Thursday, January 30, 2014

Jalan Setapak Surgawi







JALAN SETAPAK SURGAWI
Oleh : Ria Jumriati


Milyaran partikel yang bertebaran di jagat ini. Ada yang  kasat mata hingga tak tercapai mata logika. Dan mereka ada, menjadi bagian dari hidup kita, berdampingan bersama menjelajahi setiap sel yang tercipta. Kadang terjadi keselarasan, tak jarang mengguncang keseimbangan. Dan semua berpulang pada hukum sebab akibat. Lalu berakhir pada satu bentang waktu, dimana keharmonisan terjadi di semua sisi, sendi dan keseluruhan partikel terkecil sekalipun. Ada sebab akibat, tapi tak bisa di terjemahkan logika atau sesuatu yang menuntut penjelasan akal sehat. Terpapar sempurna, mengikuti satu arus mirip kehidupan dengan detak keabadian. Akankah  hukum sebab akibat  berakhir di sini ? Pada jalan  setapak menuju pintu surgawi..........

            Pagi ini aku terbangun dalam sengatan mentari yang tak biasa. Pada suara suara asing yang menyeruak gendang telinga. Samar masih terasa kesedihan mendalam pada kepergian Bunda. Meski semua mengatakan, Bunda telah tenang di surga. Siapa yang menjamin semua itu benar adanya. Aku tidak bisa hidup tanpa Bunda. Aku menyesal telah menyetir semberono dan menyebakan kematian Bunda, aku mau bunuh diri saja!. Tenggorokanku masih terasa sakit, hatiku masih sesak terhimpit duka, dan aku makin tak mengerti dengan keadaan yang terpapar di sekelilingku. Tempat apa ini ??? Ada kerimbunan yang bergerombol pada satu jalan setapak yang terbalur warna hijau lumut segar, beratap lazuardi putih yang membentuk tubuh burung burung dan para bidadari kecil. Sementara jalan setapak lainnya, menyajikan hanya bebatuan berkerikil, tak ada keteduhan awan, matahari pun menyengat panas. Lalu hamparan jalan lurus yang perlahan mendaki, licin, gelap dan tak tahu berakhir dimana. Aku tertegun, melihat pemandangan tak biasa ini. Tak juga ada keinginan untuk mencari tahu, dimana aku ? Apa yang sedang terjadi dengan  hidupku ? Hanya kesedihan atas kematian Bunda yang membuat nafasku masih terasa sesak. Aku tak sendiri, ada beberapa orang yang entah siapa berdiri termangu, dan seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Apakah mereka sama bingungnya denganku  ? Tak ada juga keinginan untuk mencari tahu apalagi bertegur sapa dengan mereka. Sebagian wajah mereka dingin dan kaku, sebagian lagi terdiam dalam senyum, sisanya berwajah cerah dan sumigrah, dan semuanya tetap tanpa kata apalagi obrolan sesama.  Aku turut termangu, tenggelam dalam pikiran simpang siur. Sampai seseorang menepuk pundakku.
            “Hai, mana jalan setapakmu ?” Tanyanya tanpa ada terlihat gerakan di bibirnya. Aku terkesima dan tak tahu harus menjawab apa.
            “Oh, aku tahu...aku tahu….” Ujarnya lagi sambil memperhatikan wujudku dari ujung kaki hingga kembali ke biji mataku.
            “Kau masih belum di putuskan, masih di ambang perbatasan”
            “Perbatasan ? maksudmu ?” Tanyaku bingung pada lelaki dengan wujud yang nyaris seperti bayangan tipis.
            “Ya, karena aku tidak melihat tanda itu di dahi mu ?”
Aku mengernyit seraya meraba dahiku. Terasa dingin.
            “Tanda apa ?”
            “Saat ini kau berdiri di celah perbatasan. Antara detak kehidupan fana dan abadi. Energi seseorang telah membawa kemari,  kini dia berada di barisan orang orang tersebut”
            “Oh…! Siapa dia ? Tolong bantu aku mengenalnya ?”
            “Ha ha ha….” Ia terbahak namun terdengar hanya seperti gema yang nuh jauh di balik gunung. “Tak mungkin energinya bisa membawamu kemari, jika kau tidak mengenalnya”. Aku masih termangu bingung.
            “Dia Ibumu” Ujarnya dengan pandangan yang menuntun mataku tepat ke wujud Bunda. Aku terhenyak, rasa sakit karena duka perlahan berganti senyum. Oh, Bunda....begitu cantiknya ! Ia terlihat tampak muda, tak ada satu kerutanpun di pipi tuanya. Tapi aku sangat mengenali wajah dan senyum itu. Wanita cantik itu adalah Bundaku !
            “Tolong...tolong izinkan aku mendekatinya” Pintaku penuh harap.
            “Sebentar ya” Ujar lelaki itu lalu melesat terbang ke arah barisan orang orang, dimana terdapat Bundaku. Sekejap ia pun sudah berada di dekatku.
            “Bisakah ?”  Tanyaku cemas, lelaki itu hanya mengangguk kaku.
            “Kapan ?”
Belum lagi aku mendapat jawaban. Sekejap  sesuatu telah menyeruak masuk kedalam tubuhku. Semacam kekuatan dalam bentuk energi, entah datang dari mana. Tapi aku tak peduli, pun ketika tubuhku terasa ringan dan melayang menuju satu tempat yang belum pernah kubayangkan sama sekali. Tiba tiba aku sudah bersisian dengan Bunda dan beberapa orang yang rata rata berwajah sesegar dan secantik Bunda, raut muka mereka rata rata hampir sama. Bersih, putih, murni seperti gambaran kulit dan wajah bidadari dalam cerita dongeng, tapi aku tetap mengenali Bundaku. Ia tersenyum mendekat lalu menggenggam lembut jemariku. Ohh! Terima kasih Tuhan, ternyata Bunda selamat dari kecelakaan itu, pikirku tenang.
            “Shenna, Bunda akan menuntunmu lewat energi Bunda. Pejamkan matamu, dan hanya dengarkan suara Bunda di hatimu. Lalu ikuti  cahaya yang akan menuntunmu nanti”.

Aku menurut, meski masih enggan terpejam. Wajah Bunda begitu damai untuk di nikmati. Tiba tiba aku merindukannya, ingin memeluknya. Namun mataku memberi isyarat lain. Alam bawah sadarku langsung terfokus pada satu titik cahaya yang perlahan menuntunku pada satu tempat.
            Ada dua jalan setapak, seperti yang aku lihat sebelumnya. Tapi lebih banyak di penuhi manusia dengan wajah beraneka, tak semuanya bersih, putih dan damai seperti Bunda. Terlihat ada pula yang begitu berduka, menangis hingga mengeluarkan darah. Suasana begitu ramai, saling silang, riuh redah, ada yang tertawa, ada yang menangis, berjalan pelan, tertatih tatih, berlari bahkan ada yang berkendaraan mewah. Tapi semua bisa berpindah begitu cepat. Seorang wanita seumur Bunda yang tertatih lelah meniti jalan setapak penu kerikil tajam hingga mengeluarkan keringat darah, bisa  berpindah ke jalan setapak yang rimbun, hijau dan berkendara mewah. Atau sebaliknya, seorang lelaki yang tengah asyik menikmati perjalanannya yang begitu damai, tiba tiba terhentak memasuki jalan setapak yang panas dan menyiksa. Itu terjadi di semua manusia yang jumlahnya tak bisa di hitung oleh mata manusiaku. Ku tatap Bunda dengan pandangan sedih dan bingung. Suaranya lalu menggema di batinku.
            “Mereka adalah roh manusia yang telah terlepas dari dunia fana. Ada 2 jalan setapak yang harus di lalui. Dalam waktu ratusan, ribuan bahkan jutaan tahun. Tak pernah ada kepastian kapan akan berakhir”
            “Dimana jalan setapak Bunda ?” Tanyaku kian cemas. Ia tersenyum penuh kedamian. Menatap lurus ke 2 jalan setapak yang terhampar.
            “Shenna, Anakku….Hukum sebab akibat belum berakhir di sini. Semua tindakan dan prilakumu sangat berpengaruh pada jalan setapak yang akan Bunda lalui”
            “Oh...!! Aku terhenyak dalam tangis.
            “Kau lihat roh yang tertatih tatih, dengan tubuh penuh peluh nanah itu ? Ia tak pernah sekali pun berpindah pada jalan setapak yang rimbun dan teduh, karena ia memilih bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya” Ujar Bunda. Aku kembali tergugu pilu. Masih hidupkah aku ?? Apakah racun serangga itu bekerja dengan baik dan mengantarku pada alam ini ?? Tiba tiba aku sangat ketakutan.  Jalan setapak itu tak hanya berkerikil, tapi berduri dan penuh penyiksaan yang luar biasa.
            “Jangan bunuh diri, Anakku....Kau akan selamanya berpisah jalan setapak menuju surga, jika jalan itu yang kau pilih. Akan tiba masanya, dimana kita berjalan bersisian untuk menuju sesuatu yang murni dan abadi”
            “Ampuni aku Bunda..! Apa yang harus kulakukan agar Bunda tetap berada pada jalan setapak rimbun dan teduh itu ?” Tanyaku masih dalam tangis. Kembali ia tersenyum.
            “Doa dan prilaku baikmu, Sayangku. Bunda akan senantiasa menantimu di jalan setapak menuju surgawi”
            “Oh...!” Aku mendekat ingin memeluknya. Tapi angin kencang tiba tiba bertiup, menghempas tubuh Bunda dan menghilang tanpa bekas dari pandanganku. Tubuhku pun menggigil, perutku mual dan mataku mendadak panas. Aku mengenali suara Ayah yang berteriak memanggil namaku. Shen – Kakakku dan beberapa orang keluarga dekat.
            “Shenna...Shenna ! Bangun Nak...!
            “Oh..Syukurlah, racunnya bisa di netralisir!”
            “Shenna masih hidup ! Oh, terima kasih Tuhan !

Suara suara itu masih berseliweran di benakku. Mataku masih tertutup. Wajah Bunda dan 2 jalan setapak itu tak lagi terlihat. Dan aku menyesali tindakan bodoh ini sekaligus mensyukuri kesempatan kedua untuk tiba saatnya  nanti, bagiku menapaki jalan setapak menuju surga bersama Bundaku.

TAMAT



No comments: