manusia kecil dihidupnya. Bahkan kebiasaan merokok yang sempat membuat kedua orang tuanya frustasi, ternyata mampu berhenti seketika karena kehadiran anak. Letisha telah memberi begitu banyak hal positif dihidup Marla. Hingga keluarga besarnya pun, tak lagi mempermasalahkan kebodohan dan kecerobohannya masa lalunya.Malah berbalik mengasihaninya.
             
            “Marla, menurutku kalau cuma soal akte kelahiran Tisha yang menjadi tujuan utamamu mengejar Irwan, untuk apa sih buang energi untuk manusia bejat itu ? Ini cuma masalah administrasi yang diminta pihak kelurahan kan ? Untuk sementara masukkan saja nama Tisha di kartu keluargaku dengan predikat sebagai anak ke 3 ku. Seminggu pasti deh aktenya Tisha keluar” Tutur Nadia memberi solusi.

            “Bukan hanya itu Nad, Aku....aku ingin, aku ingin di akte kelahiran Tisha akulah yang tertulis sebagai ibu kandungnya dan Irwan sebagai ayahnya. Kalau pakai kartu keluargamu, pasti  namamu dan Mas Poer yang tercantum”
            “Ini kan hanya solusi sementara, mudah mudahan 2 atau 3 tahun lagi akte Tisha bisa di ubah sesuai keinginanmu. Dokumen apa sih yang nggak bisa dibayar di negeri ini ?” Imbuh Nadia santai, namun mendadak disambut oleh ledakan tangis Marla.
             
            “Loh, Marla ?! Kok nangis sih ? Ini kan sementara saja, kalau kamu tidak setuju, kita cari jalan keluar yang lain, ok ?” Bujuk Nadia bingung sambil memeluk adiknya.
            “Karena umurku tidak akan selama itu Nad...!” Bisik Marla sambil terus terisak pedih.
            “Apa ??? Jangan putus asa Mar, ingat kamu masih punya keluarga yang sangat menyayangimu dan Letisha”
            Marla berusaha menenangkan diri sambil menyeka airmata yang terus mengalir dengan tissue. Beruntung posisi duduk mereka ada dipojok, hingga hanya menarik perhatian beberapa orang waiters dan bukan pengunjung cafe.
             
             
            “Dua bulan lalu, aku....aku...divonis positif menderita kanker serviks stadium lanjut. Dan menurut perhitungan dokter, umurku tidak sampai satu tahun. Untuk itulah Nad, sebelum aku benar benar di panggil Tuhan. Aku mau urusan jati diri Letisha beres, hingga ia bisa mengingatku sebagai ibu kandungnya. Dan akte itu adalah bukti seumur hidup yang akan dipergunakanya terus sampai dewasa” Tuturnya penuh isak. Nadia tak sanggup berkata kata, airmata yang sama deras akhirnya bobol juga. Ia kembali memeluk tubuh Marla. Tak ada lagi kalimat yang mampu terluncur dari keduanya. Mereka hanya saling berpelukan dan menangis.
***
            Hari berjalan dalam derap takdir yang pasti. Marla berusaha tetap tenang menghitung hari. Ia terduduk di meja kerjanya sambil menulis beberapa surat yang dimasukkan dalam beberapa amplop terpisah. Kertas surat dan amplop yang di beri ornamen dan hiasan kartun kesukaan putrinya. Di ujung pembaringan Letisha tengah tertidur dengan damai. Marla berusaha untuk tidak menangis lagi, dihampirinya buah hatinya sambil mengelus pipi gembilnya. Semakin dekat dengan hari yang ditentukan dokter, Marla berusaha berdamai dengan nasibnya. Ia tak lagi memiliki semangat mengejar Irwan. Meski kabar terakhir yang ia dengar, Irwan masuk penjara karena kasus Narkoba. Ia pun berhenti mengeluh dan lebih banyak berdoa, berharap ada keajaiban di hidupnya, meski berbanding terbalik dengan kenyataan yang dirasakannya kini. Rasa sakit akibat penyakit yang dideritanya, seolah menjadi sinyal bahwa ia pun tak lagi sanggup menahannya terlalu lama. Dan bila Tuhan memanggilnya lebih cepat, itu semata karena Tuhan tak ingin membuatnya menderita terlalu lama.
             
            “Hai, lagi ngapain ? Aku bawakan schottel macaroni keju kesukaan Tisha loh” Tiba tiba Nadia muncul di depan pintu kamarnya. Marla tersenyum girang menyambutnya.
            “Wah, aku juga suka tuh!” Serunya senang seraya mengambil bungkusan di tangan kakaknya.
            “Mar, bagaimana kondisi mu? Tadi aku telpon kekantormu, katanya kamu cuti seminggu, makanya aku langsung kemari”
            “Aku hanya ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama Tisha”
            “Aku punya teman yang bisa sembuh dengan pengobatan alternatif. Kalau kamu mau, lusa aku mau mengajakmu kesana”
             
            “Tidak usah Nad, terima kasih. Sudah cukup aku merepotkan hidupmu. Aku hanya minta tolong, jangan pernah beritahu Ibu tentang penyakitku ini ya, kasihan dia” Tuturnya mulai sedih lagi.
            “Tapi Mar…kau adikku, dan aku tak mau kehilanganmu!”
            “Nad, aku hanya minta tolong satu hal padamu” Pinta Marla seraya berdiri mengambil beberapa amplop yang telah disiapkannya tadi, dan menyerahkan pada Nadia yang termangu bingung.
            “Surat surat untuk Letisha ?? Sebanyak ini, untuk apa Mar ?”
            “Ada 23 surat yang aku tulis  sejak aku divonis penyakit ini. Aku mohon, kirimkan kepada Letisha setiap hari ulang tahunnya, anggap saja itu surat yang aku kirim dari surga untuk memberinya ucapan selamat dan meyakinkan dirinya, bahwa aku selalu sayang dan mengingatnya”
            “Jangan berkata begitu Marla, kamu akan terus hidup sampai Tisha dewasa!” Seru Nadia terisak. Marla hanya tersenyum gamang. Ditangannya masih tersisa satu amplop namun dengan ornamen putri dan pangeran yang tengah menikah.
             
            “Oya, masih ada satu surat lagi. Aku selalu berdoa Letisha mendapatkan jodoh dan pria terbaik di usianya yang ke 26. Mohon  kirimkan surat ini padanya ya. Ada beberapa nasehat yang aku tulis untuk hari pernikahannya kelak. Ya Tuhan ! Dia pasti akan sangat cantik dihari bahagianya itu” Tutur Marla dengan mata terpejam dalam senyum,  namun hanya mengundang ledakan tangis Nadia, yang  langsung memeluk adiknya erat.
***
             
            Enam bulan kemudian, kondisi Marla semakin kritis. Ia terbaring lemah di rumah sakit namun dengan wajah yang tetap di sinari semangat. Letisha ikut berbaring disampingnya, seolah tahu waktu kebersamaan dengan Ibu hanya tersisa sedikit lagi. Beberapa keluarga telah berkumpul dengan wajah yang menyiratkan kesedihan yang sama. Hanya Nadia yang tak terlihat. Sejak kondisi Marla kian buruk, ia lah yang mati matian mengejar Irwan untuk mendapatkan akte Letisha, dan ternyata tak terlalu sulit karena akhirnya Irwan begitu gampang di temui di ruang sel nya yang kotor dan dingin. Hampir sore menjelang, Nadia pun datang dengan selembar Akte ditangannya. Ia langsung menghampiri adiknya yang sudah dalam keadaan setengah sadar.
             
            “Marla…Marla…aku berhasil mengurus akte Tisha. Lihat ! tercantum namamu dan Irwan sebagai orang tuanya”
Marla yang kian lemah hanya melirik akte yang memang tercantum namanya dan Irwan. Ia tersenyum bahagia. Semenit kemudian, detak kehidupan Marla pun terhenti dan berganti dengan tangis pilu yang menyayat hati.
***

Letisha Permata hatiku......

Disurga memang hanya ada kebahagiaan dan kesempurnaan. Dan dihari pernikahanmu yang indah ini, Mama mengirimkan surat ini untukmu dan menitipkan doa kebahagiaan dan kesempurnaan dari surga untuk kehidupan pernikahanmu kini dan nanti. Siapapun pria yang berhasil mendapatkan hatimu, Mama yakin dia lah yang terbaik yang telah di pilih Tuhan untuk menjaga hidupmu. Salinglah menjaga senantiasa, hadirkan hanya kebahagiaan dan kebersamaan di hidup kalian.


Doa penuh kasih dan cinta dari Mama di surga


Letisha menyeka airmatanya sambil menutup amplop berwarna merah muda dengan ornamen wedding party yang diberikan Nadia di hari pernikahannya. Nadia memang telah menjalankan amanahnya membesarkan Letisha dan membawanya ke gerbang pernikahan bersama pria terbaik sesuai harapan Marla.
             
            “Itu adalah surat terakhir yang dikirim Mamamu dari surga”
            Letisha menatap Nadia dengan mata basah. Sejujurnya, surat surat itu adalah  wujud lain dari kehadiran Marla di kehidupan Letisha selama ini. Setiap kali membacanya, Letisha seolah mendengar langsung suara lembut Ibunya.
             
            “Mamamu pasti tahu, hidupmu akan lebih berwarna, indah dan bahagia setelah menikah. Dan tante yakin, kini Mamamu hanya perlu mengirimkan doa untukmu dari surga”


Letisha memeluk Nadia yang telah dianggap sebagai Ibu kandungnya. Surat Marla memang tak pernah datang lagi. Namun semua surat yang bertanda tangan Marla disimpan dan di jaga oleh Letisha melebihi harta paling berharga yang dimiliki dalam hidupnya, dan tetap ia yakini datang dari surga. Ia bahkan tak terlalu menggubris akte kelahiran itu. Surat surat dari surga itu telah menjadi bukti yang memberi keyakinan dalam pada Letisha akan  kebesaran cinta Ibunya yang tiada dua.


TAMAT

            

Friday, December 09, 2016

Tujuan Hidup


Bayangkan saat terbangun di pagi hari tanpa ada tujuan dan rencana pasti ? Yang ada kantuk kembali mengarahkan energi kita pada kemalasan untuk tidur lagi. Tujuan ibarat bensin yang menggerakkan semua mesin di tubuh kita untuk terpacu pada satu tujuan. Tujuan pula yang menciptakan banyak ide ! Meski ide atau keinginan kadang tak satu frekwensi dengan nasib atau pun takdir. Percayalah, hidup pasti terasa lebih kosong tanpa ide.

Yang pasti tujuanlah yang membuat kita melangkah pelan tapi pasti pada semua hal yang kita cita - citakan.
Tujuanlah yang bersusah payah menyamakan aliran gelombang nasib dan takdir agar satu frekwensi dengan ide dan keinginan kita.
Tujuanlah yang menguatkan, saat kepenatan kaki dan hati terkadang melewati batas toleransi, hingga bisa berdamai dengan hormon untuk terus menjajaki keadaan yang terus di cibiri keadilan.
Tujuanlah, yang mampu membangunkan kantuk sekarat untuk menggemakan doa, agar pinta segera menjadi nyata... 
Tujuan pula, yang paling bisa memahami ketika segala sesuatu berjalan lamban dan terasa tak pernah sampai.
Tujuan adalah hidup. Ketika saya masih bernafas, saat itu pula saya harus selalu punya tujuan. Hingga suatu saat nanti, alam akan berkonspirasi membantu saya mewujudkan semua hal baik di hidup ini. 
 
 Semangat !
 

Wednesday, December 07, 2016

Ibu, Temui Aku di Titian Shirat...



Kepergian orang tua untuk selamanya, baik Bapak apalagi Ibu, sama mengundang duka mendalam, yang terkadang terbalut penyesalan tentang bakti yang tergerus waktu dan kesibukan. Saya salah satunya. Jarak tempuh rumah dan kediaman orang tua terbentang antar kota antar provinsi. Hingga menyisakan waktu hanya 1 hari kebersamaan sebelum akhirnya Ibu saya di ambil oleh Sang Pencipta. Seminggu sebelum wafatnya Almarhumah Ibu tercinta, Tuhan yang Maha Baik masih memberi kesempatan pada saya untuk memotong kuku, memandikan dan menyuapi makanan terakhirnya dari tangan saya. Ada firasat kecil yang terus saya tolak, bahwa masih banyak waktu kebersamaan dengannya, meski kenyataannya, seminggu kemudian Ibu mendadak koma dan tak pernah membuka mata hingga sakratul maut menyapa. 

Saya menjadi saksi tanpa tidur dan lelah, saat tubuh Ibu bertransaksi dengan ruhnya. Beraneka expresi tergambar di wajahnya nan lembut. Kadang sedih, senyum, mengernyit lalu datar dan tenang. Perjalanan sakratul tengah dijajakinya. Saat perlahan aliran air infus tak lagi di terima tubuhnya. Sesendok air putih pun tak lagi mampu di tegak.Perlahan dan pasti, terlepas hal-hal duniawi, karena proses transaksi dengan sang ruh hampir mencapai titik temu. 
Bersahutan kalimat Syahadat mengiringi proses ruh terlepas dari jasad Ibu. Tak ada kernyitan pedih di wajahnya tapi sesungging senyum cantik, saat akhir transaksi ruh & jasad itu di tandai dengan hembusan terakhir Ibu dalam Khusnul Khotimah.

Innalillahi Wa Innailahi Rojiun.  
Ruh Ibu dalam keyakinanku, terbang tinggi bersama 2 malaikat berwajah putih dengan kain kafan dan wewangian semerbak produksi Surga Illahi Robbi. Melewati pintu pintu langit dimana semua malaikat penjaganya membuka dengan wajah sumigrah menyambut ruh baik sesuai amalan Ibu semasa hidup. Lalu menyerahkan seluruh ruh kehidupan yg pernah di pinjamkan Allah SWT. Pada pintu langit utama, amalan Ibu senantiasa di terima olehNYA.
Dalam keyakinanku, ruh Ibu terlalu suci dan bahagia untuk sekedar menengok kami anak-anaknya di dunia fana. Terlalu indah apa yang terpapar di perjalanan sucinya saat ini.
Dalam keyakinanku, inilah perjalanan indah yang sering ia ceritakan semasa hidup. Secarik kertas berisi doa siang malam, tulisan-tulisan tangan Ibu tentang do'a, yang tersemat hampir di setiap Al-qur'an yang di milikinya. Ketulusan beramal, membantu tiada pamrih dan keikhlasan tiada berujung, saat tidak semua anak memahami kecewa dan sakit hati yang mungkin di pendamnya. Kini, semua itu menjadi lentera terindah, terang gemerlap tiada pernah redup, yang Insya Allah terus menemani luas dan lapangnya alam kubur Ibuku, di temani jutaan amalan baiknya hingga hari akhir datang dan mengangkatnya ke Surga Illahi Robbi. 
Dalam keyakinan imanku, sosok Ibu kelak akan meraihku menjajaki titian Shirat menuju keabadian nan Indah di Surga Al-Jannah. Insya Allah.... 

Amin YRA
20 November 2016, 15.37 WIB