Thursday, January 05, 2017

Catatan Ayah #Cerpen

(Juara 3 - Lomba Menulis Cerpen Hari Ayah by Telkomsel)

Setahun belakangan ini, sejak adik kembarku berusia  3 tahun, tiba tiba Ayah menjadi sosok yang pendiam, jarang di rumah karena makin sibuk bekerja. Terasa menjauh dari kami anak anaknya. Ayah memang jarang berbicara, ia lebih sering mengekpresikan perasaannya lewat prilaku. Tapi kini Ayah lebih sering merenung dengan mata kosong menerawang. Ingin rasanya mengajaknya berbicara, tapi Ibu sering menahan keinginanku itu.

                “Biarkan Ayah sendiri, Ia butuh istirahat”

Aku pun beringsut pergi, mengintip Ayah dari sela tirai. Matanya terus menatap halaman belakang rumah dengan tatapan hampa. Apa yang Ayah pikirkan ? Terlalu beratkah beban kerjanya ? Ia memang terlihat makin kurus dan sering terbatuk batuk. Sebagai anak tertua, kadang ingin sekali mengobrol dengannya. Pernah aku menghampiri dan duduk di sisinya, hanya berselang semenit, Ayah langsung bangkit sambil mengusap rambutku. Ada apa dengan Ayah ?

Hidup kami terbilang sederhana. Ayah bekerja sebagai karyawan swasta dengan jabatan biasa. Ibu yang dulu total mengurus kami, kini ikut menopang segala kebutuhan Ayah dengan sesekali berjualan baju dan makanan kecil. Tapi Ibu tak bisa melakukan itu setiap hari, karena harus mengurus 2 orang adik kembarku dengan kenakalan yang sekali lagi, cuma Ibu yang bisa mengatasinya. Akhir akhir ini, tak pernah sekali pun ayah menggendong mereka, Hingga Abdil dan Abdul sering mencari perhatian dengan bertingkah nakal.  

Pernah satu kali, Abdil menarik narik baju Ayah minta di belikan mainan. Ia pun berteriak dari volume sedang hingga melengking. Reaksi Ayah datar, tak marah tak juga tersenyum apalagi membujuk. Ia hanya menempelkan telunjuk di bibirnya. “Sssst....” Lalu berlalu meninggalkan Abdil yang semakin berteriak kencang. Drama sisanya, adalah bagianku membujuk Abdil yang mula berguling heboh. Inilah beban kerjaku yang paling melelahkan jika Ibu pergi berbelanja. Untung Ibu selalu membawa Abdul, agar rumah tidak terlalu kacau saat Ibu tidak ada. Jarak usiaku yang berselisih 12 tahun dengan Si kembar juga sedikit meringankan Ibu dalam mengasuh mereka.

Aku mencoba mengingat masa kecilku bersama Ayah. Ayah yang kukenal saat aku balita adalah Ayah yang penuh semangat. Sering mengajakku bermain di taman, membuatkan aku boneka dari saputangan dan banyak lagi kedekatan lainnya yang tidak di rasakan sepasang adik kembarku. Apa karena aku anak perempuan ? Tidak sukakah Ayah pada anak lelaki yang nakal ?

        “Jangan berpikir begitu, Nayla” Bantah Ibu lembut saat aku mempertanyakan sikap Ayah yang kaku kepada Abdil dan Abdul
          “Ayah sangat sayang pada kalian semua”       
         "Tapi, Ayah jarang menggendong mereka, Bu. Aku bahkan tidak pernah melihat Ayah mencium Abdil atau Abdul” Ibu menghela nafas panjang. Seolah ingin menghalau beban berat di batinnya.
        “Sudahlah, mungkin Ayah hanya lelah...beri dia waktu untuk beristirahat.

Mengurus Abdil dan Abdul memang perlu energi extra” Jawab Ibu menutup percakapan dengan senyum lembutnya. Meski tak puas, tapi aku bisa merasakan ada kepiluan di senyum Ibu. Sakitkah Ayah ? Perlahan ada kepiluan merayapi hatiku dan aku kangen Ayah !. Saat hari libur tiba, seperti biasa Ayah banyak menghabiskan waktunya dengan tidur, atau duduk termenung di halaman belakang. Aku bertekad untuk menemui  Ayah, kebetulan Ibu juga sedang berbelanja dan untungnya ia mengajak Abdil dan Abdul yang kali ini berebut ikut Ibu.

Aku mengintip pelan ke kamar Ayah, hmm...ia sedang tertidur, nafasnya tersenggal sesak. Ayah memang terlihat sangat lelah. Perlahan aku melangkah masuk lalu menghampiri sisi ranjang, ingin rasanya aku memeluk Ayah, sudah hampir 1 tahun ini aku tak pernah merasakan dekapan Ayah yang menenangkan. Hampir tumpah tangisku tapi segera teralih, saat mataku tertuju pada sebuah buku diary di meja rias Ibu. Pelan aku pun membuka halaman pertama tertulis judul besar..... BUKU ke – 27 Mulai : 1 Maret 2015......Jam 04.25 WIB Subuh pagi Dari Ayah Untuk Ibu, Nayla, Abdil dan Abdul.....Tanganku bergetar membuka lembar berikutnya.....

3 Maret 2015, Pkl 15.00 WIB

AYAH :  Ibu, Abdil tambah lucu yach. Seperti Ayah waktu kecil. Meski dari kejauhan, Ayah bisa loch mengendus bau keringatnya yang mirip sama Ayah...Nenek bilang, bau seperti itu namanya “Perengus” he he he he.....Abdul juga, ia memiliki tanda lahir seperti Ayah di punggung. Akh, andai Ayah bisa memandikan Abdul dan Abdil setiap hari J

IBU :Iya, Ibu janji akan mengurus mereka dengan baik J. Ayah tak usah khawatir.

4 Maret 2015, Pkl 07.00 WIB

AYAH :Ibu, lain kali bilang sama Nayla. Rambutnya  jangan sering di urai. Nayla kan sudah remaja. Ia cantik sekali ya Bu J Bangga rasanya melihat ia berseragam SMA. Apa dia sudah punya pacar Bu ? Ahh, seandainya Tuhan memberi Ayah waktu lebih lama lagi untuk hidup, dan bukan beberapa bulan lagi seperti kata dokter...Dia pasti akan jadi pengantin tercantik pada saat menikah nanti.

IBU :Nanti Ibu kasih tahu Nayla....Pacar sepertinya belum. Sejak Ayah terkena penyakit ini, Nayla juga jadi ikutan pendiam, jarang mau curhat. Meski Ibu tidak pernah memberi tahu ini pada Nayla. Ayah harus yakin, jangan percaya prediksi dokter ! Airmataku runtuh seketika. Dugaanku selama ini ternyata benar ! Ayahku sakit dan itu pasti parah. Tak bisa berbicara lagi dan harus berkomunikasi dengan Ibu lewat buku ini. Ini adalah buku ke 57 ? Itu artinya sudah sekian lama Ayah dan Ibu berkomunikasi lewat buku. Dan waktu hidup Ayahku tersisa beberapa bulan lagi ??! Aku mengusap airmataku yg membanjir deras, saat kurasakan jemari Ayah meraih pundakku. Aku langsung menyerusuk di dadanya. Tangisku semakin menjadi.
        “Maaf in Nay, Ayah...!”
        “Sssst.....” Hanya itu yang keluar dari bibir pucat Ayah.

Hari berikutnya, meski terasa lebih plong, terang benderang namun rasa sedih masih terus menggeluti. Lega karena memahami kondisi Ayah yang ternyata mengidap kanker pita suara sejak setahun lalu, dan sedih karena diagnosa pada penyakit Ayah yang kian kritis. Ayah bukan perokok, tapi ia bekerja di lingkungan perokok berat dan Ayah menanggung akibat menyakitkan sebagai perokok pasif.

Sejak saat itu, aku pun punya buku catatan komunikasi dengan Ayah. Hari liburnya kini banyak berdekatan dengan ku sambil saling mencatat apa yang ingin ia utarakan. Senang rasanya mendapati sosok Ayah yang hangat meski lewat catatan tangannya. Baru 1 bulan, aku dan Ayah sudah memiliki buku catatan komunikasi sebanyak 11 buku. Tak pernah lelah Ayah menulis apapun untukku. Kadang kami tertawa, berpelukan meski tanpa suara. Oh Ayah, seandainya Tuhan memberimu umur lebih panjang lagi.

 Aku berusaha mengadaptasi ketabahan milik Ibu. Meski lelah lahir batin, Ibu tetap terlihat tegar dan sabar menghadapi kenyataan harus di tinggal suami tercintanya dalam waktu dekat ini. Menurut dokter, waktu Ayah tersisa paling lambat 2 bulan lagi.

 AYAH untuk NAYLA : Nayla gadis cantik Ayah...Hari ini mungkin terakhir Ayah menulis untukmu. Meski banyak sekali yang ingin Ayah sampaikan. Untukmu, Abdil dan Abdul. Tapi Tuhan berkehedak lain, bukan karena tidak menyayangi kita, tapi karena Ayah di anugerahi seorang anak gadis  yang kuat dan cerdas menerima semua cobaan ini. Jaga Ibu dan kedua adikmu ya Nak...Salam dari Ayah yang selalu menyayangimu.
 Itu adalah catatan terakhir Ayah, yang di tulisnya selepas Sholat Subuh. Tubuhnya di temukan Ibu terbujur kaku sambil mendekat buku catatanku.

Kini tak ada lagi Ayah yang selalu duduk termenung di halaman belakang. Selama hidupnya, Ayah yang kukenal adalah pejuang keluarga yang hebat, pahlawan masa depanku. Dan dari semua hal yang di wariskan Ayah untukku, buku catatan Ayah adalah yang paling berharga, yang akan terus menjadi pedoman hidupku sampai kapanpun.
Selamat Jalan Ayah...

Di muat di kumpulan cerpen, digital book +Qbaca Lovers

No comments: