Monday, March 13, 2017

KARMA GETIH - Bab Tiga "Sedulur Papat Kelima Pancer" #Cerbung

BAB III
SEDULUR PAPAT KELIMA PANCER
(Ria Jumriati)

Image from Google

Pak Abdil tersenyum girang mendengar penuturan Mbah Kijah yang telah menyetujui keberangkatan cucunya untuk di bawa ke Malaysia. Berkali kali ia meyakinkan Mbah Kijah, bahwa Dahayu akan ditempatkan pada majikan yang baik dan dijamin tidak akan bernasib sama seperti Lastri dan Hanum. Meski janji itu sama juga diucapakan pada orang orang yang pulang dengan petaka luar biasa yang kurang lebih sama.
            “Ndak usah khawatir Mbah, Dahayu pasti akan selamat. Doa kan saja”
            “Dia milikku satu satunya Pak, jadi tolong jangan berikan pada orang yang salah. Kamu toh pasti sudah tahu apa yang menimpa almarhum Ibu
nya. Aku tidak mau kehilangan cucuku tersayangku dengan cara itu lagi”
            “Tuhan itu adil Mbah, mosok sih Gusti Allah sampe tega sama nasib sampean”
Mbah Kijah hanya mengangguk kecil. Sementara Dahayu masih berada di ambang kebimbangan sebagai sosok Dahayu yang sesungguhnya dan dibawah pengaruh arwah Ibunya yang kini berpindah lekatnya dari Mbah Kijah menuju dirinya. Bedanya,Mbah Kijah kerap menolak ruh Nuri yang jika ia mau jujur, sudah tak terhitung cara ia mengatasinya, sayangnya ia tak bisa menghalangi keinginan kuat Nuri untuk menyambangi anaknya. Hingga kian hari banyak hal aneh yang dirasakan Dahayu kini. Saat ia berbicara, berjalan, bahkan berkaca. Dahayu seolah selalu melihat sosok lain yang membayangi. Namun ia tak bisa mengungkapkannya secara lisan. Entahlah, hanya terkadang ia merasa kepalanya mendadak berat dan pusing. Ketika jatuh tertidur, ia seakan dibawa kesuatu jalan, tempat dan sebuah rumah megah yang seperti pernah ditinggali sebelumnya. Lalu senyum seringai seorang lelaki yang wajahnya tak asing lagi. Lalu ada kemarahan yang tak bisa dibendungnya, hingga Dahayu selalu terbangun dalam mimpi buruk dengan nafas terengah ketakutan. Sebenarnya mimpi didatangi almarhum Nuri, bukan hal yang baru di hidup Dahayu. Tapi Mimpi yang melewati ambang batas sadarnya dan bukan lagi sekedar bunga tidur, makin sering dialaminya kini. Makin dekat hari keberangkatannya ke negeri Jiran, makin kuat pula tekad pada suatu niatan yang tak bisa di artikan Dahayu secara gamblang. Bahkan ia seolah terlupa bahwa tujuan utamanya ke Malaysia adalah menjadi TKW.
            ”Dua hari lagi kamu sudah harus berangkat Nduk ” Bisik Mbah Kijah di sisi  Dahayu sambil mengelus rambut sebahu cucu kesayangannya.
            ”Aku tidak akan lama Mbah dan uang hasil dari kalung Ibuku pasti cukup untuk Mbah makan sehari hari sampai aku mengirimi dari gajiku bekerja disana nanti. Lagi pula Mbah juga tak perlu jualan sayur keliling lagi kan, wong jualan dirumah juga sudah laku kok” Sahut Dahayu meyakinkan dan memeluk tubuh tua neneknya. Satu satunya tubuh yang ia kenal sejak lahir dan memberinya kehangatan dan ketenangan yang tak tergantikan.
            ”Bukan itu yang Mbah khawatirkan” Mata Mbah Kijah kembali berkaca dengan tatapan sedih menerawang.
            ”Percayalah Mbah, nasibku tidak akan seburuk Hanum dan Lasmi...apalagi Ibuku”
            ”Bukan Nduk.....Bukan itu !” Tiba tiba Mbah Kijah menangis sesegukan. Dahayu segera merangkul tubuh Mbah Kijah yang terguncang tangis.
            ”Aku akan selamat Mbah...percayalah!
            ”Ibumu....arwah Ibumu, Nduk! Itu yang Mbah takutkan”
Mendengar itu, Dahayu hanya menghela nafas panjang. Bongkahan berat itu semakin terasa menindih batinnya.
            ”Tiga hari yang lalu bertepatan 35 hari setelah weton hari kelahiranmu, Mbah mendatangi Eyang Karso”
            ”Eyang Karso ? Yang tinggal di atas gunung itu ? Mbah bisa sampai ke sana  sendirian ? Untuk apa sih Mbah ?”
            ”Mbah memintanya untuk melakukan ruwat atas dirimu agar terbebas dari ruh almarhum Ibumu, dan yang lainnya tapi........”
            ”Tapi apa Mbah ? Aku tidak takut dengan ruh Ibuku...malah aku ingin sekali ia datang dalam wujud apapun, aku tidak takut...aku bahkan sangat merindukannya”
            ”Nduk, Ibu ternyata masih terombang ambing antara alam nyata dan ghaib. Ia akan terus ada di setiap langkahmu sampai niatan dendamnya tercapai. Padahal sudah banyak doa yang Mbah kirimkan agar Ibumu tenang di alam sana, tapi  ia selalu saja hadir dan meminta Mbah untuk mewujudkan dendamnya. Tapi Mbah selalu menolak, dan kini ia telah ada di dirimu Nduk. Hal  itu tak mungkin bisa kau tolak karena sebelum ia meninggal, ternyata sebagian ari ari mu yang terpotong telah di makannya. Alasan itu lah yang membuat Eyang Karso kesulitan melepaskan ruh Nuri dari dirimu. Dan.....Mbah sangat takut...takut sekali terjadi hal buruk pada dirimu Nduk” Tutur Mbah Kijah semakin sesegukan.
            ”Aku tidak akan mengorbankan Dahayu !” Tiba tiba sosok Dahayu berdiri tegap dengan kilatan amarah di matanya. Mbah Kijah tersentak kaget, tapi hanya sebentar. Ia tak takut, ini bukan pertama kalinya roh Nuri merasuki seseorang bahkan benda benda di dalam rumah. Dulu ketika Dahayu bayi, arwah Nuri bahkan pernah berwujud bakul sayurannya, bantal guling  bahkan daun jendela yang terhempas keras berkali kali.
            ”Kembalilah kepada Gusti Allah Nduk....biarkan anakmu tenang . Jangan bebani ia dengan dendammu yang terlalu berat untuk di pikulnya ” Pinta Mbah Kijah seraya tertunduk. Ia tak berani menatap langsung mata itu karena setiap kali ia menatapnya, maka keesokan harinya ia akan jatuh sakit hingga tiga hari lamanya, dan tak akan sembuh sebelum memasuki hari ketiga. Meski Nuri darah dagingnya sendiri, namun  perbedaan alam tetap saja membuatnya gemetar.
            ”Dahayu akan kuat dan menang.....Ia akan pergi mewujudkan dendamku!”
Setelah itu Dahayu pun roboh dengan tubuh lunglai. Matanya menerawang kosong. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
            ”Ibu datang lagi Mbah ?” Tanyanya lemah. Mbah Kijah tak sanggup menjawab. Perasaannya semakin teriris pedih melihat penderitaan cucunya. Segera di ambilnya daun sirih yang  di rendam dalam air dingin, lalu di semburkan ke wajah cucunya bersamaan serangkaian doa dalam bahasa kejawen. Hingga Dahayupun tertidur nyenyak.
            Pagi sekali Mbah Kijah sudah terjaga, karena sejak malam memang matanya tidak bisa terpejam sama sekali. Ia sengaja meninggalkan Dahayu yang masih tertidur. Setelah berkemas ia pun berjalan melewati jalan setapak desa, titian sawah hingga akhirnya bertemu dengan Pak Turno – Supir delman di desa tetangga.
            ”Mau kemana Mbah, masih pagi kok sudah jalan jalan ?”
            ”Anter aku ke desa Welas di atas gunung sana ya ?”
            ”Oalaaaa Mbah...ada keperluan opo toh di atas gunung sana?” 
            ”Akh sudah lah, jangan banyak tanya” Timpal Mbah Kijah mengalihkan keingin tahuan Pak Turno. Semalamam ia memang sudah merencanakan untuk menemui Eyang Karso kembali – Guru spiritual peganut paham Kejawen yang tahu betul permasalahan hidupnya. Tak banyak memang orang desa yang masih memegang kepercayaan yang terbalut kental kebudayaan, tradisi sekaligus mistis itu. Namun ia terlanjur mengimaninya dan mempercayai banyak simbol sebagai perantara bagi keyakinan yang dianutnya. Di pagi buta ini pun Ia telah mempersiapkan beberapa sesajen untuk tujuan tertentu yang akan di bicarakannya pada Eyang Karso.

            ”Tadi malam, Nuri datang lagi ?”Tanya Eyang Karso seolah memiliki indra keenam atas kejadian yang menimpa Mbah Kijah dan Dahayu. Mbah Kijah hanya terduduk sedih di hadapan. Suasana di atas gunung yang dingin serta suara angin yang mendesahkan kemistisan tersendiri semakin membuat bulu kuduk berdiri, apalagi dilengkapi dengan wangi wangian bunga sesajen yang di bawa oleh Mbah Kijah yang merupakan  penganut paham kejawen yang sangat taat. Ia patuh pada keseimbangan, pada simbol simbol kehidupan yang telah ditentukan oleh Gusti Ingkang  Maha Kuaso. Mbah Kijah tak pernah meninggalkan ritual ritual suci yang telah ajarkan pendahulunya. Peristiwa pedih yang terjadi pada diri anaknya, telah lama di pahaminya sebagai karma atas ketidak seimbangan yang mungkin dulu pernah dilakukan dirinya atau suaminya bahkan leluhur penduhulunya, entahlah. Meski kadang terbantahkan oleh logika dan akal sehat, namun Mbah Kijah telah terlanjur terdoktrin untuk menjalani kehidupannya pada rel kepercayaan yang di yakininya bisa membawanya  mencapai tujuan hakiki kehidupan selanjutnya yang bersih dari segala karma duniawi. Agar dalam penghidupannya ia senantiasa selalu bisa mengamalkan kebersihan hati agar tercapai harmonisasi antara ia sebagai Kawulo dan Gusti Hyang Sukma.
            ”Kedatanganku kemari, karena aku makin bingung Eyang, semakin dekat Dahayu berangkat ke Malaysia justru rohnya semakin sering  menggentayangi Dahayu, aku takut cucuku tidak sekuat aku menerima ini”
            ”Dahayu sama sekali tidak lemah, justru terlalu kuat”
            ”Maksud koe opo toh Eyang ?” Tanya Mbah Kijah khawatir
            ”Beberapa ritual ruwatan pernah aku lakukan untuk membawa Dahayu keluar dari pengaruh gaib yang melingkari jiwa nya sejak lahir. Tapi kenyatanya terlalu sulit” Ujar Eyang Karso seraya berdiri menghadap jendela ruang tengah yang langsung memaparkan hamparan hutan basah yang luas.
            ”Tolonglah cucuku Eyang, aku hanya ingin ia hidup normal dan tidak diganggu oleh mahluk halus manapun, termasuk arwah Ibunya !”
            ”Jiwa Nuri terlalu sakit dan menderita hingga sulit menyatu dengan alam kematian yang sebenarnya. Ia akan terus membayangi Dahayu bahkan menjadi bagian dari jiwanya, terlebih Dahayu memang memiliki energi yang mudah menyatu dengan roh Ibunya. Aku bisa membantu namun ikatan batin antara Nuri dengan Dahayu sangat kuat, dan tak ada hubungan yang begitu kuat di dunia ini selain antara Ibu dan anak. Ditambah adi ari ari Dahayu yang telah di makannya sebelum wafat dan terus dipelihara Nuri untuk menuntut dendam kesumatnya itu”
            ”Maksud Eyang, apakah Dahayu akan bernasib sama dengan Ibunya ? Oooohhhh, Gusti..aku lebih baik mati lebih dulu jika harus menerima takdir buruk itu lagi ! Tolong aku Eyang ” Tutur Mbah Kijah dengan tangis tertahan. Eyang Karso menghampiri wanita tua itu. Di ambilnya beberapa tangkai bunga sesajen yang dibawanya. Lalu memperhatikan dengan seksama. Matanya yang tajam dengan sorotan mistis seolah tengah menerawang sesuatu lewat kembang sesajen berwarna merah darah itu.
            ”Tidak seburuk itu Mbah. Karena sejak lahir salah satu ”Sedulur Papat Kelima Pancer1” akan selalumenjadi penjaganya,  tapi juga bisa merubahnya menjadi seseorang........seseorang yang.....” Kalimat Eyang Karso terhenti
dengan mata terpicing. Tiba tiba ia berteriak pelan. Ada darah segar mengalir dari bunga sesajen  yang di pegangnya. Mbah Kijah ikut terkejut. Bunga itu terjatuh dilantai kayu rumah panggung Eyang Karso. Keduanya menatap bunga itu tak percaya. Darah segar masih mengalir di tengah kelopaknya. Mbah Kijah tak berani menuntut penjelasan rinci demi melihat Eyang Karso yang langsung terduduk dengan posisi semedi dan mata terpejam rapat, sementara dadanya seolah tengah menghimpun energi mistis di sekitarnya. Mbah Kijah pun, melakukan hal yang sama dan spontan mengikuti ritual menyatu dengan alam roh yang tengah di masuki Eyang Karso.
Dalam kepekatan ruang dan waktu, arah yang tak tentu dan bayang bayang serba hitam serta suara suara tak jelas antara rintihan, tangis bahkan tawa bergema danderita. Eyang Karso berusaha memasuki kegetiran alam roh yang di huni Nuri. Ada kelebat bayang Mbah Kijah yang berusaha mengikuti, namun Eyang Karso segera memberi isyarat.
            ”Jangan Mbah Kijah, hal ini masih terlalu berat untuk dirimu” Begitu suara batin yang di tujukan pada Mbah Kijah dan langsung dimengerti olehnya. Ritual seperti ini, sudah sering dilakukannya bersama Eyang Karso yang telah memiliki ’ngelmu2hampir sempurna . Dan Mbah Kijah akan sangat paham dengan semua itu. Tak mudah mencapai penghayatan ngelmu seperti Eyang Karso. Terkadang ada hal special yang dimiliki Eyang Karso namun tak pernah dipelajarinya atau bisa diajarkan kepada pengikutnya. Karena beberapa diantaranya adalah warisan dari sang leluhur yang telah memilihnya. Mbah Kijah pun menuruti meski ada jiwa anaknya yang masih kesakitan dan terperangkap di dunia arwah gentayangan.
Eyang Karso masih berusaha menghimpun energi dan menciptakan komunikasi telepati dengan memanggil arwah Nuri. Wajahnya yang tenang mendadak bergetar dan memerah. Jari jemarinya mengepal dalam getaran seolah tengah mempertahan sesuatu dengan sangat kuatnya agar tak terlepas. Mbah Kijah pun membantu dengan membakar dupa sesajen yang dibawanya. Hal ini konon dipercaya bisa menghantar doa ke alam arwah. Dan ritual ini memang cukup membantu, Eyang Karso perlahan terlihat tenang namun bibirnya mulai mendesiskan sesuatu dalam bahasa Jawa kuno, pertanda komunikasi telepati dengan sang arwah telah terjadi.  Beberapa menit berselang, ia pun tersadar. Mbah Kijah langsung memberinya segelas air putih dan memintanya untuk segera membasuh wajahnya dengan genangan air kembang yang telah disiapkan dalam krendengan sesajennya.  
            ”Apa yang telah terjadi Eyang ? Dapat kah ia membebaskan cucu semata wayangku ?” Tanya Mbah Kijah penasaran. Eyang Karso mendesah pelan dengan tatapan kosong.
            ”Nuri terlalu sakit, terlalu menderita. Apa yang telah dilakukan laki laki itu sangat menyakitkan dan hanya menyisakan  jejak jejak darah di jiwanya yang marah dan terluka. Aku bahkan menjadi tak berdaya demi menyelami deritanya.....ehhh, kasihan sekali nasibmu, Nduk” Desah Eyang Karso seolah mengerti derita dan dendam Nuri.
            ”Lalu, bagaimana nasib Dahayu jika ia ternyata tidak kuat menahan semua beban dendam itu, Eyang? Aku tak mau kehilangannya !
            ”Tenanglah Mbah, aku yakin Dahayu akan mendapat perlindungan dari Gusti Allah. Yakinlah, doa doamu akan menghalau semua kemalangan dan angkara murka bagi Dahayu” Eyang Karso berusaha meyakinkan kegalauan Mbah Kijah. Namun di mata tua itu ada tersirat sebersit harapan. Ia memang yakin, doa bisa menyelamatkan segalanya. Karena terus berdoa maka ia masih bisa kuat bertahan di antara derasnya arus derita di kehidupannya. Doa, bagi Mbah Kijah tak sekedar kandil kemerlap di keremangan hidupnya, bahkan telah menjadi tiang maha kokoh diantara kerapuhan yang melingkupi kegetiran nasibnya. Dengan cara, kepercayaan dan keimanan dalam bentuk yang sangat ia yakini bisa membawa pintanya pada kejernihan jawaban suara Hyang Sukma atas segala pinta dan pengharapannya.
            ”Sebenarnya ada hal lain lagi yang semakin membuatku khawatir Eyang” Tutur Mbah Kijah semakin galau. Eyang Karso menyimak serius.
            ”Koe kan sudah tahu kalau Dahayu itu bisa berbicara dengan mahluk halus. Bahkan sedari kecil ia pernah beberapa kali menghilang, yang menurut sampean di ’pinjam’ oleh leluhurnya. Yaa...seperti yang sering aku kuceritakan. Kedatangan nenek berambut putih, bercakap cakap dengan mahluk halus dan meramal dengan tepat kematian Pak Bagio yang sakit keras. Untungnya, tak ada orang desa yang tahu kelebihannya tersebut”
            ”Dahayu merupakan titisan, dan itu takdir yang terlalu sulit untuk kau ubah Kijah” Timpal Eyang Karso tenang
            ”Tapi Eyang...mengapa harus Dahayu ?”
            ”Karena dalam tubuhnya mengalir darah keturunan seorang Raja, ada mata rantai karma yang harus di selesaikannya. Hal itu yang harus kau mengerti Kijah” Tutur Eyang Karso seraya menatap wajah pucat Mbah Kijah.
            ”Keturunan Raja ? Mana mungkin Eyang, sejak dulu sampean sudah tahu siapa keluarga kami. Orang miskin seperti kami mana mungkin memiliki darah biru”
            ”Kau sadari atau tidak,  yang pasti Dahayu memiliki darah, aura dan roh leluhurnya yang agung”
            ”Apa...apa memang benar yang dikatakan Nuri bahwa  lelaki yang telah menghancurkan hidupnya itu adalah benar keturunan Raja ? Orang biadab seperti itu ? Tidak mungkin !” Sangkalnya tak percaya.
            ”Pada dasarnya, kesucian serta kesakralan keturunan para Raja  yang memang benar benar suci dan luhur harus tetap dijaga sampai kapanpun. Dan, jika ada salah satu keturunannya yang menodai kesucian dan kesakralan itu, maka akan diutus satu orang keturunan berikutnya untuk membersihkannya dan memutus mata rantai yang pernah ternoda itu dengan cara apapun”
            ”Aku bingung Eyang. Aku benar benar bingung!”
            ”Pasrahkan saja semuanya pada Gusti Allah. Jangan pernah paksakan keinginanmu untuk merubah Dahayu tumbuh layaknya gadis normal. Sejak lahir, ia memang telah memiliki perbedaan itu. Ia memiliki tugas dari leluhurnya yang harus di selesaikan”
            ”Lalu apa kaitannya dengan arwah Nuri yang juga sering mendatanginya ?” Eyang Karso mendesah pelan. Matanya menerawang kesekeliling ruang. Ia langsung merasakan ada roh lain yang duduk bersamanya kini.
            ”Itulah yang kumaksud, bahwa Dahayu terlalu kuat. Ia mengemban tugas dan dendam yang di wariskan dari Ibu kandung yang juga memiliki pertalian kuat dengan Ki Kusumacitra, serta leluhur suci yang mengalir deras di aliran darah serta denyut nadinya”
            ”Ki Kusumacitra ? Bagaimana mungkin Eyang ? Keturunan kami tidak setinggi itu!”
            ”Sewaktu Lasirun masih hidup, aku pernah mengatakan ini padanya. Tapi ia terus melakukan penolakan dan tak pernah percaya akan hal itu. Aku tidak memaksa, tapi Lasirun dan keturunannya juga tidak bisa memungkiri takdir yang ada”

            ”Semenjak Dahayu mendapat menstruasi, ia memang tak lagi sering didatangi mahluk mahluk menyeramkan. Tapi....tapi...seorang pangerang tampan yang menurut pengakuannya adalah salah satu prajurit Patih Gajah Mada. Aku lupa namanya....Emmm...sopo sih yaa?” Mbah Kijah berusaha mengingat nama yang pernah di desiskan Dahayu saat tengah meracau dalam mimpinya.
            ”Raden Mas Ganendra” Ujar Eyang Karso.  
            ”Iya, betul ! nama itu yang sering di desiskan Dahayu, Koe....Koe  bisa tahu ?”
Eyang Karso menghela nafas berat. Matanya terpicing seolah memikirkan sesuatu. Ia mencoba menerawang lebih jauh lagi. Dan ia melihat sesuatu hal besar dan tak biasa akan segera di alami Dahayu.
            ”Besok pagi sekali, bawa lah Dahayu kemari. Aku akan kembali melakukan serangkaian ’ruwatan’ lengkap untuknya” Ujar Eyang Karso tegas. Mbah Kijah hanya menggangguk dengan tatapan yang berharap mendapatkan penjelasan rinci tentang siapakah Raden Mas Ganendra tersebut. Tapi Eyang Karso langsung terduduk dalam posisi semedi. Melihat hal tersebut Mbah Kijah pun langsung mengerti, pria tua sakti itu tengah merambah ilmu untuk tujuan tertentu. Ia pun beringsut pamit.
            ”Terima kasih, Eyang. Saya pamit dulu”
            ”Siapkanlah beberapa perlengkapan yang sesuai dengan weton kelahiran Dahayu, apa yang harus dipantang dan apa yang harus dipakai. Koe pasti sudah tahu, bawa semua besok pagi sebelum fajar” Ujarnya dengan mata tetap terpejam.
Mbah Kijah hanya mengangguk lemah sambil menyeka air matanya pelan dan bangkit . Lelaki berjanggut putih itu masih dalam posisi semedi dengan mata rapat terpejam. Dalam terawang batinnya, banyak sekali hal yang yang diluar kemampuan keilmuannya. Ia pun langsung  melakukan ’olah kanuragan’, salah satu instrumen supranatural dalam praktek ke ilmuan yang di yakininya.  Jauh sebelum Dahayu lahir, ia memang sudah meramalkan, bahwa Mbah Kijah akan memiliki keturunan yang masih memiliki pertalian kuat dengan leluhur para bangsawan Jawa masa lalu. Bahkan jauh sebelum Nuri lahir ia selalu menyuruh Mbah Kijah dan almarhum suaminya untuk sering melakukan ritual ’slametan’ yang sangat di percaya oleh penganut kepercayaan kejawen sebagai jalan lurus menuju Tuhan. Namun karena ada benturan keyakinan antara Mbah Kijah dan suaminya, maka tak semua ritual mistik dalam kepercayaan Mbah Kijah yang diamalkan dengan tulus. Meski Mbah Lasirun tetap menjalankan beberapa ritual Kejawen yang erat dan tersamar dalam bingkai budaya Jawa namun sangat lentur dan akomodatif bagi dirinya yang memegang teguh rukun Islam.
Sore itu, Mbah Kijah pun pulang dengan perasaan nelangsa namun tetap dengan keyakinan yang diberikan oleh Eyang Karso. Naluri keibuannya memang telah mengisyaratkan hal tersebut. Dahayu akan selamat dimana pun ia berada selama doa tetap terpanjat untuknya. Meski kekhawatiran akan kehilangan Dahayu atau hal hal lain yang membuatnya menderita terus saja membayangi segenap langkah hidupnya. Itu tak terpungkiri, terlebih tinggal tersisa 3 hari lagi menjelang keberangkatan Dahayu ke Malaysia. Banyak hal yang harus di persiapkan, terutama ketegaran dan keikhalasan hatinya.
            Kelelahan Mbah Kijah disambut oleh senyum manis cucunya.
            "Si Mbah dari mana sih ? Kok lama sekali" Tanyanya dengan suara manja. Mbah Kijah hanya tersenyum kecil sambil mengelus rambut sebahu Dahayu. Rambut legam dengan aroma khas yang selalu membawanya pada masa lalu, dan rasa sakit atas kehilangan menyakitkan yang mengikutinya.
            "Dari tempat Eyang Karso, Nduk"
            "Yang diatas gunung itu ? Tanyanya dengan mata membulat "Untuk apa Mbah kesana lagi ? sudah jauh, serem dan selalu membuat Mbah jadi sangat lelah" Ujar Dahayu sambil menyodorkan segelas teh manis hangat.
            "Banyak yang harus Mbah dan Eyang Karso persiapkan untuk mu, Nduk"
Mendengar itu, Dahayu menghela nafas panjang sambil memeluk neneknya.
            "Mbah, tak perlu khawatir. Aku akan baik baik saja disana, percayalah Mbah"
            "Mbah tidak mau hal buruk itu terjadi lagi" Timpalnya mulai sedih.
            "Tidak akan Mbah, aku yakin akan selalu mendapat perlindungan Gusti Allah"
            "Tentu Nduk, Mbah akan selalu berdoa untukmu"
            "Lalu apa lagi yang Mbah takutkan ?"
            "Besok, pagi pagi sekali Mbah akan membawamu ketempat Eyang Karso untuk menjalani ruwatan lengkap"
            Ada protes di mata Dahayu, namun urung demi melihat kesedihan dimata neneknya.
            "Bukankah waktu itu aku sudah pernah di ruwat, Mbah ?"
            "Koe belum terlalu kuat, Nduk. Ini demi keselamatanmu"
            "Baiklah, Mbah" Ujar Dahayu akhirnya. Meski ada pertentangan kecil di hatinya. Karena proses ruwatan selalu menghadirkan 2 energi yang berusaha menyeruak di tubuhnya, tentu saja tak enak. Tubuh yang terasa sangat berat dan  pusing yang hebat. Ada hal yang tak bisa dijelaskan secara logika dan akal sehat. Namun nyata dirasakannya. Seolah ada kekuatan lain yang berusaha menyatu di sanubari dan semakin mempertajam nalurinya. Apalagi setelahnya,  ia, Mbah Kijah dan Eyang karso serta beberapa pengikut di paguyubannya melakukan serangkaian ziarah  ke makam para leluhur sambil melakukan semedi di atas makam tersebut. Konsentrasi batin tinggi yang dilakukan Eyang Karso, Mbah Kijah dan beberapa pengikutnya selalu menghadirkan pemandangan mistis yang memaksa Dahayu untuk lebur bersamanya.  Seperti kemampuan berkomunikasi dengan roh para leluhur lewat pembacaan kidung kidung tertentu dalam bahasa Jawa Krama untuk memanggil roh para leluhur, yang nyata selalu hadir lewat desiran angin yang tak biasa, atau padamnya lampu secara tiba tiba. Namun kedatangannya sangat diharapkan dalam setiap ritual mistik kejawen yang dipercaya bisa memberi wangsit atau tanda tanda gaib. Tak jarang Dahayu mengalami penolakan alami disisi lain batinnya. Selalu ada pergolakan emosi yang tak pernah bisa di mengerti oleh keluguannya. Namun doktrin kejawen yang telah di tanamkan Mbah Kijah sejak kecil selalu mempermudah hal tersebut. Bahwa, ada jarak kedekatan manusia dengan Tuhan yang bisa sangat dicapai dengan konsentrasi batin yang tinggi.  Perlahan Dahayu harus menerima bahwa hal hal mistik yang diturunkan untuknya, telah menjadi satu paket tindakan luhur dalam sebuah laku spiritual Jawa yang dilandasi oleh cinta dan pengalaman nyata.
            Sejak bayi hingga menjelang tujuh belas tahun umurnya. Dahayu telah akrab dengan segala ritual dan benda benda yang di keramatkan dalam kepercayaan yang dianut neneknya. Bahkan konon, leluhur Mbah Kijah masih memiliki pertalian darah dan batin dengan Ki Kusumacitra, yang ajarannya termaktub dalam Kawruh Kasunyatan Gaib dalam kepercayaan mistik kejawen. Tak heran, Eyang Karso yang merupakan pendiri salah satu paguyuban kejawen,  yang memegang teguh buku ajaran beliau yaitu ”Kusuma Gusti” dan ”Wigati”. Seolah mempunyai tanggung jawab moral yang sangat tinggi dalam menjaga keturunannya. Lewat laku penyucian batin, Eyang Karso kerap melakukan ”Tapa Brata”  seperti mutih, yaitu hanya makan nasi putih tanpa garam dan lauk pauk. Tujuannya untuk mensucikan batin agar mudah menerima wangsit atau petunjuk dari roh para leluhur.
            Ada hal yang merupakan mata rantai yang membuat Nuri mengalami nasib buruk seperti itu, ada karma yang harus dibayar Nuri sebagai akibat dari ketidak patuhan dan pelanggaran yang di lakukan oleh pendahulunya. Eyang Karso telah lama merasakan hal itu, namun ia tak bisa menuntut pengakuan jujur dari Mbah Kijah. Ia telah mendapat titah berupa wangsit yang diterima melalui beberapa semedinya. Bahwa, ia lah dan Dahayu yang harus memutus mata rantai karma itu.
            Dan di pagi buta, sebelum ayam berkokok dan diselimuti ketebalan kabut dan udara dingin. Dahayu pun merelakan tubuhnya di guyur air kembang di tengah pepohonan raksasa yang mirip hutan basah dan sulit dijamah manusia. Tak banyak orang yang tinggal disana, hanya beberapa saja yang rata rata memiliki ciri yang sama  memancarkan aura mistis yang sangat kental lewat tatapan mata mereka. Ditambah perjalanan yang serba terjal, licin, mendaki dan tanpa tertera tanda penunjuk jalan yang pasti. Memang agak tak masuk diakal, jika Mbah Kijah bisa dengan mudahnya menuju kesana. Karena pernah ada beberapa team ekspedisi dari Jakarta yang berusaha mengexplore daerah tersebut. Dan selalu gagal mencapai kesana. Bahkan tersesat tak tentu arah dan kembali di titik mereka memulai perjalanan. Meski mereka telah cukup dibekali oleh berbagai macam teknologi canggih penunjuk jalan. Namun tak pernah bisa terdeteksi bahkan oleh  peta secanggih google earth dan provider map lainnya.

(Bersambung BAB IV - "Roh Wasilah")





2 Ngelmu : Pengertian ilmu dalam kepercayaan kejawen yang bersifat supranatural dan biasanya di dapatkan dari indra ke-6 atau melalui laku batin seperti semedi, telepati dan ngraga sukma


1 Sedulur Papat Kalima Pancer : Kepercayaan budaya Jawa bahwa setiap bayi yang lahir memiliki 4 saudara kembar yang tidak terlihat dan menetap didunia pararel yang berbeda

No comments: