Wednesday, December 01, 2010

SIKLUS TERINDAH


SIKLUS TERINDAH
by : Ria Jumriati
(Dimuat di Majalah Goodhouse Keeping Edisi Juli 2010)

Entah mengapa selama 2 tahun berturut turut ini, Nenek meminta ulang tahunnya dirayakan di bulan Juni. Padahal Nenek sendiri terlahir di bulan Desember. Entahlah, Nenek punya alasan tersendiri kenapa ia memilih bulan Juni. Kalau mau jujur, memang agak merepotkan dibanding jika Nenek tetap membiarkan kita anak cucunya merayakan di bulan Desember. Selain banyak hari Libur dan tentunya bonus tahunan yang biasanya keluar di bulan tersebut. Tapi ini di Juni ???? Bulan yang pelit hari libur dan evaluasi performance pertengahan tahun pun, biasa dilakukan beberapa perusahaan di bulan ini. Akan sangat mengurangi penilaian, jika mengambil cuti apalagi bolos mendadak.
          ”Hah, Nenek minta di bulan Juni lagi ?” Tanya Papa ketika Mama baru saja meletakkan gagang telepon seusai pembicaraannya dengan Nenek. Mama hanya mengangguk pelan, tanpa berani menatap mata kami yang penuh diliputi tanda tanya dan sedikit rasa kesal. Terutama aku, yang masih terbilang karyawan baru di perusahaan tempatku bekerja. Apalagi hari Sabtu masih sering diminta masuk untuk mengejar dateline materi iklan. Tapi, toh tak ada yang berani membantah keinginan Nenek. Bahkan Om Sandy – Anak bungsu Nenek yang kini bermukim di Australia, sudah dipastikan datang di pertengahan Juni nanti untuk merayakan hari ’besar’ tersebut. Dan seperti sudah menjadi perjanjian tak tertulis, namun harus di patuhi semua anggota keluarga, bahwa tidak ada yang boleh berhalangan hadir untuk acara ulang tahun Nenek. Berlaku mutlak untuk ke 7 anak anak Nenek serta 14 orang cucunya.
          ”Emm...apa tidak bisa di nego lagi Ma ? Seperti tahun tahun sebelumnya, kalau di bulan Desember, tentu Daeng Jasil dan Mbak Ning tidak akan terlalu repot terbang dari Makassar ke Jakarta, mengingat mereka masih punya balita”
          “Kayak tidak tahu Nenek saja. Jangankan dari Makassar, Bang Amir yang di Kalimantan, Sandy di Australia, Mbak Atik  di Bangkok..pokoknya, semua anak, menantu dan cucu Nenek harus mengosongkan jadwal di bulan Juni nanti. Termasuk keluarga kita” Sahut Mama mantap.
          ” Wah, jangan sampai tanggal 20 ya Ma! Mati deh, kalau sampai bentrok sama acara study tour dengan teman di sekolah” Seru Aldo berharap.
          ”Kemungkinan besar tanggal 15 Juni, tapi kita lihat sajalah maunya Nenek bagaimana” Sahut Mama santai, dan langsung disambut tatapan tak bersemangat dari Aldo. Ada helaan panjang berbarengan antara kita bertiga. Anehnya, semenjak aku dan adikku Aldo lahir dan menjadi anak Papa dan Mama. Keluarga kami terbilang demokratis, banyak hal yang bisa diperdebatkan hingga menemui solusi yang menyenangkan semua pihak. Tapi  untuk urusan ulang tahun Nenek ?? Semua argumen mendadak tidak berlaku.

          Aku memperhatikan Mama yang sedang sibuk menelpon jasa catering untuk persiapan ulang tahun Nenek. Mama memang anak kepercayaan Nenek untuk menjadi EO dan bagian promosi untuk segala hal yang berkaitan dengan hajat Nenek. Mama selalu punya waktu lebih untuk meladeni segala obrolan yang sangat membosankan dengan Nenek. Bahkan Mama pernah mengambil cuti ’unpaid’ dari kantornya selama 1 bulan, hanya untuk mengurusi Nenek yang waktu itu terserang demam berdarah. Padahal ada Tante Dinda yang juga tinggal di Jakarta. Tapi Nenek sepertinya hanya mengandalkan Mama. Menurut Mama, semakin tua seseorang yang dibutukan adalah ketulusan. Dan Nenek tahu betul, Mama lah yang paling bisa memberikan hal itu untuknya. Bukan berarti anak lainnya tidak tulus, tapi mata hati Nenek terlalu  peka untuk di tolak apalagi dibohongi.

Terlebih sejak kakek meninggal 3 tahun lalu, dan Nenek tinggal seorang diri. Berbagai cara sudah kami lakukan untuk membujuknya agar tinggal bersama kami, tapi ia bersikeras mendiami rumah kenangannya bersama kakek. Rasanya setiap jengkal di rumah itu menggurat banyak kenangan indah dan berat untuk ditinggalkan. Meski ada seorang perawat yang kami bayar untuk menjaganya, ternyata terlalu sulit untuk memahami keegoisan Nenek dan sifat kekanakan yang semakin mendominasi pola tingkahnya  dari hari ke hari. Di usianya yang ke 75 tahun, Nenek memang tidak dihinggapi penyakit pikun. Terbukti ia masih lancar bercerita mengenai nostalgia terindahnya bersama kakek. Dan cerita itu terdengar hampir seperti CD yang terputar setiap pagi, sore, dan malam hari. Dan ia akan sangat tersinggung jika perawat yang menjaganya terlihat bosan apalagi mengantuk saat mendengar dongengnya. Dan  langsung menelepon Mama untuk meminta ganti perawat yang lebih ramah dan yang terpenting tidak pernah mengeluh bosan untuk mendengarkan semua kisah cintanya bersama Kakek.

Tidak hanya itu, perawat yang menjaga Nenek harus pula mengurus semua benda-benda rongsokan miliknya, seperti radio dari zaman Jepang, cangkir-cangkir antik, frame foto yang membingkai gambar masa mudanya bersama kakek, serta banyak lagi benda-benda kecil, seperti sisir, sapu tangan, dan topi lusuh kakek. Dan setiap pagi, hal yang pertama ditemui dan diperiksanya adalah barang rongsokan itu. Ia selalu ingat, jika salah satu benda kesayangannya bergeser tempat atau berkurang. Pernah suatu kali, seorang perawat lengah memecahkan satu cangkir antiknya. Nenek langsung termenung sedih dan menolak makan hingga berhari hari. Karuan saja tubuh tuanya menjadi lemah dan harus dibawa ke rumah sakit untuk di infus. Akhirnya, jadilah itu beban kami untuk mencari penggantinya hingga ke kolektor barang-barang antik, dan membayarnya dengan harga yang lumayan mahal. Lama kelamaan, kebiasaan Nenek ini akhirnya mendobrak batas kesabaranku sebagai cucunya. Ketika pada suatu pagi, sisir kesayangannya hilang. Siapa sih, yang mau mencuri sisir jelek buatan zaman purbakala itu? Bentuknya besar dan berat, dan bisa bikin rambut rontok karena bergigi jarang dan tajam. Tapi, sejak saat itu Nenek tidak lagi mau menyisir rambutnya bahkan menolak untuk mandi. Mama jadi pusing memikirkannya karena tidak ada lagi yang menjual sisir, seperti milik Nenek. Aku sempat tidak mengerti dengan kelakuan Nenek yang selalu membuat susah dengan permintaannya yang selalu diluar perkiraan kita.
          ”Kok ngelamun, Armel ?” Tanya Mama lembut, namun sempat membuatku kaget. Aku tersenyum.
          ”Ma, Ingat tidak waktu Nenek kehilangan sisir antiknya ?” Tanyaku kemudian. Mama mengangguk dengan senyum.
          ”Cuma heran aja, kenapa orang itu makin tua makin aneh, ya Ma ? Dan aku salut sama Mama yang begitu sabar meladeni Nenek”
“Itulah siklus terindah yang harus kita bayar penuh.”
          “Maksud Mama?” Aku menatapnya tidak mengerti.
          “Ingat saat kamu masih kecil?”  
          Aku mengangguk pelan. Sementara Mama tetap tersenyum penuh arti.
          “Masih ingat? Ada berapa benda kesayangan milikmu yang bila hilang salah satunya, akan membuatmu merajuk dan tidak mau makan,” ujarnya yang serta merta kembali membongkar kenangan pada benda-benda masa kecilku. Ingatanku pun melayang saat aku  kehilangan Pony–boneka kesayanganku. Aku begitu sedih, semangat bermainku lenyap hingga turut menurunkan nafsu makanku. Lalu apa hubungannya dengan Nenek?
          “Kebiasaan Nenek saat ini adalah siklus yang harus Mama bayar lunas sama ketika dulu Nenek selalu menjaga mainan kesayangan Mama dan anak anaknya yang lain. Bahkan Nenek pernah berhenti bekerja hanya untuk merawat Mama dan Tante Atik yang terkena wabah cacar air, ditambah Om Yoto yang nakal luar biasa sampai tak ada pembantu yang betah bekerja dirumah kami. Padahal waktu itu posisi di Nenek di Departemen Kesehatan lumayan bagus. Meski menurutmu apa yang di inginkan Nenek adalah aneh dan membosankan. Sebagai anak, kita punya kewajiban itu Nak, karena kita adalah penyemangat hidupnya hingga kini. Kamu mau Nenek panjang umur kan ?” Tanyanya sambil membelai rambutku.
          Tak ada satu kalimat pun yang keluar dari bibirku. Aku langsung memeluk Mama dengan mata berkaca kaca.
         
          Pertengahan Juni pun tiba, rumah Nenek sejak semalam sudah kedatangan anak cucunya yang bermukim diluar negeri. Dan pagi ini,  Nenek luar biasa terlihat lebih sehat dan bahagia ketika kami semua berkumpul. Terlebih ketika aku mau berlama lama menemaninya ngobrol. Mata Nenek, berbinar indah dan lebih cantik dari biasanya.
          ”Nek, mau tanya dong ? Tanyaku manja sambil merapikan payet payet yang bertebaran semarak di baju Nenek.
          ”Tanya apa Tuni ” Sahut Nenek dengan panggilan sayangnya padaku. Dan hanya akulah satu satunya cucu Nenek yang punya panggilan sayang ”Tuni”.
          ”Kenapa ulang tahun Nenek dirayakan di bulan Juni ?”
Nenek terdiam sejenak. Ada getar dibibir tuanya.
          “Bukannya Nenek tidak menghargai Tuhan yang telah memberi Nenek awal kehidupan di bulan Desember. Tapi diantara 12 bulan yang teranugerah di hidup Nenek, Juni adalah bulan yang selalu mengingatkan Nenek akan kegiatan Nenek dulu yang sangat menguras energi dan peran indah Nenek sebagai seorang Ibu”
          “Maksud Nenek ? Emmm…..”  Nenek memotong kalimatku dengan senyum dan pelukannya.
          ”Dengan anugerah tujuh orang anak yang berselisih umur masing masing 1 tahun. Nenek tidak pernah lupa, setiap bulan Juni Nenek selalu direpotkan dengan kegiatan sekolah. Dari mulai mendaftarkan Om Sandy masuk TK, Om Reza masuk SD, Tante Atik daftar ulang dan Mama mu yang selalu minta ditemani setiap kali ada test ujian”.
          ”Lalu apa hubungannya dengan ulang tahun Nenek ?” Tanyaku masih tak mengerti. Nenek tersenyum dengan mata menerawang.
          ”Karena Nenek selalu merindukan moment di setiap Juni itu. Nenek ingin semua anak dan cucu Nenek berkumpul. Menyaksikan keriuhan dan keributan mereka, yang kini telah menjadi manusia dewasa dan menganugerahi Nenek cucu cucu yang luar biasa. Seandainya bisa, Nenek ingin kembali pada kesibukan di setiap Juni yang telah lama berlalu”
          ”Lalu, mengapa harus menyebut moment ini sebagai ganti ulang Tahun Nenek dibulan Desember ?”
          ”Karena hanya pada perayaan ulang tahun Neneklah, mereka semua mau datang dan berkumpul, selain itu....pasti ada saja yang berhalangan” Ujar Nenek dengan suara parau dan wajah tertunduk sedih.
          ”Kalau Nenek yang minta, di  bulan apapun pasti lah semua anak dan cucu Nenek mau datang” Bujukku sambil memeluk tubuhnya. Nenek kembali tersenyum ceria. Terlebih ketika, Om Yoto, Om Jasil, Om Sandy, Om Reza, Tante Atik, Tante Dinda dan semua anak menantu Nenek lainnya serta ke-14 cucunya ramai ramai menyanyikan lagu ”Aryati” di iringi gitar yang dimainkan  Aldo. Lagu inilah yang konon membuat hati Nenek luluh dan menerima lamaran Kakek.
          Bergantian kuperhatikan keceriaan di wajah Nenek, lalu Mama. Ada siklus terindah yang juga harus ku lunasi untuk dua wanita terkasih ini, kini dan nanti. 

TAMAT

         

No comments: