Thursday, December 14, 2017

Emak - Kompetisi Blog #KarenaIbu

EMAK 

Semasa remaja, terus terang Aku tidak pernah merasa bangga memiliki Ibu seperti yang setiap hari Ku panggil “Emak”. Tubuh gembur, selalu lelah, terkadang sering marah tanpa sebab dan sering ikut campur urusanku sebagai remaja yang sedang bersemangat mencari jati diri. Dari semua yang di tampilkan Emak, satu kesimpulan ku. Ia adalah Ibu rumah tangga yang tidak bahagia. Pernah Aku begitu membencinya, karena melarangku ikutan hiking bersama teman sekelasku. Alasannya konyol sekali, takut Aku di gigit ular. Dari sekian banyak siswa yang ikut, apakah tiba tiba hanya aku yang di pilih Si  Ular sebagai mangsa utama ? Marah dan kecewa, Akupun nekat kabur dan tetap ikut hiking tanpa menghiraukan jeritan pilu Emak.

Sesama teman se-gank, hanya Aku yang tak pernah membanggakan keberadaan Emak. Sita selalu aktif memposting foto-foto Mommy nya di social media, yang langganan menjadi pembicara di berbagai kelas motivasi. Diana, rutin dan begitu antusias membedah novel – novel best seller tulisan Bundanya. Sedang aku ? hanya punya Emak yang cuma bisa memasak, mencuci, setrika dan selalu terlihat lelah. Apa yang bisa di banggakan ? Bukankah itu mirip mirip pembantu rumah tangga ?  Kelebihannya cuma karena dia adalah Ibu yang melahirkanku. Bertahun tahun aku di siksa dengan perbedaan itu. Bertahun tahun aku mengutuki nasib, kenapa punya Emak yang tak punya prestasi membanggakan seperti Mommy Sita dan Bunda Diana. Aroma kedua wanita itu pun semerbak wangi parfume bermerek, sementara Emak ? terkadang bau bawang atau minyak angin. Tidak pantas untuk di pamerkan  !

Tahun pun berlalu, Aku memilih kost dan jarang bertemu Emak. Semakin hari, Emak terlihat lebih tua dibanding wanita sebayanya. Ada perasaan kosong saat berjauhan dengan Emak. Tak ada lagi rendang lezat buatannya, suara cemprengnya saat membangunkan Aku untuk sholat shubuh, dan sarapan nasi uduk yang selalu sempat dibuat untuk keluarganya meski harus bangun pukul 4 pagi setiap hari. Tiba tiba aku kangen bau bawang dan minyak angin Emak.
Entah karena apa, sekonyong banyak hal salah yang telah aku lakukan pada Emak. Seorang Ibu, yang tak pernah Ku akui prestasinya. Namun, membuat Sita dan Diana serta temanku yang lain selalu memilih rumahku sebagai tempat belajar, karena satu alasan. Bisa merasakan “Rujak Tumbuk” ala Emak yang kelezatan bumbunya tak bisa di temui di resto manapun. Atau Pisang Goreng Kremesnya yang tak harus memakai borax tapi tetap garing hingga berjam jam. Emak Ku yang selalu memohon hingga memaksaku menjual nasi uduk buatannya sebagai tambahan belanja dapur, tapi sering ku tolak meski selalu laku keras ketika dengan terpaksa aku pernah membantu menjualnya. Dan semua itu, tak pernah kuanggap sebagai prestasi. Aku tak pernah menyadari, karena jerih payah Emak Aku bisa meraih semua ini !
 “ Emak, lagi ngapain ?” Tanyaku melalui telpon. Geruduk sesal menyeruak ramai di hatiku.
Tak biasanya, suara Emak terdengan pelan bahkan hampir merintih. Tak ada sepatah kata yang terucapan, hanya desahan nafasnya yang terdengar melalui handphoneku.
                “Emak..Emak kenapa ? Kok tidak ada suaranya ? Jawaban yang terdengar adalah suara Bapak.
                “Emak sakit Nak. Kalau kamu tidak sibuk, pulanglah” Pinta Bapak pelan.
                “Kenapa aku tidak di beritahu dari awal Pak!” Protesku sedih.
                “Emak tidak mau mengganggumu, karena takut kamu marah”

Marah ? Sedurhaka itukah Aku Tuhan ? Aku terhenyak pedih. Geruduk sesal itu semakin kencang menghujam dadaku.  Perjalanan menuju rumah dan bertemu Emak, serasa begitu panjang. Aku ingin bertemu Emak, ingin memeluk Emak, ingin bersujud dikakinya dan memohon ampun !. Waktu seakan menghantuiku, waktu menyeringai tajam mengejekku dan waktu pasti menghukumku sebagai anak yang tak pernah menghargai jasa Ibunya.

Sesampai di rumah, hanya ada kelenggangan. Ku buka pintu rumah yang tak terkunci. Kamar tidur Emak sudah di penuhi beberapa orang. Wajah duka dan tangisan pilu. Aku tersungkur lunglai.
Emak.....jangan pergi ! Dan semua terasa melayang dan gelap.

“Emak, meski kata maaf ini tak sempat kau dengar terucap dari bibirku yang terlalu angkuh mengakui kehebatanmu. Tetaplah ampuni Aku, pada gundukan tanah liat tempat jasadmu tersemayam. Ku panjat dan kumohon doa, agar waktu tak menghujatku karena tak pernah menghargai jerihmu.

Emak, pada taburan bunga kematianmu. Izinkan aku menitipkan sepanjat doa meski berhias sesal yang tak selesai hingga Tuhan kini menggenggammu dalam keindahan hidayah dan amalan hidupmu.

“Emak, biarkan dan izinkan aku tetap mengenangmu dalam gaungan doa di batinku...
Istirahatlah Emak,  Izinkanlah doaku menemani setiap langkah panjangmu menuju Surga Illahi Rabbi”

Kututup hari dengan jutaan bayangan wajah lugu, sedih, ceria dan lelah yang tergurat silih berganti di wajah Emak. Kepiluan bertabur sesal mungkin tak pernah hilang, sampai karma menyapa dan mungkin bisa menyapu semua dosaku.