Tuesday, March 07, 2017

KARMA GETIH - Bab Satu "Karma Getih" #Cerbung


KARMA GETIH dalam bahasa Jawa memiliki arti Karma Berdarah. Cerita ini pernah saya kirim ke beberapa Penerbit dan sejumlah Majalah Wanita, namun tak ada berita apakah diterima atau di tolak. Dan saya memutuskan untuk menayangkan secara berseri di blog saya ini. 
Selamat menikmati ! 

Image : From Google

 BAB I 
KARMA GETIH
Ria Jumriati
  
            Sejak kecil Dahayu hanya mengenal kakek neneknya. Hanya dua manusia renta itu yang mengurusnya hingga akhirnya salah satunya meninggal ketika Dahayu menginjak usia 40 hari. Tersisa hanya Mbah Kijah yang terbungkuk payah memanggul beban sebagai tukang sayur keliling demi membiayai hidup cucu semata wayangnya. Meski Mbah Kijah bersikeras agar Dahayu menamatkan sekolahnya hingga jenjang SMU, namun gadis itu menolak. Ia tak lagi bisa berkompromi dengan kemirisan hatinya demi melihat penderitaan Mbah Kijah. Tawaran menjadi pembantu di kota akhirnya  terpikir juga olehnya demi mengurangi beban neneknya.
            “Mbah masih mampu kasih makan kamu, ndak usah ke kota Nduk. Aku wedhi, sampean di jahati wong kota”
            “Tapi aku kan dibawa sama Pak Abdil, orangnya Mbah Kijah kan juga sudah lama kenal dan baik sekali sama keluarga kita”
            “Tapi dikota kan kamu bakal kerja sama orang yang juga ndak terlalu dikenal sama Pak Abdil, wong dia itu kan cuma makelar pembantu”
            “ Tapi aku tak tega melihat Mbah terus terusan kerja dan menderita” Seru Dahayu hampir menangis. Namun Mbah Kijah berusaha tegar. Nuraninya tetap membisikkan sesuatu yang aneh untuk melepas cucu semata wayangnya.
            “Izinkan aku pergi ya Mbah …” Pinta Dahayu memohon, namun Mbah Kijah bergeming dengan wajah mengeras.
            “Kamu tahu kan Nduk ? Ujarnya sambil menatap iba wajah Dahayu. “Sudah banyak kita dengar orang-orang desa sini yang jadi korban kejahatan orang kota. Belum lagi yang kerja diluar negeri, pulang bukan bawa uang malah jadi gila karena dijahili majikannya. Aku ndak mau kamu bernasib seperti itu Nduk, cuma kamu satu-satunya harapan Mbah dihidup ini”
            Dahayu hanya terdiam sedih. Cerita mengerikan dari Lastri dan Hanum sudah menjadi buah bibir tak berkesudahan di desanya. Lastri yang menjadi TKW di Malaysia bahkan harus menjalani hidupnya sebagai gadis cacat karena menjadi korban penganiayaan majikannya yang kejam. Lalu ada Hanum, yang seumur hidupnya harus menanggung malu dengan mengandung dan melahirkan anak keturunan arab dari benih anak majikannya yang memperkosanya saat bekerja disana. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menerima kenyataan itu sebagai takdir sial yang harus dipanggul seumur hidup. Belum lagi, kisah Karsih dan adiknya yang terpaksa menjadi piatu saat ibu mereka pulang dalam keadaan tak bernyawa karena di bunuh oleh majikan Jiran nya. Tapi ironisnya, animo masyarakat terutama kaum perempuan masih saja tinggi untuk bekerja di kota dan luar negeri. Iming – iming gaji dan fasilitas besar memang bisa menghapus berita seburuk apapun. Kemiskinan yang kian mencekik dari hari kehari telah membutakan mata dan hati mereka pada pengalaman pahit yang pernah dialami  teman mereka sebelumnya.  Keluar dari jurang kemiskinan meski harus mendaki keterjalan yang tak jarang merusak masa depan dan pertaruhan nyawa, juga tak membuat mereka menjadi jera. Jiran memang bermandikan harapan, Namur terkadang harus dibayar sangat mahal oleh derita terampasnya harga diri, masa depan bahkan nyawa. Dan sayangnya, tak ada satu pun tangan perkasa di negeri ini yang bisa melindungi harga diri mereka sebagai bagian dari anak bangsa yang mencoba mencari peruntungan hidup yang tak pernah bisa disediakan oleh perangkat negara yang mengurusi kekayaan negeri ini dengan cara cara yang salah dan kerap mengorbankan mereka.

            Dahayu masih diliputi kebimbangan pada tawaran Pak Abdil beberapa minggu lalu. Terbayang jumlah gaji yang dijanjikan Pak Abdil. Angka itu sangat bisa menutupi semua kebutuhan hidupnya selama ini. Dan yang lebih penting Mbah Kijah tak perlu lagi berjualan sayur keliling desa. Belum lagi bila sayurannya tak laku dan Mbah Kijah terjatuh sakit hingga berhari hari. Apa yang bisa dilakukan Dahayu ? Uang tak punya, harta tak lagi ada yang tersisa untuk dijual, yang ada hanya pasrah. Hal itulah yang membuat Dahayu ingin sekali menerima tawaran Pak Abdil. Ia tak perlu bekerja bertahun tahun, menurut hitungannya hanya setahun saja ia sudah bisa mengumpulkan uang untuk modal Mbah Kijah berjualan dirumah, membuka kios kecil untuk berjualan sayur mayur.
            “Lumayan loch Yu, gajinya ringgit. Kalo di tukar ke rupiah jumlahnya bisa jutaan setiap bulannya” Bujuk Pak Abdil ketika dilihatnya Dahayu masih ragu ragu.
            “Tapi Mbah Kijah ndak setuju Pak, dia takut aku dijahati sama majikanku seperti Lastri dan Hanum”
            “Lah, itukan masalah nasib” Pak Abdil mulai mengeluarkan siasat rayuannya “Wong banyak juga kok  warga desa ini yang sukses bekerja di luar negeri. Kamu tahu rumah gedong di desa Kenasih ? Itu rumahnya Bu Sagiyem yang sudah 10 tahun bekerja di Malaysia. Wah, dia itu jadi wong sugih sedesa Kenasih! Kamu mau kan seperti itu ?”
            Mata Dahayu masih terlihat ragu. Terbayang wajah Mbah Kijah yang tak pernah memberinya restu.
            “ Lagi pula ndak semua orang Malaysia atau Arab itu jahat. Tergantung kita bisa membawa diri, dan aku yakin kamu pasti bisa bernasib baik seperti Bu Sagiyem itu. Apalagi...hmmmm, wajah dan penampilanmu sangat anggun dan bermartabat. Pasti orang akan berpikir ulang untuk melecehkanmu, Dahayu” Tutur Pak Abdil meyakinkan.
            “Tapi…Mbah Kijah ndak setuju Pak”
Terdengar tawa renyah Pak Abdil. Ia menepuk pundak Dahayu pelan.
            “Tenang Nduk, nanti aku yang bicara pada Mbah mu”
            “Dia pasti ndak bakal kasih” Ujar Dahayu putus asa.
            “Tidak usah khawatir, yang penting kamunya mau. Urusan Mbah Kijah biar aku yang tangani. Selama kamu pergi nanti aku akan kasih uang sangu untuknya” Ujar Pak Abdil berusaha bijaksana. Ada ketenangan dihati Dahayu mendengarnya. Sementara kebulatan tekad untuk meninggalkan desanya semakin kuat. Rumah Bu Sagiyem memang bak istana megah. Ia bahkan bisa membuka pabrik makanan kecil yang dimodali dari hasil  kerjanya bertahun tahun di Malaysia. Anak dan suaminya hidup berkecukupan. Serta merta ia pun menjadi orang yang sangat dihormati dan disegani seantero desa Kenasih. Dan Dahayu ingin sekali hidupnya kelak seperti itu. Jauh dari  balutan kemiskinan, jauh dari hina dan cerca serta pelecehan sebagai gadis tunggal dan yatim piatu. Dahayu yakin, uang lah yang bisa membuat banyak orang tertunduk hormat padanya. Sebagai gadis yang tak pernah mengenal kedua orang tuanya dan tak mengeyam pendidikan tinggi, menjadi TKW adalah jalan pintas meraih impiannya. Lalu ada Pak Abdil yang bisa menjadi jembatan untuk mewujudkannya. Tinggal kendala meyakinkan Mbah Kijah, itu saja. Ada senyum tipis dibibir mungil Dahayu. Tekad itu semakin menggumpal bulat dibenaknya.
            Pagi seperti biasanya, Mbah Kijah terlihat berjalan pelan sambil memanggul sayuran di pundaknya. Menjajakan dengan ramah kesetiap rumah penduduk untuk membeli sayurannya. Tak ada beban tersirat di mata tua itu. Kerelaan menjalani garis nasib perlahan lebur bersama kepasrahan seorang nenek tua yang berusaha berdamai dan merasakan kenyamanan dari segala beban hidup yang terasa berat bila kita mencoba sedikit saja melongok kehidupan setingkat diatasnya. Namun Mbah Kijah, tak pernah melakukan itu. Entah tak peduli atau tak berani untuk sekedar membuat perbandingan. Yang dirasakan orang sepertinya hanyalah berusaha selagi masih diberi nyawa.

            “Mbah, ada sayur nangka Ndak ?!” Teriak Bu Darjo dari balik jendela rumahnya. Bibir Mbah Kijah serta merta tersenyum lebar meski tak lagi dihiasi satu gigipun. Setengah tergopoh ia memasuki pekarangan rumah Bu Darjo.
            “Ada Bu, masih segar dan bagus loch. Dimasak santan dan dicampur daun melinjo bisa tambah enak” Tuturnya berpromosi. Bu Darjo pun segera sibuk memilih sayuran dalam bakul Mbah Kijah.
            “Aku ambil sekalian kelapa sama terongnya ya “
            “Silahkan bu, terima kasih” Jawabnya ramah sambil membungkus sayuran Bu Darjo.
            “Mbah Kijah, aku dengar Dahayu mau dibawa Pak Abdil ke Malaysia ya ?” Tanya Bu Darjo tiba-tiba. Mata tua Mbah Kijah serta merta terkejut.
            “Tidak kok Bu, aku tidak pernah memberi izin padanya”
            “Iya, jangan Mbah. Sudah banyak korban ! Apa Dahayu tahu kalau Ibunya dulu…” Kalimat Bu Darjo segera di hentikan oleh isyarat tangan Mbah Kijah.
            “Ssssst, mohon jangan pernah bicarakan itu lagi. Kasihan Dahayu”
Bu Darjo pun tersenyum maklum. Lalu segera membayar pesanan sayurannya.
Setelah pamit, Mbah Kijah keluar dari pekarangan Bu Darjo dengan semangat terbelah. Hati lelahnya mendadak berduka. Ada luka masa lalu yang perlahan terkuak. Tiba tiba ia merasa bakul sayurannya terasa berat. Mbah Kijah berjalan semakin pelan. Hari ini semangatnya hampir tersedot kekubangan masa lalu yang kelam. Ada bulir bening yang berusaha ditahannya. Namur kaki renta itu terus menjejaki jalan setapak desa dan menjajakan sayurannya dengan suara parau.

            Saat sore menjelang Mbah Kijah pun pulang kerumah dengan badan yang terasa lebih lelah dari biasanya. Ia melihat Dahayu telah menyiapkan teh panas dan ubi rebus di meja. Namun sosok Dahayu tak terlihat seperti biasanya.
            “Nduk, nduk…dimana koe ?” Teriaknya pelan. Tapi Dahayu tak juga menampakkan diri. Mbah Kijah mencari kedalam kamarnya. Tak ada, hatinya kembali diliputi perasaan tak enak. Peristiwa kehilangan Dahayu, sudah sering ia alami, bahkan ketika ia masih bayi, pernah hilang selama 3 jam dan kembali dalam keadaan baik sekali,  tanpa diketahui siapa yang telah membawa bayi berumur 2 bulan itu. Hal itu masin terulang saat ia berumur 5 tahun. Ketika ditanya kemana saja selama menghilang, Dahayu sendiri tak bisa menjawabnya. Sejak lahir, hidup Dahayu memang banyak diliputi hal hal mistis kental dengan kemisteriusan.
Mbah Kijah pun melangkah keluar, untuk mencari, sosok Hanum tiba tiba muncul didepan pintu.
            “Mbah..sudah pulang ?”
            “Iya, kamu lihat dimana Dahayu ?” Tanyanya cemas
            “Barusan dia pamit, katanya diajak Pak Abdil untuk dipotret ditempat foto di Desa Kenasih. Dia minta di izinkan kalau Mbah pulang” Tutur Hanum pelan.
            “Foto ? Dengan Pak Abdil ? Untuk apa ?! Mbah Kijah mulai panik
            “Katanya untuk passport ke Malaysia”
            “Apa ?! Siapa yang memberinya izin ? Berani-beraninya Pak Abdil mengambil cucuku tanpa seizinku !” Ujarnya marah dan panik.
            “Aku tidak tahu Mbah, aku cuma dititipi pesan. Tadinya Dahayu memang menolak, tapi Pak Abdil memaksa. Katanya biar nanti dia yang bicara dengan Mbah Kijah” Jelas Hanum sambil membetulkan gendongan anaknya yang berwajah arab. Terdengar desahan kesal Mbah Kijah. Tapi ia hanya dapat terduduk lemah dengan wajah kesal.
            “Katanya sih cuma sebentar. Sebelum sore sudah pulang” Lanjut Hanum mencoba menenangkan.
            “Ya sudah Num, terima kasih yaa..biar aku tunggu saja disini”
Hanumpun tersenyum tipis seraya pamit. Mbah Kijah masih menahan gemuruh didadanya dengan mata berkaca kaca. Pikirannya serta merta melayang ke masa silam. Luka dan rasa sakit itu masih belum lagi mengering dihatinya. Rasanya ia tak sanggup jika Dahayu harus mengalami hal yang sama dengan Ibunya. Mata Mbah Kijah serta merta basah oleh buliran air mata yang mengaliri pipi keriputnya. Kotak kenangan masa lalu itu kembali terbuka.
            Saat itu di desanya memang tengah terjadi boming pencarian tenaga kerja wanita untuk di rekrut sebagai TKW. Bahkan kantor agen yang mengurusi keberangkatan para TKI itu tak pernah sepi didatangi orang yang hendak mengadu nasib di negeri orang. Dan Nuri adalah salah satunya. Tergiur oleh bujuk rayu teman-temannya dan iming-iming gaji tinggi. Akhirnya, Nuri pun mendaptarkan diri untuk ikut diberangkatkan ke Malaysia. Meski mendapat izin dari Ayahnya, namun naluri keibuan Mbah Kijah mengisyaratkan sesuatu yang buruk pada Nuri. Ia bersikeras melarang kepergian Nuri ke negeri Jiran.
            “Ndak usah ikut-ikutan temanmu, dia itukan sudah pengalaman kerja di kota. Lah..kamu? wong masak saja masih belum becus”
            “Tapi nanti akan diajari dulu Bu, baru kalo sudah pintar kita akan ditempatkan di rumah orang orang kaya di Malaysia”
            “Kejauhan Nduk, kalo ada apa-apa Ibu dan Bapak ndak bisa cepat membantu”
            “Doakan saja lah Bu, aku pasti akan baik-baik saja” Ujar Nuri meyakinkan “Lagi pula, gajinya besar dan lumayan untuk nambahin modal usaha Bapak”
            “Tapi perasaanku ndak enak….” Ujarnya sambil menatap putri semata wayangnya.
            Dan perasaan tak enak Mbah Kijah memang terbukti. Setahun bekerja di Malaysia. Nuri pun pulang. Tapi tidak membawa uang seperti harapannya. Ia dipulangkan dalam keadaan berbadan dua. Gajinya yang hanya dibayarkan sebagaian habis ludes dicuri oleh oknum di Depnaker. Saat dalam karantina dan menunggu waktu untuk dipulangkan ke desa nya. Nuri di paksa membayar sepuluh kali lipat ongkos menuju kampungnya. Karena tidak ada uang rupiah, Nuri dengan lugunya meminta oknum itu untuk menukarkan semua gajinya yang dalam bentuk ringgit kepada oknum tersebut untuk ditukarkan Rupiah. Malang nasib Nuri, uang itu tak pernah kembali dan tak ada seorang pun di tempat karantina itu yang sudi membantunya. Nuri bisa sampai ke desanya, karena kebaikan hati Lastri yang kebetulan satu jalan dengannya meski berlainan desa. Dengan Lastri lah ia kemudian mendapat pinjaman uang untuk kembali bertemu orangtuanya.
            Kedatangan Nuri memang disambut bahagia oleh kedua orang tuanya, bahkan para tetangga. Terlebih Mbah Kijah. Apalagi dilihatnya tubuh putrinya lebih berisi dibanding setahun lalu. Tapi keanehan sikap dan prilaku Nuri mau tak mau membuat orangtuanya meminta penjelasan.
            Tak ada kata sepatahpun yang mampu terucap. Nuri kebanyakan menangis tersedu sambil terus meremas-remas perutnya. Matanya seolah terbebani trauma yang sangat menyakitkan. Dan alangkah terkejutnya Mbah Kijah dan suaminya, saat ditemuinya banyak luka di tubuh Nuri. Bahkan bentuk telapak setrika terlihat menempel jelas dipunggungnya.
            “Apa yang mereka perbuat, Nduk ? Kenapa koe ndak segera pulang!” Jerit Mbah Kijah sambil terus menangis memeluk tubuh putrinya.
            “Siapa yang melakukan ini !” Ujar Mbah Lasirun keras sambil mengguncang tubuh anaknya.
            “Ma..majikanku Pak. Dia..dia sering menyiksaku dan…….” Tangis Nuri pun pecah dipelukan Ibunya. “Dan apa Nduk……” Bisik Mbah Kijah pedih ditelinga Nuri.
            “Dia juga memperkosaku ! Aku sudah ndak perawan lagi Bu…dan aku..aku! Nuri terus menangis sambil terus meremas-remas perutnya. Dan itu sudah cukup menjelaskan kepada kedua orang tuanya akan bencana yang sesungguhnya.

            Sejak saat itu, seolah petaka tak henti hentinya mendera kehidupan Mbah Kijah. Nuri yang selama mengandung terus menerus dihantui trauma dan dihujat warga desa, akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya saat melahirkan Dahayu dalam kondisi premature. Lalu keadaan Mbah Lasirun yang terus sakit sakitan karena beban psikologis yang harus ditanggungnya karena bencana ini. Hingga kakek malang itu pun menyusul Nuri ke alam baka. Kini, hanya tinggal Mbah Kijah bersama Dahayu – penerus keturunan satu satunya yang nyata menjadi prasasti hidup dan merupakan gambaran derita dari pengalaman pahit anaknya di negeri Jiran. Air mata Mbah Kijah terus mengalir deras. Terdengar desis doa mengumandang dibibir pucatnya. Perutnya tak lagi terasa lapar, ia ingin cucunya segera kembali. Batinnya tak sanggup lagi menghadapi bentuk kehilangan apapun, sudah terlalu banyak yang direngut dikehidupannya. Suara tangis itu pun pecah diambang sore menjelang. Menyaksikan Dahayu yang semakin tumbuh remaja, memberi keresahan tersendiri di batinnya. Sejak lahir, Dahayu memiliki anugerah cakra ungu yang terletak diantara ke dua matanya. Ia memiliki kemampuan menjelajah ruang lewat terawang batinnya. Meski belum pernah sekalipun bertemu Ayah kandungnya, Dahayu bisa menggambarkan dengan jelas sosok rupa lelaki itu hingga tanda lahir yang dimiliki di punggungnya. Bahkan di waktu waktu tertentu, Dahayu kerap berbicara seorang diri, kadang tersenyum, tertawa terpingkal pingkal sampai menangis tersedu sedu. Saat ditanya, siapa lawan bicaranya. Macam-macam yang ia sebutkan. Terlebih ketika masih balita ia mengaku sering didatangi nenek berambut putih panjang yang memiliki kendaraan kuda putih penuh cahaya dan sering mengajaknya ketempat yang membuatnya selalu damai. Atau di ajak berjalan ketempat yang menyeramkan bersama Ibu kandungnya. Setelah beranjak remaja, semakin aneh saja yang dirasakan Dahayu. Ia mengaku sering dikunjungi salah satu prajurit Mahapatih Gajah Mada yang menurutnya sangat tampan dan selalu dinantikan kehadirannya. Pernah satu kali, Mbah Kijah menemui Dahayu yang terduduk lemah, dengan wajah dibanjiri keringat hingga membuat basah sekujur tubuh dan pakaiannya. Saat ditanya, apa yang terjadi. Dengan tersendat ia mengatakan, baru saja terlepas kepungan Perang Bubat yang melibatkan dirinya dan  Raden Mas Ganendra – salah satu prajurit Patih Gajah Mada, yang sering mendatanginya itu. Tentu saja semua itu membuat Mbah Kijah ketakutan, di datangi arwah Ibunya saja membuat ia khawatir setengah mati, apalagi harus ada ’mahluk asing’ dari dunia lain yang bisa membawa raga dan batin cucu semata wayangnya menerobos kemisteriusan ruang dan poros waktu yang tak pernah bisa diterima logika dan akal sehat siapapun. Untuk itulah Mbah Kijah, sering mendatangi Eyang Karso – guru spiritualnya untuk sesering mungkin melakukan ’ruwatan’ pada Dahayu agar terlepas dari hal-hal gaib tersebut. Beruntung sejauh ini, tak ada satupun warga desa yang menyadari keanehan pada diri Dahayu.
            Eyang Karso yang sudah sangat di kenal sebagai maha guru penganut Ilmu Kejawen pun, selalu mendapat tantangan tersendiri untuk mengeluarkan Dahayu dari pengaruh gaib yang telah ada di dirinya sejak lahir. Tak hanya bakat indigo yang dimiliki gadis itu, namun kematian Nuri yang membawa dendam ternyata juga di wariskan sepenuhnya pada anaknya. Hingga Eyang Karso harus melakukan semedi dan puasa beberapa hari, jika proses ruwatan untuk Dahayu akan dilakukannya.

***
(Bersambung, BAB Dua - Serat Jiwa)

No comments: