Friday, March 10, 2017

KARMA GETIH - Bab Dua "Serat Jiwa" #Cerbung

Penasaran dengan karakter Dahayu ? Yuk kita ikuti kisah selanjutnya Novel KARMA GETIH ini....
Image : from Google

BAB II
SERAT JIWA
(Ria Jumriati)
            Sudah seminggu ini Mbah Kijah tergolek lemah dipembaringan. Badannya terasa lemah dengan panas yang terkadang meninggi. Dahayu sangat kebingungan. Ia sudah begitu malu untuk terus menerus minta pertolongan tetangga. Sambil terus mengompres kepala Mbah Kijah, ia pun menangis tersedu-sedu.
            “Nduk…”  Sahut Mbah Kijah lemah.
            “Istirahatlah, Mbah…nanti aku baluri badan Mbah dengan bawang merah yaa”
            “Tidak usah Nduk, nanti saja..Mbah mau cerita sama kamu”
            “Sudahlah Mbah..nanti Mbah tambah sakit”
            “Tidak..Mbah harus menceritakan ini padamu”  Mbah Kijah berusaha untuk bangkit. Sambil menangkis pelan tangan Dahayu yang berusaha merebahkannya.
            “Ceritanya nanti saja kalau Mbah sudah sembuh, ya” Bujuknya, tapi Mbah Kijah menolak. Dengan mata setengah terpejam dan nafas tersenggal. Ia pun menuturkan kalimat demi kalimat yang membuat dada Dahayu terasa ditusuk sembilu yang maha tajam.
            “Aku memang sudah sering mendengar orang desa bergunjing seperti itu Mbah, tapi aku tak percaya…”
            “Nasib keluarga kita memang malang Nduk, tapi Ibumu adalah wanita baik baik. Ia hanya menjadi korban kejahatan majikan Malaysianya. Dan Mbah…..Mbah tak mau kamu bernasib sama dengan Ibumu ! Cuma kamu satu satunya harapan Mbah dihidup ini” Tuturnya pedih. Mereka pun berpelukan erat sambil menangis sesegukan. Dahayu merasakan tubuh Mbah Kijah semakin lemah dengan panas meninggi.
            “Nduk, tolong buka koper diatas lemari itu” Pinta Mbah Kijah kemudian. Dahayupun menurutinya.

Dengan bersusah payah ia mencoba membuka satu kotak berbahan beludru merah yang telah lusuh. Ada beberapa kertas kertas yang berisi coretan tangan, perhiasan dan satu kotak kecil yang ternyata menjadi benda yang diambil oleh Mbah Kijah dan diberikan kepada Dahayu. Ia kembali terbatuk batuk.
            “Ini milik Ibumu sebelum ia meninggal dunia, buka lah”. Dahayu terngaga menerimanya. Kebingungan, ketakutan dan rasa tak enak meliputi benaknya, mendadak ia merasakan tubuhnya berat seperti ada sosok lain yang tiba tiba menyeruaki tubuhnya. Tangannya bergetar membuka kotak berornamen emas itu.
            “Mbah...Ada foto Ibuku, perhiasan dan........ini, ini...foto laki laki yang sering aku lihat di...... ?” Serunya dengan mata berkaca kaca.  “Dia Ayahmu Nduk...namun tidak pernah mengakui keberadaanmu sebagai anaknya”. Dahayu menghela nafas panjang seraya menyandar lemah.
            ”Siapa namanya Mbah ?”
            ”Ada dibelakang foto itu, Nduk. Mbah sendiri tak mau mengingat namanya apalagi wajah bengisnya yang telah membuat Ibumu menderita” Nuri membalik foto itu dan menemui tulisan ”Yang Dipertoan Agung Nizham Abdullah”
            “Aku sudah banyak dengar cerita tentang penderitaan Ibu karena ulah orang Malaysia itu Mbah. Wajahnya sering sekali berseliweran di mimpi dan alam batinku. Kadang aku melihat dengan jelas bagaimana ia menyiksa Ibuku. Membuatnya menderita dan........” Kalimatnya terputus oleh desahan dendam. Lalu kilatan amarah dimatanya. Mbah Kijah buru buru mengalihkannya.
            “Tadi malam Mbah bermimpi. Ibumu datang dan meminta Mbah memberikan ini kepadamu. Meski Mbah sudah tahu lama akan benda-benda ini tapi Mbah selalu lupa untuk memberikannya...entahhlah, mungkin karena memang Mbah sudah tua. Dan untuk perhiasan itu, semiskin apapun Mbah tak akan menjualnya. Itu satu satunya benda peninggalan almarhum Ibumu. Kamu berhak untuk menyimpannya Nduk” Dahayu hanya terdiam sambil terus memperhatikan foto laki laki dengan kumis tipis dengan senyum angkuh.

            “Kamu sama sekali tidak mirip Ibumu Nduk, hanya lentik matamu saja. Meski kau terlahir di keluarga miskin,  tapi dirimu memancarkan keagungan seorang perawan ningrat. Cara bicara, berjalan bahkan sorot matamu yang begitu teduh sempat membuat Pak Kepala Desa mengira dirimu adalah keturunan bangsawan Jawa. Mbah tidak tahu, dari mana semua kelebihan itu. Yang jelas tidak mungkin dari lelaki terkutuk itu. Meski menurut Ibumu, lelaki itu adalah anak keturunan raja yang sangat disegani di negaranya.
            “Aku memang tak pernah melihatnya Mbah, tapi aku sering memimpikannya...hampir setiap malam sejak aku kecil. Dalam mimpiku dulu dan sekarang, aku bahkan bisa melihat perubahaan wajahnya dari tahun ke tahun” tutur Dahayu dengan mata menerawang. Lalu di tatapnya kembali foto Ayahnya dan tersenyum sinis.
            “Foto ini diambil dua tahun sebelum kelahiranku dan aku sangat tahu dimana manusia biadab ini berada!”. Sebenernya ada kejanggalan yang terlihat jelas di mata dan tutur Dahayu. Dan banyak pertanyaan yang berseliweran di benak lelah Mbah Kijah, tapi ia terlalu sakit dan lelah untuk sekedar menanggapi apalagi bertanya banyak hal.
            “Mbah hanya ingin kamu tidak bernasib sama dengan Ibumu Nduk, hanya kamu yang Mbah miliki dihidup ini...kalau sampai.....” Kalimat serak itu terputus oleh tangis. Tapi Dahayu tak ikutan sedih seperti biasa. Ia malah menatap tajam wajah neneknya.
            “Mbah jangan nangis! Sudah terlalu banyak air mata derita kita karena laki laki  itu, dan Ia harus membayarnya dengan darahnya sendiri. Apa dia punya darah sebanyak air mata yang telah tertumpah dari mata Ibuku, aku dan Mbah ??!! Jerit Dahayu dengan dada bergemuruh. Gerak gerik Dahayu pun berubah aneh. Tatapan, desah nafas bahkan suara Dahayu mendadak berubah.  Mbah Kijah pun langsung tahu, Dahayu tengah membuat kontak dengan orang orang di dunia lain. Meski ia mengetahui akan kelebihan indra keenam yang dimiliki cucunya, hal itu tak pernah bisa diterimanya. Ia ingin Dahayu terlepas dari semua itu. Membuat hidup Dahayu senormal mungkin adalah hal yang tak pernah berhenti diusahakannya. Meski Mbah Kijah tahu, terlalu berat untuk melepas kodrat Dahayu yang menurut Eyang Karso, memiliki rantai karma dengan para leluhur bangsawan kerajaan Jawa masa lalu. Selain itu, auranya pun sangat di sukai dan di cari oleh manusia manusia berderajat tinggi yang masih terperangkap di dunia pararel.
            “Lalu apa yang akan kamu lakukan, Nduk ? Koe cuma seorang perempuan.. Rasanya tak mungkin melampiaskan dendammu. Mbah takut malah kamu akan......” Sahut Mbah Kijah, seolah ingin menepis ketidak normalan cucunya.

            “Aku harus ke Malaysia Mbah, harus.....aku harus menguras darah lelaki sialan itu! Tak usah tanya bagaimana aku akan menghabiskan seluruh darah yang ada ditubuhnya, bahkan aku biarkan sebagian perutku kelaparan untuk ku beri makan isi perut dan jantungnya !” Timpal Dahayu berapi api. Mbah Kijah berusaha bangkit dan merangkul tubuh Dahayu yang bercucuran keringat dingin. Bibirnya bergetar, matanya berkilat kemerahan. Ada kesedihan sangat yang merambati relungnya, yang sama sekali tak ingin pertumbuhan cucunya di ganggu oleh hal mistis untuk tujuan dan alasan apapun. Namun Mbah Kijah semakin jelas melihat wajah almarhum Nuri di airmuka Dahayu. Ia pun mendekap tubuh cucunya dan mencoba menenangkannya dengan beberapa kalimat doa.
            “Eling Nduk...Eling....Biar Gusti Allah yang membalasnya. Mbah sudah merelakan dengan ikhlas kepergian Ibumu dan semua musibah yang menimpa kita. Mbah yakin, Gusti Allah tidak pernah tidur dan pasti ada pertolongan dan hikmah dari semua ini” Tuturnya sambil terus menenangkan Dahayu.
            “Tidak Mbah, derita ini tidak pernah akan berakhir sebelum dia mati !”
            “Lalu apa daya kita untuk melakukan itu Nduk ? Kita ini orang miskin dan lemah”          
            “Tapi aku tidak lemah, aku bisa melakukan itu!!”
Mbah Kijah pun terdiam. Ia tak mampu lagi menanggapi dendam membara yang tiba tiba bergejolak hebat. Ia sangat bisa merasakan desahan derita almarhum suaminya dan Nuri membaur di amarah Dahayu. Sejujurnya, ia pun sering memimpikan ini. Ia sering memimpikan Nuri memberinya senjata tajam, kepala seorang laki laki dan terakhir yang lebih mengerikan, ia bahkan pernah memimpikan Nuri tengah memakan isi perut mantan majikannya itu. Meski banyak doa yang terus dikirimnya bagi ketenangan arwah Nuri, namun ternyata itu tak cukup menghapus dendamnya hingga  ke liang lahat.

            Mbah Kijah masih terbaring lemah saat matahari telah meninggi. Dahayu tak ada dirumah meski sarapan  dan satu tablet obat pusing telah disediakannya di meja samping tempat tidurnya. Nenek renta itu berusaha bangun dan menuju dapur, ia tetap berniat jualan pagi ini dan mengambil sayuran di pasar meski sudah tak tersisa yang segar bila sudah siang begini. Tapi di dapur Mbah Kijah tak menemui bakul sayurnya. Mbah Kijah pun keluar dan bertanya pada tetangga sekitar.
            “Bu Las, Koe ndelo putuku lungo ngendi ora ?” (Kamu, lihat cucuku pergi kemana, tidak ?)
            “Loh, Ta kira Si Mbah wish ngerti..Dahayu sing  gantiin Mbah jualan sayur hari ini”
            “Oalaaaa....Dahayu, Dahayu...Yo wis Bu Las, kesuwun yoo. Aku masih pusing arep turu maning”
            “Iya Mbah, istirahat saja. Wong Dahayu sudah perawan kok, ndak usah terlalu khawatir. Lagi pula Dahayu itu beda dengan kebanyakan anak gadis lainnya. Ia begitu anggun dan sopan, seperti putri keraton, semua orang memandangnya segan.  Pokoknya Dahayu itu beda ya Mbah” Tutur Bu Las,  Mbah Kijah hanya menanggapi dengan senyum dan berlalu. Anehnya ia tak lagi merasakan sedih seperti biasanaya. Ketakutan akan kehilangan Dahayu seperti nasib Nuri mendadak terkikis pagi ini. Debar aneh dan rasa tak enak itu tak ada lagi. Entahlah,   ia mendapat kekuatan dan keyakinan itu dari mana. Yang jelas, dihatinya telah ada restu seandainya Dahayu harus berangkat ke Malaysia.

            Saat sore hampir menjelang, Dahayu baru pulang dengan diantar supir delman dengan banyak belanjaan yang dibawanya. Ia membelikan Mbah Kijah kain panjang, kerudung dan kebaya baru, juga obat obatan dan vitamin serta makanan lainnya.
            “Dari mana koe dapat kan semua ini Nduk ? Dan mengapa pergi tanpa pamit sama Si Mbah?”
            “Aku tidak mau mengganggu tidur Mbah dan semua ini aku beli dari perhiasan Ibu yang aku jual. Lumayan Mbah. Lakunya mahal sekali kata tukang emas di pasar, ini emas Serawak jadi dia berani bayar mahal, sampe jadi rebutan toko emas di pasar loh Mbah! Disangkanya aku ini orang kaya, masa ada yang memanggilku Kanjeng Putri” Tutur Dahayu dengan tawa renyah. Mbah Kijah menyimak senang keceriaan yang jarang ditemui diwajah cucunya. Memang makin terlihat aura ningrat tertancap jelas di keseluruhan tubuh Dahayu. Leher jenjangnya, mirip sekali dengan lukisan Dyah Pitaloka  yang pernah di lihat dirumah Bapak Lurah dulu.
Oya Mbah,   Ini uang hasil jualan perhiasan itu. Aku saja sampe kaget di kasih uang sebanyak ini. Lima juta rupiah !” Tutur Dahayu dengan mata berbinar “Aku heran, kenapa Mbah tidak menjualnya dari dulu dan membuat warung kecil saja dirumah dengan modal uang ini”
            “Tapi itu milikmu Nduk. Itu pesan Ibumu, makanya Mbah tidak mau menjualnya, tapi kalau kamu telah menjualnya yaa...Mbah tidak melarang apalagi marah”
            “Ada satu lagi kabar gembira Mbah”
            “Opo maning Nduk ?” (Apa lagi, nak ?)
            “Besok aku akan kerumah Pak Abdil dan membatalkan rencanaku untuk pergi ke Malaysia, aku mau disini saja temani Mbah sambil berdagang”
Tapi tak ada wajah gembira Mbah Kijah seperti yang diduga Dahayu, ia malah mendesah sedih.
            “Kenapa Mbah? Bukannya Mbah senang dengan kabar ini ?”
            “Tidak Nduk, Mbah merasa kamu memang harus pergi ke Malaysia dan menyelesaikan apa yang di inginkan Ibumu meski hati kecil Mbah sangat tidak rela jika kamu harus menjadi penerus dendam dan sakit hatinya. Tapi Mbah tidak sanggup lagi melarang...Mbah, sudah ikhlas” Tuturnya dengan mata berkaca kaca. Dahayu hanya ternganga tak percaya.
            “Kenapa tiba tiba Mbah berubah pikiran ?”
            “Karena...karena sepertinya Ibumu memang menghendaki dirimu untuk berangkat kesana Nduk.. Meski selama bertahun tahun Mbah mencoba menolak segala mimpi mimpi itu. Dan semakin Mbah tolak semakin sering pula arwah Ibumu mendatangi Mbah yang sulit dibedakan antara mimpi dan kenyataan. Dahayu hanya terdiam, di ujung sana matanya cakranya langsung menangkap sosok Nuri yang berdiri semakin dekat ke arahnya. Komunikasi batin pun terjadi antara Dahayu dan arwah Ibunya. Dahayu tak banyak menjawab, ia hanya mengangguk beberapa kali.
            “Ibu baru saja mengatakan hal yang sama Mbah” Ujar Dahayu menjelaskan. Mbah Kijah hanya mendesah pelah, matanya menyapu ruang disekitar rumahnya. Namun hanya mengundang rasa dingin dan merinding di sekujur tubuhnya.
            “Itu lah sebabnya Nduk, Mbah tak punya alasan lagi untuk menahanmu, meski Mbah khawatir, tapi Mbah yakin Gusti Allah pasti melindungimu”
            ”Aku tahu dimana harus mencarinya !” Ujar Dahayu dengan suara yang berubah menjadi suara Nuri. Meski hal tersebut bukan pertama kali di temuinya, namun tak urung membuat batinnya lelah. Satu hal yang membuatnya sedih, adalah keinginannya untuk membuat Dahayu tumbuh senormal mungkin. Tanpa harus hidup di dunia pararel.
            “Aku tahu dimana dia Mbah, aku tahu apa yang sedang dia lakukan saat ini!” Serunya dengan tangan dan bibir bergetar. Mbah Kijah kembali menenangkan cucunya. Dan mengajak Dahayu  duduk.
            “Nduk, eling Nak....” Tiba tiba Dahayu menangis tersedu.
            “Apa yang terjadi dengan ku Mbah ? Setiap kali aku melihat foto itu, tubuhku sekonyong konyong menjadi berat. Aku bahkan dapat melihat sosoknya dengan jelas, duduk manis di sebuah rumahnya yang megah sambil membaca koran. Seolah aku pernah menjadi bagian dari hidupnya begitu lama. Tapi.....tapi.......” Kalimat di bibir Dahayu kini tersenggal oleh senggalan nafasnya yang memburu kencang. Ada kilatan amarah yang terpancar dimatanya. Mbah Kijah, malah melihat jelas kemarahan almarhum Nuri dimata cucunya yang mendadak kehilangan keluguannya seperti biasa.
            ”Tapi apa Nduk...Eling Nduk ! Eling! Timpal Mbah Kijah menyadarkan.  Dahayu pun tergugu dalam tangis sambil memeluk tubuh tua Neneknya.
            ”Apa yang terjadi denganku  Mbah? Apa arti semua perasaan aneh ini ?”
            “Mbah sendiri tidak tahu apa arti semua ini, tapi Mbah takut jika tidak menuruti apa yang diinginkan almarhum Ibumu, maka ia akan terus mendatangi kita. Dan  Mbah akan sangat merasa berdosa jika kelak Mbah telah tiada, dendam ini belum juga terselesaikan, Nduk” Dahayu masih menangis di pelukan Mbah Kijah dalam ketakutan, kebingungan dan kekuatan yang semakin menggumpal menjadi energi baru  yang tak pernah ia mengerti sebab dan asal muasalnya. Namun selintas kemudian, ia pun tersenyum dalam pejaman mata yang erat. Prajurit tampan itu datang menghampirinya, memeluknya dan memberi kehangatan tersendiri dibatinnya. Jasad Dahayu pun tertidur, tapi rohnya jauh terbawa ke suatu masa ratusan tahun lalu. Jiwanya nelangsa saat pandangannya bertaut dengan tatapan tajam nan lembut prajurit tampan tersebut. Disebuah pendopo keraton, mereka pun memadu kasih.
@@@

Pagi masih menyisakan kehangatan mentari. Namun tidak dihati Mbah Kijah. Rasa dingin yang aneh dan misterius terus saja melingkupi hati dan sanubarinya. Ingin rasanya ia menceritakan semua yang ia alami sejak kematian Nuri. Banyak hal janggal yang mengikutinya. Nuri memang tidak mati dibunuh, ia meninggal beberapa jam setelah Dahayu lahir. Namun beberapa menit sebelum kematiannya, ada pesannya yang berusaha di lupakan oleh Mbah Kijah tapi tak pernah bisa.

            “Wujudku boleh saja mati Bu, tapi aku akan terus hidup pada jiwa anak ini. Akan ku tuntun ia untuk melampiaskan dendamku pada Nasruddin, lelaki biadab itu !”

Setelah itu Nuri pun pergi dengan sebongkah dendam yang dituntut untuk dipecahkan kemudian hari dengan cara apapun. Mbah Kijah yang taat dan percaya pada kekuatan Gusti Allah, terkadang tak bisa menerima hal itu. Namun ia tak pernah berhenti di kunjungi kemarahan Nuri kerap kali ia mencoba melawannya. Akhirnya, saat itu pun tiba. Dahayu beranjak remaja dan waktu itu telah datang menjemputnya. Mbah Kijah mendesah miris. Harus kah Dahayu yang terlahir tanpa pinta dan dosa itu, menanggung beban dendam ini ? Mengapa ada seorang lelaki yang begitu biadab menanamkan benih tak berdosa dan menistakannya begitu saja ? Sejak musibah itu menimpanya, yang bisa dilakukan Mbah Kijah hanya berpasrah dalam doa. Meski tak terhitung sudah air mata dan rasa sakit hati yang terus dilawannya dengan menganggap ini sebagai bagian dari takdir buruknya sebagai manusia. Sakit hati itu pula yang menjadi andil paling besar atas kematian suaminya. Mbah Lasirun memang tak sekuat dirinya. Ia bisa tegar menerima semua hujatan orang atas nasib yang diterima anaknya yang mati dan meninggalkan seorang cucu yang seumur hidupnya di cap sebagai anak haram. Bahkan sejak Dahayu lahir dan mendapat stigma itu dari masyarakat desa, Mbah Lasirun tak berani lagi pergi sembahyang berjamaah di masjid. Jarang ikut pertemuan di desa dan mengundurkan diri dari kepengurusan berbagai kegiatan di balai desa. Iia tak pernah menolak atau membenci  kelahiran Dahayu. Tapi gempuran masyarakat desa atas aib yang tak pernah mereka minta membawa Mbah Lasirun pada derita batin yang luar biasa. Ia sering termenung, terlebih saat menjiarahi makan anaknya. Mata tuanya terus saja dilinangi airmata dendam dan duka. Sampai akhirnya, suatu pagi Mbah Kijah menemui Mbah Lasirun yang tak pernah terbangun lagi dari tidur terakhirnya, tepat dimalam 40 hari kelahiran Dahayu. Mulai detik itu, Mbah Kijah berjuang seorang diri membesarkan Dahayu diantara gaung cerca yang tak pernah hilang sama sekali hingga kini. Dan Mbah Kijah berusaha untuk bertahan, ia percaya pada kekuatan doa. Seandainya derita ini tak berakhir pada rentang hidupnya, setidaknya ia punya doa agar pada Dahayu lah hikmah itu bisa terpetik. Atau bisa jadi, Ia dan keturunannya lah yang di pilih Gusti Allah untuk mengakhiri satu angkara murka di muka bumi ini. Mbah Kijah tak pernah berani mengandaikan apa yang akan terjadi pada kehidupannya kelak, bahkan untuk hal baik sekalipun. Ia hanya percaya pada keadilan Tuhan di hidup ini. Hanya itu....keadilan yang berlaku bagi hambanya tanpa mengenal kasta dan gelar. 

(Bersambung : Bab III Sedulur Papat Kelima Pancer)

No comments: