Wednesday, March 15, 2017

KARMA GETIH - Bab Empat "Roh Wasilah" #Cerbung

BAB IV
ROH WASILAH
(Ria Jumriati)

Image : ekspresionlinedotcom

            Diiringi dengan lambaian tangan dan derasnya airmata Mbah Kijah. Dahayupun memulai babak baru perjalanan nasibnya. Tak ada gambaran pasti mengenai seperti apa Malaysia, kuala lumpur, serawak dan kota kota besar lainnya di negeri Jiran. Tapi Dahayu merasakan gelora semangat yang menggunduk semakin tinggi di seluruh relung jiwa, batin bahkan alam bawah sadarnya. Timbunan semangat itu pun mulai mengeluarkan buncahnya, bak gunung api yang suatu saat siap menumpahkan lava yang maha panas.  Terlebih ketika, sepasang kaki Dahayu menapak pertama kali di bumi Malaysia. Diantara kebingungan sebagai Dahayu dan Deja Vu yang terus menguasai batinnya. Gadis bermata lentik itu hanya mengikuti apa yang diperintahkan kepala rombongan para TKI asal Indonesia. Puluhan remaja putri dan belasan wanita dewasa dengan wajah lugu dan pengharapan yang sama pada sebuah cita cita untuk meraih penghidupan yang lebih baik dan layak, berbondong bondong menuju satu gerbang yang akan merubah nasib mereka yang masih samar adanya. Mengapa harus kesana ? Karena tak pernah bisa diberikan oleh pengelola bangsa ini, hingga mereka harus mengadu dan mempertaruhkan segenap jiwa raga ke negeri tetangga. Meninggalkan segenap orang yang dicintai demi sebongkah harapan yang sangat mendasar sebagai manusia. Dapat hidup layak dan terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Dan sekali lagi, semua itu terlalu mahal di negeri mereka sendiri. Semahal bahkan semustahil kata ’amanah’ yang bisa diharapkan pada penguasa negeri ini.

            Dahayu menyapu pandangannya ke sekeliling. Ia dan rombongan TKW kini telah berada di tempat penampungan sementara. Suara bising orang yang lalu lalang. Diantara hiruk pikuk, beberapa transaksi  busuk pun terjadi. Perlakuan tak sopan terhadap para TKW hingga pelecehan seksual dari beberapa oknum, terpampang jelas dimatanya. Lalu lalang setiap orang yang masing masing dibuntuti beberapa mahluk. Ada seorang Bapak yang sedari tadi di ikuti mahluk serba hitam, ketika ia akan menyebrang sebuah truk langsung menghantam tubuhnya. Mahluk serba hitam itu pun tertawa dan segera melahap rohnya. Lalu seorang bayi yang terus di dampingi perempuan cantik penuh cahaya. Bidadarikah ? Semua mahluk dari berbagai dimensi dan waktu, kini terlihat kasat di mata Dahayu. Hingga tiba tiba ia merasakan tubuhnya seringan kapas, lalu angin kencang menderu hingga mendatangkan badai. Semua orang masih sibuk berkutat dengan kegiatannya. Tapi mengapa hanya ia yang merasakan besarnya hempasan badai ? Tubuh ringannya pun semakin terbawa pusaran angin. Gelap......sunyi....Dahayu terbawa poros waktu yang menyeret jiwanya pada satu bentang kehidupan ratusan tahun lalu. Ia pun terjerembab jatuh di sebuah peraduan dengan ornamen dan nuansa keraton keningratan Kerajaan Jawa kelas tinggi. Dahayu tak lagi melihat dirinya yang dulu, pakaian kemben dan rambut tertata rapi bak putri keraton, serta lingkungan  istana yang di jaga prajurit dan para dayang dayang.

”Kanjeng Putri Dahayu Janitra!” Seru seorang dayang saat melihatnya jalan menelusuri lorong lorong keraton. Dahayu menoleh bingung. Sementara beberapa dayang lainnya pun berseru  gembira melihatnya.
            ”Putri Dahayu sudah bangun, cepat panggil Raden Mas Ganendra!” Seru seorang dayang dan tergopoh berlari menuju pendopo Istana. Tak lama beberapa orang prajurit dan seorang pria tampan dan gagah datang dengan langkah cepat.
            ”Dahayu ? Kau sudah bangun ? Syukurlah! Ujarnya sambil memeluk tubuhnya. Dahayu langsung terkoneksi dengan energi di tubuh lelaki itu. Batinnya segera saja terisi banyak potongan kisah yang akhirnya memberi pandangan jelas tentang jati dirinya kini.
            ”Raden Mas Ganendra ? Apa yang telah terjadi ?” Tanyanya bingung.
            ”Ceritanya panjang, istirahatlah dulu. Kita masih banyak waktu untuk itu” Ujarnya dengan senyum yang sangat di kenal Dahayu. Dia lah laki laki yang selama ini selalu datang di setiap mimpinya. Sosok yang selalu di rindukannya. Tapi siapa dia ? Dua jiwa di raga Dahayu masih membutuhkan waktu untuk saling menyatu. Deja Vu terus berlanjut di benaknya. Taman di pendopo, pahatan di dinding keraton, gelas antik berornamen gajah. Hampir semua yang tertangkap di matanya, serasa tak asing lagi. Ia pernah menjadi bagian dari semua ini. Bahkan Mbok Tumijah yang sedari tadi terus memandangnya dengan senyum. Ia kenal betul senyum itu, dia adalah salah satu dayang yang sering menata rambut panjangnya, memakaikan kemben dan memberi air mandinya dengan serangkaian bunga bunga segar.
            ”Hari ini,  Kerajaan akan kedatangan tamu dari negeri Pasundan. Istirahat lalu bersiaplah untuk menyambutnya. Aku ingin, kamu menjadi bagian dari perayaan besar nanti.
            ”Perayaan besar apa, Kang Mas ?
            ”Maharaja Hayam Wuruk, akan meminang Putri Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pasundan, semua telah dipersiapkan. Aku ingin kau tampil cantik nanti” Tuturnya lembut. Perlahan jiwa Dahayu menangkap satu pesan di relung rohnya. Ia memejamkan matanya sekejap. Ada beberapa kelebat bayang yang tergambar di benaknya. Seorang s pria, wajah Nuri dan.....tiba tiba dadanya sesak, saat menyeruak bayang laki laki yang menjadi target dendam Ibunya.
            ”Kenapa Dahayu ? Istirahatlah, kamu baru saja mengalami tidur panjang yang membuat khawatir banyak orang termasuk Sang Raja” Ujarnya Raden Mas Ganendra seraya memapah tubuh Dahayu menuju peraduannya.
            ”Banyak sekali sosok yang berseliweran di benakku, dan tak semuanya aku kenal. Aku seperti orang asing”
            ”Tenanglah Dahayu. Saat jiwamu tertidur, tabib yang merawatmu mengatakan, jiwamu memang tengah di pinjam ’seseorang’ untuk mengembara ke tempat lain”
            ”Tempat lain apa maksudnya, Kang Mas ?”
            ”Aku juga tidak tahu, tapi ia meyakinkan, seseorang yang datang menjemput rohmu itu, bukanlah orang lain. Ia masih memiliki pertalian batin yang kuat dengan dirimu. Dan ia yakin, kau pasti kembali dengan selamat. Karena seseorang itu pasti akan menjagamu dengan baik” Ujarnya dengan senyum.
            ”Lalu....hmmm, Kang Mas sendiri siapanya aku ?” Tanyanya ragu. Raden Mas Ganendra tersenyum dan membelai rambut Dahayu,
            ”Aku calon suamimu, kita akan segera menikah setelah Raja Hayam Wuruk dan Putri Dyah Pitaloka meresmikan ikatan pernikahan mereka. Besok adalah waktunya, dan setelahnya adalah milik kita. Maha Patih Gajah Mada tak mengizinkan aku sebagai perwira perangnya mendahului Sang Maha Raja” Tuturnya tegas.
Dahayu hanya terdiam, ia teringat mimpinya yang sering terjebak dalam perang dahsyat bersama Sang Patih Gajah Mada . Sekonyong gejolak dibatinnya pun berbuncah hebat. Beberapa bayang itu semakin memperebutkan energinya. Dahayu pun tertidur. Namun rohnya tetap terperangkap diantara dua dimensi ruang dan waktu. Malam semakin pekat. Beberapa roh, tengah bernegoisasi untuk satu tujuan tertentu yang terbalut erat ’Karma Getih” – ”Karma berdarah” yang pengaruhnya tengah merasuki segenap relung Dahayu.

@@@

            Sejak subuh seluruh penghuni Istana telah disibukan oleh persiapan untuk menyambut rombongan keluarga besar kerajaan Pasundan dan Putri Dyah Pitaloka. Menurut desas desus yang sempat di tangkap Dahayu, kedatangan Putri Dyah Pitaloka adalah untuk menyerahkan diri sebagai mempelai putri yang akan dinikahi oleh Sang Maha Raja Hayam Wuruk. Dahayu sendiri, tengah menjalani ritual ’ratus’ dengan bermandikan bunga dan rempah rempah yang konon harumnya tak akan hilang hingga hari ke-7.
            ”Raden Mas Ganendra, sangat beruntung mendapatkan Kanjeng Putri” Ujar Mbah Tumijah sambil mengguyur pelan rambutnya dengan air rempah yang menyengat wangi.
            ”Apakah wajah tampannya juga sebaik hatinya, Mbah ?” Dahayu bertanya ragu.
            ”Tentu saja, Bukankah Kanjeng Putri rela melepaskan pertunangan dengan Raden Mas Raditya Javas Nararya yang telah di jodohkan orang tua Kanjeng Putri”
            ”Apa, Raden Mas Raditya Javas Nararya ? Aku belum pernah melihatnya, Mbah. Seperti apa rupanya ?” Dahayu semakin penasaran. Sambil meneruskan pekerjaannya, Mbah Tumijah memaklumi kebingungan Dahayu. Sebagai dayang sepuh, ia mengerti betul, bagaimana reaksi seseorang yang jiwanya pernah di bawa pergi oleh ’seseorang’ dari dimensi ruang dan waktu yang berbeda.
            ”Raden Mas Ganendra memang bukan anak raja, atau memiliki keluarga yang dekat dengan lingkungan kerajaan manapun. Ia hanya anak seorang abdi dalem, tapi Raden Mas Ganendra adalah perwira perang Sang Maha Patih Gajah Mada yang sangat tangkas, jujur dan rendah hati. Kharismanya mirip Sang Maha Patih, tapi ia tak serakah dan selalu berlaku adil. Kerendahan hati itu lah yang tak di miliki Raden Mas Raditya Javas Nararya. Ia telah dibutakan oleh keangkuhan karena merasa menjadi kerabat dekat kerajaan Pasundan. Bahkan konon, kematian Ayah Ibu mu adalah karena dibunuh oleh orang suruhan Raden Mas Raditya”
            ”Ayah Ibuku, telah meninggal ? Dahayu semakin bingung ”Aku sama sekali tak bisa mengingatnya Mbah”
            ”Sudahlah, sebaiknya tak usah di ungkit lagi masalah ini. Karena bisa berbahaya terutama buat dirimu sendiri” Tukas Mbah Tumijah seraya menyelesaikan pekerjaannya.
            ”Mbah, Sebentar lagi rombongan Putri Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pasundan akan datang. Apakah dia juga ada dalam rombongan itu ??”
            Mbah Tumijah menggeleng lemah. Di benaknya ada sedikit sesal telah membocorkan rahasia itu kepada Dahayu.
            ”Berdoa saja Kanjeng Putri, Mbah sendiri tidak tahu” Ujarnya seraya berlalu.


            Iring iringan rombongan Kerajaan Pasundan telah sampai di gerbang Istana. Sementara persiapan di dalamnya pun tak kalah megah. Sang Prabu Hayam Wuruk terlihat sumigrah dengan pakaian kebesarannya. Beberapa petinggi istana telah siap dengan tugasnya masing masing untuk memberi sambutan pada kedatangan Maharaja Linggabuana dan Kanjeng Gusti Putri Dyah Pitaloka yang akan dipersunting Sang Raja. Dahayu memperhatikan sekelilingnya. Tapi ia tak menemui sosok calon suaminya. Ia pun berjalan pelan, keluar menyusuri pendopo istana hingga akhirnya menemui Raden Ganendra dan beberapa prajurit perang Maha Patih Gajah mada di Pesanggrahan Bubat, lengkap dengan senjata dan pakaian perang masing masing. Sama sekali tak terlihat senyum dan keramahan diwajah mereka, hampir semua menampakan wajah keras dan energi siap tempur. Raden Mas Garendra berdiri tepat beberapa langkah dari Sang Maha Patih Gajah Mada yang tengah berbicara serius dengan utusan Maharaja Linggabuana. Mata Dahayu terus menelusuri beberapa orang yang terlihat di hadapannya, hingga singgah pada wajah seorang laki laki yang membuat dadanya terasa terbakar tiba tiba. Ada gemuruh hebat yang serta merta menyulut keseluruhan dendam di hatinya demi melihat gambaran wajah seseorang yang menjadi target dendam Nuri selama ini. Bayang wajah Nuri dan kelebat amarahnya pun semakin menguasainya.
            ”Bunuh dia, Dahayu...Bunuh Dia !” Suara Nuri semakin jelas terdengar di benaknya. Dahayu berusaha menepi, sementara perselisihan mulai terjadi antara Maha Patih Gajah Mada dan utusan Maharaja Linggabuana. Beberapa prajurit perang Sang Patih mendadak bermunculan dari berbagai arah. Terjadilah pertempuran hebat yang tak berimbang antara pasukan dari Kerajaan Pasundan dan bala tentara Maha Patih Gajah Mada yang berjumlah ribuan. Dahayu pun menyeruak diantara perang yang tengah terjadi. Serta merta ia menghampiri Raden Mas Ganendra yang tengah berperang sengit dengan salah satu prajurit kerajaan Pasundan, yang ternyata adalah target dendam Nuri. Saat kegentingan tengah berlangsung, Dahayu pun langsung menusukkan keris tajam yang ke perut dan dada lelaki itu. Darah bercucuran, wajah laki laki itu memucat. Ia memandang Dahayu sejenak dan mendesiskan namanya. Seolah digerakkan oleh kekuatan lain, Dahayu kembali menusukkannya ke arah dadanya, hingga berakhir tragis.
            ”Dahayu, cukup Dahayu ! Dia sudah mati !” Seru Raden Mas Ganendra berusaha menenangkannya.
            ”Dia memang pantas mati ditanganmu, karena dia lah yang telah mengutus orang untuk membunuh Ayah – Ibumu” Ujar Raden Mas Ganendra seraya memapah tubuhnya.
            ”Apa ?! Jadi lelaki ini adalah Raden Mas Raditya Javas Nararya ? Bekas tunanganku ? Tapi...tapi mengapa wajahnya sama dengan....Akhhhhh!”
            ”Sama dengan siapa ?” Tanya Raden Mas Ganendra tak mengerti.
            ”Tidak, Dia pasti orang yang telah......dan aku telah membunuhnya.....Akhhhhhhhhhh, kepalaku !”
  Tiba tiba Dahayu merasakan pening yang luar biasa di kepalanya. Raden Mas Ganendra membawanya menepi. Perang masih berlangsung. Bahkan Kanjeng Gusti Putri Dyah Pitaloka ikut dalam pertempuran itu. Ia terlihat begitu agresif menyerang Patih Gajah Mada, terlebih ketika melihat Ayahnya tewas dalam pertempuaran itu. Sampai akhirnya, ia sendiri pun gugur setelah berhasil memberi luka yang sangat parah di tubuh sang Maha Patih. Perang masih berlangsung, namun pening di kepala Dahayu membuatnya semakin melayang jauh. Terdengar tawa puas berkepanjangan milik Nuri, lalu darah yang berceceran di tubuh lelaki yang telah menodainya. Suara bising, orang lalu lalang begitu cepat lalu angin kencang dan pusaran angin yang memburu tubuh Dahayu. Wajah Mbah Kijah, Eyang Karso.......Dahayu merasakan tubuhnya seringan kapas. Terlepas, terbang dan terbawa hempasan poros waktu yang begitu cepat.

(Bersambung Bab V)


No comments: