Wednesday, October 20, 2010

REVIEW BOOK : 5 KELOPAK MAWAR BERBISA

Kebahagiaan tak terbeli bagi seorang penulis, adalah ketika karyanya dibaca banyak orang. Memberi tak sekedar hiburan tapi juga pengetahuan mengenai banyak hal yang kemudian bisa merubah jalan pikiran mereka, dengan menyimpulkan banyak hal postive di setiap tulisan yang telah tergores dibeberapa novel-novel saya yang sudah terbit. 

Setelah Hendrik Marboen Merina Zega yang menjadikan Novel "Dunia Kristal" sebagai bahan utama skripsinya dalam meraih gelar sarjana kependidikan. Kini saya temui Novel " 5 Kelopak Mawar Berbisa" yang di jadikan bahan penelitian untuk tulisan yang dibuat oleh Bertha Mintari. 

Tak ada yang mampu saya ucapkan, selain rasa syukur karena bisa memberi pengetahuan kepada banyak orang, yang saya lakukan tanpa tujuan apapun selain kenikmatan dalam merangkai kata demi kata yang selalu terlahir tulus dari hati dan imajinasi ini.

Berikut adalah posting tentang Novel karya saya  "5 Kelopak Mawar Berbisa" yang direview oleh Bertha Mintary dan saya copas dari blognya http://berthamintari.blogspot.com. Terima Kasih Banyak !



1.1  Latar Belakang Masalah

Karya sastra yang kita baca dibangun oleh pengarangnya sebagai hasil rekaman berdasarkan perenungan, penafsiran, penghayatan hidup terhadap realitas sosial dan lingkungan kemasyarakatan tempat pengarang hidup dan berkembang (Sumardjo, 1984: 15). Novel sebagai karya sastra dibangun dari berbagai unsur fiksi seperti plot, karakter, tema, point of view dan sebagainya. Sebagai karya fiksi, novel banyak mengandung nilai-nilai sosial, politik, etika, religi, filosofis yang bertolak dari pengungkapan kembali suatu fenomena kehidupan (Sumardjo, 1984: 67).

Pengarang sebagai pencipta karya sastra juga merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Ketika ia menciptakan suatu karya, ia tidak hanya terdorong oleh luapan atau desakan dari dalam dirinya untuk mengungkapkan perasaan atau cita-citanya, tetapi juga berkeinginan untuk menyampaikan pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, pendapat, kesan-kesan, dan juga keprihatinan-keprihatinan atas suatu peristiwa yang terjadi kepada seseorang atau kelompok orang (Sardjono, 1992: 10).

Ria Jumriati, lahir pada tanggal 18 Desember 1972 di Jakarta. Kiprahnya di dunia tulis-menulis telah menghasilkan 5 karya fiksi, yaitu Sperma Buat Ratri (kumpulan cerpen, 2007), Lima Kelopak Mawar Berbisa (novel, 2007), Bunga-Bunga Bangkai (novel, 2008), Dunia Kristal (novel, 2009), Ketika Wanita Mensyukuri Apa Yang Ada (Moslem's Chicken Soup, 2010). Karyanya yang berjudul Mata Sang Bidadari (kumpulan cerpen) pernah mendapat penghargaan dari Tabloid Indonesia, serta pernah meraih Juara I dalam Lomba Catatan Harian Ibu oleh Tabloid Ibu dan Anak (2004).

Salah satu novel yang menarik perhatian penulis adalah novel yang berjudul Lima Kelopak Mawar Berbisa (kemudian disingkat LKMB), karena dalam novel tersebut Ria Jumriati mengangkat masalah trauma yang berawal pada peristiwa traumatik yang dialami oleh seorang korban jugun ianfu, kemudian membawa dampak trauma pada anak dan keturunannya. Novel LKMB ditulis oleh Ria Jumriati, karena terinspirasi oleh penderitaan para wanita yang dijadikan jugun ianfu pada masa penjajahan Jepang. Jugun ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur yang terlibat dalam perbudakan seks pada Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang Jepang. Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945. Para wanita Indonesia biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan paksaan, diimingi-imingi ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu asal Indonesia, Ibu Mardiyem) (http://id.wikipedia,org/wiki/jugunianfu).

Hartono (Hindra dan Kimura, 2007: VIII-IX), advokat dan pembela umum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta berpendapat bahwa sampai saat ini, para mantan jugun ianfu yang masih hidup umumnya menghadapi masalah seperti (1) kesehatan yang buruk akibat kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang mereka alami selama menjadi jugun ianfu; (2) trauma akibat perbudakan seks yang harus mereka jalani pada usia yang masih muda; (3) tertekan secara sosial karena dianggap sebagai bekas pelacur dan manusia yang kotor sebagai akibat dari terbatasnya informasi yang benar tentang sejarah jugun ianfu; (4) tertekan secara psikis karena adanya perasaan bersalah telah menjadi jugun ianfu dan; (5) sebagian besar jugun ianfu hidup dalam keadaan miskin karena ditolak bekerja di tengah-tengah masyarakat dengan alasan mereka merupakan bekas pelacur.

Dalam novel LKMB, dikisahkan secara dramatis yang berawal pada penderitaan yang dialami oleh Marni, sebagai korban jugun ianfu. Peristiwa yang dialami oleh Marni kemudian membawa dampak rasa trauma, kebencian, dan dendam yang dirasakan oleh keluarganya, yaitu Sagiyem, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura. Trauma seorang jugun ianfu menciptakan rantai dendam tanpa akhir bagi keturunannya, meskipun generasi dan zaman telah berganti.

Tokoh Marni diceritakan sebagai perempuan korban tindak kekerasan tentara Jepang pada tahun 1942. Ia diculik paksa oleh tentara Jepang di hadapan keluarganya, kemudian dijadikan jugun ianfu di rumah pelacuran. Ia mengalami pemerkosaan dan diperlakuan secara tidak manusiawi oleh tentara Jepang. Setelah empat tahun diculik tentara Jepang, Marni dipulangkan dalam keadaan yang menyedihkan. Ia ditemukan oleh warga dengan tubuh penuh luka dan tidak berdaya. Masyarakat tidak menerima keberadaan Marni di lingkungan mereka. Mereka menganggap Marni sebagai bekas pelacur dan manusia ‘kotor’. Marni sering mendapat hinaan dan gunjingan dari masyarakat. Perlakuan buruk tersebut, membuat batin Marni semakin terluka dan keadaan kejiwaannya terganggu. Marni harus menanggung pederitaan sepanjang hidupnya. Trauma yang dialami Marni memengaruhi orang-orang terdekatnya, yaitu Sagiyem, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura.

Sagiyem merupakan ibu dari Marni. Ia merawat luka-luka pada tubuh Marni sampai sembuh. Sagiyem sangat sedih melihat penderitaan Marni yang mengalami trauma parah. Keadaan tersebut sangat mempengaruhi psikologis Sagiyem. Dalam pikiran Sagiyem sering terbayang pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap anaknya. Perasaannya bertambah terluka karena masyarakat memperlakukan Marni dengan tidak adil. Ia memiliki rasa dendam yang besar terhadap bangsanya sendiri atas penolakan dan penghinaan masyarakat terhadap keadaan anaknya. Ia pun menanamkan rasa dendam tersebut kepada Winarsih, cucunya.

Winarsih adalah anak dari Marni (cucu Sagiyem). Winarsih adalah tokoh yang tidak pernah merasakan kebahagian masa hidupnya. Masa kecilnya pun hanya selalu terisi dengan berbagai peristiwa yang menyedihkan. Winarsih tidak pernah merasakan kasih sayang dari ayah dan ibunya. Sejak kecil Winarsih telah berpisah dengan orangtuanya, ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Pada waktu berumur lima tahun Winarsih menyaksikan kejadian penculikan orangtuanya. Semenjak itu Winarsih tidak pernah bertemu dengan orangtuanya. Setelah empat tahun berlalu, Winarsih menyaksikan ibunya ditemukan oleh warga desa dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Ia melihat tubuh ibunya dipenuhi luka dan kemaluannya mengeluarkan darah. Setiap hari, Winarsih menyaksikan penderitaan ibunya yang terkena gangguan jiwa, serta ikut merawat luka yang tersebar di seluruh tubuh ibunya. Meskipun pada waktu itu usianya masih kecil, peristiwa yang menimpa orangtuanya tetap tersimpan di ingatan Winarsih sampai dewasa.
Winarsih, sebagai seorang anak kecil, ia mengalami trauma yang mendalam terhadap penderitaan ibunya. Kesedihan yang terus-menerus ia alami dan luka batin yang besar pada diri Winarsih memicu keinginannya untuk membalas dendam terhadap orang-orang yang membuat ibunya menderita. Wanita tersebut kemudian membangun naluri membunuh, dengan menjadikan orang-orang Jepang sebagai sasaran dendamnya.
Rumijah adalah anak dari Winarsih. Rumijah selalu merasakan tidak bahagia hidup bersama ibunya. Ia tidak dapat menjalani hidup dengan bebas dan menentukan pilihannya sesuai dengan hatinya. Ia memiliki hubungan dengan orang Jepang yang bernama Hori Motokura. Hubungan itu ditentang keras oleh ibunya. Winarsih sangat membenci Hori karena ia adalah orang Jepang. Bagi Winarsih, di dalam diri Hori mengalir darah penjajah yang harus dibunuh. Hubungan antara Rumijah dengan Winarsih menjadi tidak harmonis. Setiap hari pertengkaran dan pertentangan sering terjadi dikeluarganya. Rumijah sering mendapat perlakuan kasar dari ibunya. Ia sering ditampar, dimaki, dan diancam akan dibunuh. Selain itu, Winarsih selalu memaksa Rumijah agar membunuh suaminya sendiri. Pada akhirnya, Winarsih membunuh Hori dengan racun. Semenjak kematian Hori, hubungan antara ibu dan anak itu tidak pernah lagi harmonis.

Hana Motokura adalah anak dari pasangan Rumijah dan Hori Motokura, yang merupakan cucu dari Winarsih. Sejak bayi, Hana diasuh oleh Winarsih sehingga Hana lebih dekat dengan neneknya daripada ibunya. Hana sangat terpengaruh oleh pemikiran Winarsih tentang kebencian terhadap orang Jepang. Winarsih selalu menceritakan pemerkosaan yang dialami Marni (nenek buyut) kepada Hana, sampai psikologis Hana menjadi terganggu. Dalam pikiran Hana tersimpan gambaran buruk akan kekejaman orang Jepang terhadap leluhurnya. Pengalaman traumatis yang diceitakan kepadanya memicu keinginannya akan membalas dendam. Ia juga diajar membuat ramuan jamu, racun, dan penawar racun. Secara diam-diam Hana mengasah naluri membunuhnya dan mencari korban orang Jepang. Selain Rumijah, tidak ada seorang pun yang mengetahui rencana Hana tersebut. Namun, sebagai seorang ibu, Rumijah bertekad tidak akan membiarkan Hana mewarisi dendam sesat neneknya.

Berdasarkan gambaran singkat di atas, novel LKMB mencerminkan gambaran stres pasca-trauma, yaitu sebuah gangguan yang terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan seseorang atau membuat seseorang merasa tidak berdaya. Stres pasca-trauma dapat memengaruhi mereka yang secara pribadi mengalami bencana atau musibah besar, mereka yang menjadi saksi atas kejadian tersebut, dan mereka yang membantu dalam kejadian tersebut, termasuk pekerja sosial dan petugas keamanan. Bahkan hal ini dapat terjadi di kalangan teman atau kerabat dari orang yang mengalami trauma (Smith dan Segal via internet, 2008).

Berdasarkan dari uraian di atas, penulis tertarik meneliti novel LKMB dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan penelaahan sastra yang menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra (Semi, 1984: 46). Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti mengenai stres pasca-trauma yang terdapat pada lima tokoh wanita dalam novel LKMB, yaitu Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura.
Dipilihnya novel LKMB karya Ria Jumriati sebagai objek penelitian karena berdasarkan pengamatan penulis, belum ada peneliti yang menganalisis novel ini secara khusus dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra. Penelitian novel tersebut akan difokuskan kepada sisi psikologis lima tokoh wanita yang mengalami stres pasca-trauma yang disebabkan oleh peristiwa traumatik yang dialami Marni akibat penjajahan Jepang.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana tokoh dan penokohan dalam novel Lima Kelopak Mawar Berbisa karya Ria Jumriati?

1.2.2 Bagaimana stres pasca-trauma pada lima tokoh wanita dalam novel Lima Kelopak Mawar Berbisa karya Ria Jumriati?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Lima Kelopak Mawar Berbisa karya Ria Jumriati.

1.3.2 Medeskripsikan stres pasca-trauma pada lima tokoh wanita dalam novel Lima Kelopak Mawar Berbisa karya Ria Jumriati.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat atau sumbangan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perkembangan dalam kritik sastra dan ilmu sastra, khususnya telaah sastra dengan pendekatan psikologi sastra.

1.4.2 Menambah pengetahuan pembaca khususnya mengenai karya sastra tentang stres pasca trauma yang dialami oleh lima tokoh wanita dalam novel LKMB karya Ria Jumriati.

1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan penulis belum ada yang meneliti khusus novel LKMB karya Ria Jumriati dalam bentuk penelitian ilmiah. Namun, novel LKMB telah disinggung dalam bentuk resensi yang ditulis oleh Damuhbening yang mengatakan bahwa bahasa dalam novel ini sangat singkat, padat, dan langsung pada pokok permasalahan. Tidak ada kata-kata yang mendayu biru. Kisah yang begitu padat dendam dirangkai begitu cepat, namun tanpa kehilangan ruhnya. Tidak ada kesan terburu-buru dari penulisnya dalam mengeksekusi akhir kisah. Sang penulis tetap menjaga alurnya dengan bahasa yang singkat dan lugas. Itulah yang membuat novel tipis ini menarik untuk dibaca (Damuhbening via internet, 2009).

Sebelumnya, pernah ada penelitian tentang stres pasca-trauma yang ditulis oleh Ruby (2006) dengan skripsinya yang berjudul: Post-Traumatic Stress Disorder Akibat Kekerasan Fisik dan Emosional pada Tokoh Gambir dalam Novel Pintu Terlarang Karya Sekar Ayu Asmara pada Tahun 2006. Dalam skripsinya, Ruby memfokuskan penelitiannya pada psikologis tokoh laki-laki, yaitu Gambir akibat kekerasan fisik dan emosional dengan pengetahuan Post-Traumatic Stress Disorder, yaitu gangguan stres pasca-trauma. Dalam penelitian tersebut dibahas tentang gejala-gejala stres pasca-trauma yang dialami tokoh Gambir akibat kekerasan fisik dan emosional. Terdapat 8 gejala stres pasca-trauma pada psikologis Gambir. Hal ini dipengaruhi oleh peristiwa traumatik yang dialaminya sejak kecil sampai dewasa. Teori stres pasca-trauma yang digunakan dalam penelitian tersebut menurut Carlson dan Ruzek.
Berbeda dengan Ruby, penelitian ini akan mengungkapkan stres pasca-trauma yang dapat diakibatkan karena menyaksikan suatu peristiwa traumatik dan membantu dalam peristiwa traumatik tersebut. Hal ini dapat terjadi di kalangan teman atau kerabat dari orang yang mengalami trauma.
Dalam penelitian ini, penulis membahas mengenai gejala-gejala stres pasca-trauma yang dialami lima tokoh wanita, yaitu Marni, Sagiyem, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura. Terdapat 17 gejala stres pasca-trauma pada psikologis lima tokoh wanita. Teori stres pasca-trauma yang digunakan dalam penelitian tersebut menurut Smith dan Segal.

Berdasarkan teori yang sama, novel yang berbeda, dan obyek penelitian yang berbeda (tokoh dalam novel LKMB), penulis tertarik untuk menelah lebih lanjut psikologis lima tokoh wanita, yaitu Marni, Sagiyem, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura dengan pengetahuan stres pasca-trauma.
Teori tentang trauma dipakai untuk menjembatani teori tentang stres pasca-trauma.

1.6 Landasan Teori

Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan dua landasan teori yakni struktural dengan memfokuskan pada tokoh dan penokohan dan psikologi sastra. Teori tokoh dan penokohan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui gambaran yang lebih jelas mengenai tokoh dan penokohan dari setiap tokoh dalam cerita, baik itu tokoh utama dan tokoh tambahan. Penggambaran yang lebih jelas tersebut akan membantu pembaca untuk lebih memahami tokoh serta perwatakannya dalam cerita. Penelitian ini menggunakan teori pikologi sastra, karena peneltian ini mengangkat masalah psikologi, stres pasca-trauma yang dialami oleh lima tokoh wanita dengan memaparkan gejala-gejala stres pasca-trauma lima tokoh wanita tersebut. Dalam teori psikologi sastra ini menggunakan pengetahuan tentang trauma untuk menjembatani ke pengetahuan stres pasca-trauma lebih lanjut.

1.6.1 Tokoh dan Penokohan

Tokoh menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan ( Nurgiyantoro, 1998: 165).

Dilihat dari segi peranan tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita. Sebaliknya ada tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam cerita. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama, sedangkan yang kedua adalah tokoh tambahan (Nurgiyantoro, 1998: 176).

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan. Pada novel-novel lain, tokoh utama tidak muncul dalam setiap kejadian atau tak langsung ditunjukkan dalam setiap bab, namun ternyata dalam kejadian atau bab tersebut tetap erat berkaitan atau dapat dikaitkan dengan tokoh utama (Nurgiyantoro, 1998: 177).
Adapun penokohan adalah pelukisan yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita, juga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Pengertian tersebut sekaligus menyaran pada teknik perwujudan tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1998: 165).

1.6.2 Psikologi Sastra

Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Perhatian dapat diarahkan kepada pengarang dan pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks itu sendiri (Hartoko dan Rahmanto, 1985: 126). Pendekatan psikologis terhadap teks itu sendiri dapat dilangsungkan secara deskriptif belaka, namun sering mendekati suatu penafsiran. Pengetahuan tentang psikologi mendorong kita untuk menyadari bahwa sebuah karya sastra sekurang-kurangnya mempunyai dua jenis makna, yaitu jelas dan terselubung. Sesuatu watak tidak harus dinilai dari keadaan lahir saja, tetapi harus dipertimbangkan apa yang dilakukan dan apa yang dikatakannya (Semi, 1984: 48-49).

Sastra dapat memanfaatkan psikologi karena karya sastra merupakan aktivitas ekspresi manusia. Tokoh-tokoh dalam karya sastra adalah manusia-manusia yang terdiri dari unsur fisik dan mental (jiwa). Oleh karena itu, unsur psikologi sangat berperan dalam penokohan (Atmadja, 1986: 63).

Pembahas sastra yang menganut aliran psikologi menggunakan pengetahuannya tentang persoalan-persoalan dan lingkungan psikologis untuk menafsirkan suatu karya sastra tanpa menghubungkan dengan biografi pengarangnya. Pembahas sastra dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah novel atau drama dengan memanfaatkan pertolongan pengetahuan psikologi. Andaikata ternyata tingkah laku tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia, maka dia telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern untuk menjelaskan dan menafsirkan karya sastra (Hardjana, 1981: 65-66).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengetahuan teori psikologi stres pasca-trauma untuk meneliti novel LKMB. Teori tentang trauma dipakai untuk menjembatani teori tentang stres pasca-trauma.

1.6.2.1 Trauma

Trauma didefinisikan sebagai keadaan yang dialami seseorang di luar jangkauan manusia biasa dan dapat menyebabkan distres pada hampir setiap orang. Gejala stres sering ditunjukkan ketika trauma terjadi secara mendadak dan tidak diharapkan, seperti ancaman bagi hidup seseorang atau hidup orang lain yang dekat dengannya, kerusakan tiba-tiba terhadap rumah atau komunitasnya, menjadi korban kejahatan kekerasan, dan melihat orang lain terluka atau terbunuh (Wilson, 1996: 152).
Menurut Eth & Pynoos (via Arthayani, 2005: 10), trauma psikis terjadi ketika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang menekan sehingga menyebabkan rasa tidak berdaya dalam mengatasi kecemasan atau ketakutan akibat bahaya yang dirasa mengancam.
Kondisi emosi yang ditandai dengan perasaan takut sebagai akibat dari suatu peristiwa yang sangat memukul (berat) dan tidak dapat dilupakan dalam kehidupan seseorang disebut traumatik. Kondisi traumatik biasanya disebabkan oleh peristiwa mendadak, tidak terduga, dan menyebabkan kesedihan mendalam. Individu yang merasa traumatik dapat mengubah perilaku, sikap, pikiran maupun arah kehidupan yang bersifat ekstrim, yaitu negatif atau positif (Dariyo via Arthayani, 2005:11). Apabila peristiwa traumatik tersebut mengarah pada perubahan yang bersifat positif, maka seluruh sikap, pemikiran (pandangan) atau tindakan seseorang akan menjadi lebih baik dan konstruktif. Sebaliknya, peristiwa traumatik yang mengarah pada perubahan negatif akan membuat pola pikir, sikap, maupun tindakan seseorang cenderung mengarah pada kemunduran (regresif). Dengan demikian, hal ini akan merugikan diri sendiri maupun orang lain (Dariyo via Arthayani, 2005: 11).

Orang yang sering mengalami kejadian trauma memperlihatkan berbagai gejala dan masalah sesudahnya. Berapa seriusnya gejala-gejala yang ada tergantung dari banyaknya pengalaman-pengalaman yang dialami orang tersebut sebelumnya, kemampuan naluriah seseorang untuk mengatasi trauma yang pernah dialaminya, dan pertolongan juga dukungan yang diperoleh dari keluarga, teman-teman, juga para ahli (Carlson dan Ruzek via internet, 2008).

Para penderita yang sudah melewati pengalaman-pengalaman trauma umumnya akan teringat kembali pengalaman-pengalaman trauma mereka. Maksudnya, mereka akan teringat lagi kejadian-kejadian yang pernah mereka alami secara mental, emosional, dan fisik. Mereka akan terus mengingat, mengingat gambar atau bentuk kejadian yang pernah terjadi, merasa gelisah atau tidak tenang, dan secara fisik merasakan kembali sensasi trauma yang dialaminya. Mereka merasakan diri mereka ada dalam bahaya, mengalami perasaan panik, rasa ingin melarikan diri dari kejadian yang pernah dialami, mudah marah, dan ingin menyerang atau melukai orang lain. Mereka sulit untuk tidur dan berkosentrasi karena diri mereka selalu merasa cemas dan tidak tenang. Penderita biasanya tidak dapat mengontrol gejala-gejala tersebut maupun menghentikannya (Carlson dan Ruzek via internet, 2008).

1.6.2.2 Stres Pasca Trauma

Menurut Pearson via Arthayani (2003: 11), hampir setiap orang yang mengalami pengalaman traumatik, seperti kecelakaan, perang, dan bencana alam, mengalami pula berbagai gangguan untuk sementara waktu, seperti gangguan tidur, sifat lekas marah, mengalami kembali’ peristiwa traumatik, mimpi buruk, dan usaha-usaha untuk menghindari ingatan tentang peristiwa traumatik. Untuk beberapa orang, gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama dan mengakibatkan gangguan stres yang berkepanjangan dan dapat mengakibatkan terganggunya berbagai fungsi fisik, psikologis, dan sosial. Ketika hal ini terjadi, mungkin saja individu tersebut mengembangkan stres pasca-trauma. Gejala stres pasca-trauma dapat dialami oleh semua orang pada semua tingkat usia, di mana seseorang terbuka terhadap peristiwa traumatik yang di dalamnya terdapat peristiwa yang mengancam kematian atau menyebabkan luka yang serius pada dirinya atau orang lain yang dekat dengan dirinya.

Menurut Scott (via Arthayani, 2005: 12) dalam Diagnostic and Statistical Manual (DSM IV) dijelaskan bahwa stres pasca-trauma adalah gangguan emosi yang luar biasa yang berbeda dengan gangguan emosi lainnya, seperti depresi dan kepanikan. Gangguan ini tidak secara mudah dapat disederhanakan berkaitan dengan gejalanya. Stres pasca-trauma sendiri adalah salah satu kategori diagnostik dari gangguan kecemasan yang diakui oleh American Psychriatic Association (APA).

Munculnya stres pasca-trauma ditandai dengan “terulangnya” pengalaman atau peristiwa yang bersifat traumatik sehingga individu menjadi terpisah dengan realitas, pikiran, merasa, dan bertindak seolah-olah kejadian traumatik terulang kembali. Keadaan tersebut diikuti dengan munculnya gejala tertentu dan pengelakan atau penolakan terhadap gejala-gejala yang berkaitan atau mengingatkan pada trauma (Scott via Arthayani, 2005: 12).
Menurut Baldwin (via internet, 2002) tidak semua orang mengalami peristiwa traumatik dapat menderita stres pasca-trauma, namun unsur ketidakberdayaanlah yang membuat suatu peristiwa secara subjektif bersifat melumpuhkan. Goleman (1999: 285) mencontohkan sebagai berikut; “Ketika seseorang diserang oleh sebilah pisau tahu cara bagaimana membela diri dan bagaimana bertindak, sementara orang dalam nasib yang sama berpikir “mati aku”, maka orang yang tidak berdaya itulah yang mudah terkena. stres pasca-trauma” Dari pernyataan tersebut dinyatakan bahwa ketidakberdayaan seseorang dalam menghadapi trauma psikis merupakan kunci terbentuknya stres pasca-trauma.

Stres pasca-trauma pada awalnya berhubungan erat dengan trauma perang, namun saat ini stres pasca-trauma dikenal sebagai konsekuensi potensial dari suatu peristiwa atau pengalaman terhadap berbagai kejadian yang berpotensi menimbulkan trauma. Kendati tidak ada peristiwa traumatik yang besar atau ekstrim, munculnya gejala tersebut dapat disebabkan oleh stres yang terus-menerus berlangsung dan tanpa henti (Scott via Arthayani, 2005: 13).

Beberapa pengalaman spesifik yang dapat menyebabkan stress pasca-trauma yaitu perang, pengungsian, bencana alam, bencana karena ulah manusia, kecelakaan mobil, kecelakaan pesawat terbang, pemerkosaan, pelecehan seksual pada anak, dan perusakan fisik. Semakin mendalam peristiwa traumatik, semakin buruk gejala-gejala stres pasca-trauma-nya (Wilson, 1996: 151).

Ada banyak kejadian traumatis yang dapat membuat seseorang trauma, sehingga apabila dia mengalami suatu hal kejadian yang dapat berhubungan dengan kejadian trauma yang dialaminya, dia akan kembali teringat akan kejadian traumatis yang lalu. Dia merasa bahwa dia berada di dalam bahaya lagi.
Smith dan Segal (via internet, 2008) mengategorikan gejala-gejala stres pasca-trauma sebagai berikut:

1. Gejala Menghidupkan Kembali (Re-experiencing Symptom)

Seseorang yang mengalami stres pasca-trauma sering merasa peristiwa traumatik tersebut akan terulang kembali. Hal ini biasanya disebut flashback, atau menghidupkan kembali peristiwa. Orang ini mungkin secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa tersebut, mengalami mimpi buruk yang terus berulang, atau bahkan sering menyebabkan terjadinya respons fisikal, seperti jantung berdetak kencang atau berkeringat ketika teringat akan peristiwa traumatik tersebut. Selain itu orang dengan gejala stres pasca-trauma akan mengalami perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa traumatik tersebut. Gejala-gejala tersebut menyebabkan seseorang kehilangan ”saat sekarang”, seolah-olah orang ini mengalami kembali peristiwa traumatik yang dulu pernah dirasakannya (Smith dan Segal via internet, 2008).

2. Gejala Penghindaran (Avoidance Symptom)

Seseorang yang mengalami stres pasca-trauma berusaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang berhubungan dengan peristiwa traumatik tersebut. Mereka mungkin akan menghindari orang-orang, tempat, benda-benda yang mengingatkan peristiwa traumatik tersebut. Orang ini secara perlahan-lahan akan kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting, merasa jauh atau seperti ada jarak dengan orang lain. Selain itu, seringkali orang dengan stres pasca-trauma mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif (kesenangan/ kebahagiaan atau cinta/kasih sayang), serta merasa seakan-akan hidup seperti terputus di tengah-tengah. Gejala-gejala ini menyebabkan orang yang menderita stres pasca-trauma tidak berharap untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal (Smith dan Segal via internet, 2008).

3. Gejala Waspada (Hyperarousal Symptom)

Gejala-gejala stres pasca-trauma pada orang-orang sangat berbeda-beda. Mereka mungkin sangat cemas, mudah gelisah, mudah tersinggung atau marah, dan mungkin mengalami sulit tidur seperti insomnia. Mereka akan terlihat terus-menerus waspada dan mengalami kesulitan konsentrasi. Sering orang dengan stres pasca-trauma akan selalu merasa seperti sedang diawasi atau seakan-akan bahaya mengincar di setiap sudut (Smith dan Segal via internet, 2008).
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan beberapa pengetahuan tentang stres pasca-trauma, yaitu tentang gejala-gejala psikologis yang ada dalam diri seseorang bila menderita stres pasca-trauma. Dari beberapa gejala psikologis tersebut akan diteliti lima tokoh wanita dalam novel LKMB.

1.7 Metode Penelitian

Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai pendekatan dan metode.

1.7.1 Pendekatan

Psikologi pada dasarnya mempelajari proses-proses kejiwaaan yang dapat diikutsertakan pada studi sastra. Dalam aliran psikologis, seseorang akan mengungkapkan suatu kisah berdasarkan gerak-gerik jiwa tokohnya (Tjahyono, 1988: 230).

Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan dilakukan adalah pendekatan dari sudut psikologis. Kritik psikologis dalam studi sastra adalah salah satu kritik sastra yang berusaha untuk mendalami segi-segi kejiwaan penulis, karya, dan pembaca (Tarigan, 1985: 213). Dengan pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa penelitian dengan pendekatan psikologis dapat dilakukan dalam studi sastra. Tarigan tidak membatasi daerah kajian pendekatan psikologis pada masalah-masalah genetik saja, tetapi juga pada sastra sebagai suatu karya yang otonom dengan meneliti aspek-aspek psikologis yang ada pada para tokohnya.

Menurut Ratna (2004: 334) ada dua cara untuk memulai penelitian karya sastra melalui pendekatan psikologis. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi, kemudian diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis. Penulis memilih dengan cara kedua, yaitu menentukan suatu karya sastra sebagai objek yang akan diteliti, kemudian akan menentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan dari sudut psikologis dengan menggunakan teori stres pasca-trauma. Dipilihnya teori tersebut karena sesuai dengan permasalahan yang ada dalam objek penelitian. Teori tersebut mengemukakan tentang gangguan stres pasca-trauma akibat dari kejadian-kejadian traumatis yang dialami lima tokoh wanita dalam LKMB.

Melalui pendekatan dari sudut psikologis, penulis dapat menganalisis sisi psikologis lima tokoh wanita melalui dialog dan perilakunya dengan menggunakan sumbangan pemikiran psikologi.

1.7.2 Metode

Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 1995: 652). Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka metode yang dipakai adalah metode formal dan metode deskriptif analisis.

Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Tugas utama metode formal adalah menganilisis unsur-unsur sesuai dengan peralatan yang terkandung dalam karya (Ratna, 2004: 51).

Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Analisis berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’: atas, ‘lyein’: lepas, urai), tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberi pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode deskriptif analisis adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Metode analisis yang dilakukan, yaitu menganalisis unsur ekstrinsik dan instrinsik (Ratna, 2004: 53).
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang secara keseluruhan membangun struktur karya sastra (Nurgiyantoro, 1998: 23).

Pada penelitian ini, penulis meneliti novel LKMB dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang ada dalam novel LKMB, kemudian disusul dengan analisis, yaitu menganalisis unsur ekstrinsik dan instrinsik yang ada dalam novel LKMB.


1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data untuk menemukan dan menjawab atau mencari permasalahan yang tersimpan dalam novel LKMB, penulis menggunakan jenis riset pustaka. Artinya, dengan berbagai macam buku acuan, wacana lepas, ataupun bentuk pustaka lainnya yang berkaitan dengan permasalahan di atas jawaban permasalahan ditemukan.
Dalam teknik ini juga digunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik simak digunakan untuk menyimak teks sastra yang telah dipilih sebagai bahan penelitian. Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut dari teknik simak (Sudaryanto, 1993: 133-135).

1.7.4 Sumber Data

Dalam penelitian ini, sumber data yang dipilih sebagai objek penelitian adalah novel Lima Kelopak Mawar Berbisa, karya Ria Jumriati dan sumber data lainnya diambil dari internet dan buku.

Judul : Lima Kelopak Mawar Berbisa
Penulis : Ria Jumriati
Penerbit : Sheila, sebuah imprint dari CV. Andi Offset
Tahun Terbit : 2007
Tebal : 142 halaman
Cetakan : Pertama

1.8 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian hasil penelitian adalah sebagai berikut. Bab satu pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab dua adalah analisis tokoh dan penokohan. Bab tiga berisi analisis apa saja gangguan stres pasca-trauma pada lima tokoh wanita dalam novel LKMB. Bab empat merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

Tuesday, October 19, 2010

Tips Menulis Cerita Fiksi

TIPS MENULIS CERITA FIKSI ALA RIA JUMRIATI

Sudah 4 buah buku bergenre novel dan 1 buku bertema psikologi popular sejenis “chicken soup” yang telah saya terbitkan. Ditambah beberapa cerpen dan artikel yang telah banyak dimuat di beberapa majalah dan tabloid Ibukota. Dari semua karya tulis itu, Alhamdulliah saya cukup mendapat sambutan  yang positif dari para pembaca. Beberapa telah menjadi penggemar buku buku dan tulisan saya termasuk dijadikannya cerpen saya “Aku Rindu Biyung” sebagai salah satu  bahasan pokok untuk materi pelajaran bahasa Indonesia tingkat Sekolah Menengah Pertama dalam bentuk Buku Elektronik Sekolah, serta Novel Dunia Kristal yang  dijadikan tema skirpsi untuk meraih gelar sarjana pendidikan oleh salah satu mahasiswa di Medan. Dan semua itu adalah hal yang tak pernah berhenti saya syukuri.

Ada beberapa yang bertanya, disekolah mana atau kursus tulis apa yang pernah saya pelajari untuk bisa menulis  seperti sekarang ini. Saya hanya tersenyum, tidak satupun. Tapi saya sangat meyakini rumusan yang meng ungkapan bahwa bakat yang kita miliki hanya 20% kontribusinya pada keberhasilan seseorang, selebihnya atau 80% nya adalah kerja keras. Dan itu lah yang saya lakukan, kerja keras ! Saat memandang rak buku yang berisi semua buku buku saya yang telah terbit, serta kliping tabloid dan majalah yang telah memuat tulisan dan profil saya, semua itu tak akan datang serta merta dan mudah. Ada proses keringat dan air mata yang menjadi pemanis dan nikmatnya mengikuti alur usaha dan perjuangan  menuju satu obsesi pasti.

Dan untuk sahabatku, yang berkeinginan untuk bisa menulis. Berikut saya bagi ilmu sederhana yang berasal dari buah pemikiran saya, tentang teknik menulis cerita fiksi berdasarkan pengalaman menulis saya selama ini.

TEKNIK MENULIS CERITA FIKSI.

Cerita fiksi lebih mudah dibuat dibanding menulis sebuah artikel. Karena sumber utama tulisan kita ada dalam bank data yang bisa diunduh langsung dari khayalan dan imajinasi yang kita miliki meski ada juga beberapa data akurat yang membutuhkan sumber terpercaya untuk melengkapi keindahan tulisan kita. Tidak bisa dipungkiri, ketika ingin menulis sesuatu kita sering dibuat bingung ingin memulai dari mana. Berikut cara sederhananya.

  1. Cari Tema Menyentuh

Saya yakin sepenuhnya bahwa menulis adalah tak sekedar pekerjaan yang banyak melibatkan jari tapi juga hati. Pilih tema yang paling menyentuh perasaan kita, beberapa karya saya yang bisa menyentuh banyak pembaca seperti cerpen “Sebuah Dunia Untuk Nathan” tercipta karena saya benar benar tersentuh dengan anak teman baik saya yang mengidap autis. Bagaimana memulainya ? itu pertanyaan klasik yang sering dikeluhkan penulis pemula. Pertama, jangan pikirkan hal yang terlalu berat dan rumit. Tulis saja ! segera tuliskan apa saja yang tiba tiba terlintas di pikiran kita. Entah itu dimulai dari saat si pelaku utama sedang kepasar, sedang melamun dan menceritakan isi lamunannya, atau dimulai dengan dialog bersama sahabatnya, pokoknya apa saja, langsung dituangkan dalam bentuk tulisan. Setelahnya pasti akan terangkai dengan sendirinya plot plot yang akan membentuk kerangka cerita awal. Dari sinilah kemudian kita bisa membentuk masing masing karakter yang akan berperan di cerita kita. Segera tentukan siapa yang akan menjadi tokoh protogonis dan antagonis.

  1. Jangan Batasi Imajinasi

Imanjinasi adalah komponen paling penting dari seorang penulis fiksi. Keunikan hasil tulisan novelis berasal dari sejauh mana ia bisa mengexplore imajinasinya  menjadi sesuatu yang tak layak diterima logika tapi begitu nikmat sebagai bacaan semata, bahkan terkadang bisa mempengaruhi logika pembaca. Saya pernah membiarkan imajinasi saya mengembara sejauh mungkin hingga menghasilkan cerpen “Kunci Kallamatya” yang merupakan kisah cinta antara anak manusia dan keturunan dewa dewi yunani (dimuat di kumpulan cerpen “Sperma Buat Ratri”). Semua sah dan tak ada yang bisa menggugat apa yang terlintas di imajinasi kita. Sebut saja cerita novel sequel nya Dan Brown dari The Da Vinci Code, Angel and Devil serta The Lost Symbol, juga Four Past Midnight Stepehen King, atau novel fiksi teka teki nya  Agatha Christie dalam judul The Mysterious Mr Quin. Apakah bisa diterima logika ? Persetan logika! Yang penting enak dibaca dan cukup menghibur ketika tertuang dalam media lain seperti sinetron atau film.

Nikmatnya menulis fiksi, kita tidak dibatasi oleh benar tidaknya apa yang akan kita tulis, subyektif karena buah pemikiran kita sendiri. Meski saat proses kreatif tengah berlangsung, rambu rambu iman dan akhlak tetap harus menjadi pengontrol dari semua hal yang ingin kita sampai kepada pembaca. Ingat, karya tulis sama halnya sebuah lukisan. Umurnya akan lebih panjang dari penulis dan penciptanya, jadi buatlah karya yang membanggakan bagi anak cucu kita kelak. Nah, tunggu apalagi…menulis dan tuangkan semua hal yang terlintas di imajinasi anda!


  1. Jeda Sejenak

Mampet dan tumpul imajinasi, itu adalah masalah sepele yang sering dialami oleh penulis terkenal sekalipun. Caranya, jangan pernah paksakan menulis saat sudah merasakan kepenatan, tunggu sampai ide ide segar mengalir kembali. Cari cara yang paling menyenangkan hati kita untuk mendapatkan kembali klik menulis yang berhubungan dengan tema. Hal yang saya lakukan adalah melempar tema yang tengah saya tulis di sebuah ruang milist. Biasanya, masukan dari sesama milister sangat membantu saya menyelesaikan sebuah tulisan. Atau naik sepeda pagi menikmati rimbunnya pepohonan dan kicau burung, ngobrol dengan mbok jamu atau membaca majalah dan browsing di internet. Itulah cara yang saya pilih untuk kembali menyegarkan ide dan memancing semangat menulis saya. Meski trend menulis di café dengan fasilitas free Wifi banyak dilakukan penulis saat ini. Sayangnya cara ini tak terlalu cocok untuk saya, sering mencoba malah tak menghasilkan apa apa. Tapi boleh juga di coba, yang namanya ide dan imajinasi bisa kita dapatkan dimana saja.

Demikian, 3 point penting yang menurut saya perlu di terapkan dalam memulai tulisan fiksi, tentu masih banyak kekurangan. Saya sendiri masih terus belajar dan tak berhenti memperbaiki kualitas menulis saya dengan seterbuka mungkin menerima kritik dan saran atas karya saya. Itu adalah konsekwensi logis ketika sebuah karya telah memasuki ruang public. Tapi masukan dalam bentuk apapun, akan sangat berharga bagi perbaikan tak hanya kualitas tulisan tapi juga sebagai bahan introspeksi pribadi.


Selamat menulis, semoga bermanfaat!